Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 PBB dan BPHTB | Magister Akuntansi

Labels

PBB dan BPHTB

PBB dan BPHTB - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul PBB dan BPHTB , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perpajakan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : PBB dan BPHTB
link : PBB dan BPHTB

Baca juga


PBB dan BPHTB

Oleh : Heru Supriyanto
(Widyaiswara Pusdiklat PaJak)

Pada tanggal 15 September 2009, pemerintah telah mengesahkan UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah, yang secara resmi telah berlaku pada tanggal 1 Januari 2010. Kehadiran UU PDRD tersebut akan menggantikan UU yang lama yaitu UU No. 18 Tahun 1997 tentang PDRD. Bagian Keenam Belas UU No. 28 Tahun 2009 mengatur tentang Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (disingkat menjadi PBB P2). Sedangkan Bagian Ketujuh Belas tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Berdasarkan Pasal 185 UU No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD, maka sejak tanggal 1 Januari 2010, Pemerintah Kabupaten/Kota sudah diperbolehkan untuk menerima pengalihan PBB P2 dan BPHTB. Sedangkan tahapan pengalihan PBB P2 dan BPHTB diatur oleh menteri keuangan bersama dengan menteri dalam negeri (UU PDRD Pasal 182).

Pengertian bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan  bumi  meliputi  tanah  dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia (Pasal 1 UU PBB). Bumi,  menurut  UU  No.  5 Tahun  1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa pengertian bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah air.  Dalam Ayat (5) disebutkan juga bahwa pengertian  air  termasuk  baik  perairan pedalaman maupun laut wilayah Indonesia. Penggunaan istilah “bumi” pada pajak “bumi” dan bangunan berakibat pada siapa saja yang menjadi subjek pajak. Artinya, PBB dikenakan secara umum pada orang atau  badan  yang  secara  nyata  a). Mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau; b).  “Memperoleh  manfaat”  atas  bumi, dan/atau c). “Memiliki”; d)”Menguasai”, dan/atau; e) Memperoleh  manfaat  atas  bangunan. Seandainya, istilah “bumi” diganti menjadi “hak atas tanah”, sehingga PBB berganti menjadi  Pajak  “Hak  atas Tanah”  dan Bangunan (PHTB), maka PBB dikenakan hanya kepada objek yang bersertifikat tanah saja, seperti sertifikat hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak pengelolaan dan hak milik satuan rumah susun

BPHTB (BEA PEROLEHAN HAK ATAS TANAH  VERSUS  BUMI)
Penggunaan istilah “hak atas tanah” pada BPHTB berakibat pada jenis perolehan. Artinya, BPHTB dikenakan secara khusus pada  orang  pribadi  atau  badan  yang memperoleh hak atas tanah (penyusun sebut sertifikat tanah).  secara luas kepada orang pribadi atau badan yang memperoleh bumi, artinya bisa saja 
a). “Mempunyai suatu hak” atas bumi, 
b). “Memperoleh manfaat” atas bumi, 
c). “Memiliki bumi ataupun” 
d) “Menguasai bumi”. 

Lebih tepatnya, pengertian tanah adalah mengarah kepada jenis hak yang meliputi hak atas tanah, hak atas air dan hak ruang angkasa.Disebutkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (disebut dengan UU PA) Pasal 4 ayat Seandainya, istilah hak atas tanah diganti menjadi “bumi”, sehingga BPHTB berganti menjadi  Bea   Perolehan  “Bumi”  dan Bangunan (BPBB), maka BPBB dikenakan 

(1) Atas dasar hak menguasai dari Negara sebagai yang dimaksud dalam pasal 2 ditentukan adanya macam-macam “hak atas  permukaan  bumi”,  yang  disebut “tanah”, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orangorang  lain  serta  badan-badan  hukum. 

(2) “Hak-hak atas tanah” yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini memberi wewenang untuk  mempergunakan  tanah  yang bersangkutan, demikian pula tubuh bumi dan air serta ruang yang ada diatasnya, sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung  berhubungan  dengan penggunaan tanah itu dalam batas-batas menurut Undang-undang ini dan peraturanperaturan hukum lain yang lebih tinggi. 

(3) Selain hak-hak atas tanah sebagai yang dimaksud dalam ayat (1) pasal ini ditentukan pula hak-hak atas air dan ruang angkasa.

PBB P2 (PERDESAAN PERKOTAAN)
UU PBB 1985 tidak pernah menyebutkan perdesaan perkotaan (P2). Sebaliknya instilah ini dimunculkan pada UU PDRD 2009. Bahkan, Keputusan Direktur jenderal Pajak  No.  KEP-16/PJ.6/1998  tentang Pengenaan PBB juga tidak memberikan definisi, kecuali sebagai berikut yaitu objek Pajak Bumi dan Bangunan yang meliputi kawasan  pertanian,  perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta objek khusus perkotaan.

1. Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum yang memiliki ijin usaha untuk menangkap  atau  membudidayakan sumberdaya ikan, termasuk semua jenis ikan  dan  biota  perairan  Iainnya  serta menyimpan,  mendinginkan  atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial;

2. Objek Pajak Perairan adalah laut wilayah Indonesia beserta perairan pedalaman Indonesia;

3. Objek Pajak Khusus adalah objek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dan segi bentuk, material pembentukan maupun keberadaannya memiliki arti yang khusus seperti Jalan Tol, Pelabuhan laut/sungai/udara, Lapangan Golf, Industri Semen/Pupuk, PLTA, PLTU dan PLTG, Pertambangan, Tempat Rekreasi, Dan lain-lain yang sejenis

PAJAK VERSUS BEA
BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan, yang selanjutnya disebut pajak. Ibarat dalam sebuah keluarga, maka posisi BPHTB sebagai pajak pusat adalah sebagai adik bungsu. Mengapa dinamakan bea, tidak dinamakan saja dengan pajak? Ada beberapa kenyataan, sehingga pajak atas perolehan hak atas tanah dan bangunan tidak dinamakan PPHTB (“Pajak” Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan), tetapi dinamakan BPHTB (“Bea” Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan).

1. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, tidak membutuhkan nomor identitas sebagaimana NOP dalam PBB ataupun NPWP dalam PPh;

2. Salah satu fungsi dari nomor identitas adalah untuk memudahkan petugas pajak mengawasi kepatuhan wajib pajak.  Jika tidak memiliki nomor identitas, maka ada kecenderungan wajib pajak tidak mematuhi peraturan. Untuk mengawasi kepatuhan wajib pajak, dibutuhkan pihak lain/pejabat yang secara langsung disebutkan dalam Undang-Undang BPHTB yaitu pasal 24 ataupun Undang-Undang Bea Meterai Pasal 11. Kehadiran pejabat semacam itu tidak terdapat dalam Undang Undang pajak yang lain; 

3. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak diharuskan membayar pajak sebelum saat terhutang. Contoh, cek (salah satu dokumen perbankan) sudah dibayar pajak dokumen (bea meterai), jauh jauh hari sebelum ia dicetak, apalagi saat terhutang. Dengan demikian, cek kosong pun sudah terbayar pajak dokumennya;

4. Dalam bea, baik BPHTB ataupun Bea Meterai, wajib pajak bisa membayar pajak berkali-kali tidak terikat dengan masa ataupun tahunan.

PERSYARATAN OBJEKTIF BPHTB
Masih  banyak  orang  yang  belum mengetahui  dan  mengenal  BPHTB terutama yang paling mendasar yaitu syarat objektif BPHTB yang berakumulasi, yaitu Pertama, objek BPHTB yaitu Pasal 2 ayat (1) UU BPHTB, yaitu perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan adalah perbuatan  atau  peristiwa  hukum  yang mengkibatkan diperolehnya hak atas tanah dan atau bangunan oleh orang pribadi atau badan. Perolehan hak atas tanah meliput pemindahan hak dan pemberian hak baru dan Kedua, perolehan hak atas tanah (sertifikat  yang  diterbitkan  oleh  BPN) Berdasarkan pasal 2 ayat (3) UU BPHTB hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) adalah hak milik hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak milik atas satuan rumah susun dan hak pengelolaan terhadap perolehan hak atas tanah dan atau bangunan yang bersertifikat saja. Sertifikat adalah tanda bukti hak, yang merupakan alat pembuktian yang kuat, baik mengenai  macam  hak,  subjek  atau tanahnya. Untuk mendapatkan sertifikat maka  perlu  dilakukan  pendaftaran. Ketiga, perolehan tersebut adalah dibuat, ditandatangani, didaftarkan, diterbitkan, ditunjuk atau diputuskan oleh para pejabat Pasal 24 UU BPHTB (yaitu notaris/PPAT, pejabat lelang negara, hakim dan badan pertanahan). Dengan demikian, akan terhutang BPHTB jika ada perbuatan jual jual beli tanah bersertifikat, yang dilakukan secara otentik. Sebaliknya tidak akan terhutang BPHTB manakala :

(a) jual beli tanah bersertifikat dengan akta di bawah tangan; atau 
(b) jual beli tanah girik walaupun akta otentik apalagi;
(c) jual beli tanah girik dengan akta di bawah tangan.


Demikianlah Artikel PBB dan BPHTB

Sekianlah artikel PBB dan BPHTB kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel PBB dan BPHTB dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/11/pbb-dan-bphtb.html

0 Response to " PBB dan BPHTB "