Masih ingat MEA? Itu, persaingan bebas antar masyarakat Asia Tenggara. Kepanjangan dari Masyarakat Ekonomi Asean… Tidak terasa, sudah setahun diberlakukan sejak akhir Desember 2015 yang lalu. Sebelum diberlakukan, di kalangan tertentu sebenarnya cukup ramai bahasan mengenai MEA ini. Banyak yang menyampaikan peluang, juga tantangannya. Tidak ketinggalan, sejumlah ancamannya.

Era MEA memang sudah kemestian yang tidak bisa dihindari. Karena kesepakatannya sendiri sudah disetujui bertahun-tahun silam, jauh sebelum Jokowi menjadi Bapak Presiden. Dan MEA kelak akan dilanjutkan dengan CHAFTA, yakni era perdagangan bebas antar masyarakat ASEAN plus China.
Ke depannya lagi, mungkin tambah lagi negara-negara lainnya. Semua negara di berbagai belahan dunia kelak akan menjadi seperti satu negara, di mana para penduduknya bisa keluar masuk antar negara seperti mereka hilir mudik antar kabupaten atau provinsi saat ini.
Sekarang, setelah setahun berselang, isu MEA kok sepertinya sepi-sepi saja. Makin dingin, atau jangan-jangan sudah membeku.
Sekadar gambaran mengenai MEA, mungkin kita perlu mengingat-ingat lagi hal-hal di bawah ini. Anda bisa melanjutkan membaca tulisan ini hingga selesai. Sengaja tulisannya tidak terlalu panjang. Tapi tidak pendek-pendek amat juga.
Mulai saat diberlakukannya MEA akhir Desember 2015 yang lalu hingga seterusnya, secara formal, warga masyarakat i sekitar kita bukan lagi 250 jutaan penduduk Indonesia. Melainkan lebih dari 600 jutaan penduduk 10 negara Asean. Tidak perlu visa, tidak perlu regulasi ketat seperti sebelumnya. Regulasi antar negara kawasan akan semakin longgar, bahkan lebih mudah.
Hal yang sama juga berlaku bagi para warga negara Asean lainnya, mereka bisa datang dan pergi ke semua kawasan Asean dengan mudah, semudah mereka datang dan pergi ke kota dan wilayah negara mereka sendiri. Tentu saja asal ada uang untuk membiayai setiap perjalanan mereka. Kalau tidak punya, ya sudah diam di rumah saja dengan manis, membaca buku, menonton TV, bermain dengan anak-anak, atau membaca seword.com dengan senang hati.
Mulai saat itu dan seterusnya, persaingan di negeri ini, bukan lagi antar 250 jutaan penduduk Indonesia. Melainkan antar lebih dari 600 jutaan penduduk Asean. Dan persaingan itu mencakup hampir semua sektor. Pendidikan, bisnis, ekonomi, properti, karir, kesempatan kerja, budaya, termasuk dalam arena persaingan…
Mulai saat itu dan seterusnya, kepemilikan properti juga bukan antar 250 jutaan WN Indonesia. Tetapi juga melibati 600 jutaan WN Asean secara keseluruhan. Lagi-lagi, tentu saja asal ada uang untuk membeli dan memilikinya. Kalau tidak punya, ya akan gigit jari –tapi pelan-pelan saja. Akan sakit soalnya.
Lalu bagaimana warga negara ASEAN menyiapkan persaingan ini? Banyak diceritakan bahwa negara-negara tetangga telah lama bersiap-siap, bertahun-tahun sebelum ini. Bahkan seolah mereka sudah tidak sabar untuk segera menikmati era ini diberlakukan. Mengapa? Sebab, dengan diberlakukannya MEA, mereka memiliki pasar yang sangat besar, terutama mereka akan siap “menyerbu” Indonesia yang terlihat belum sesiap mereka (ini bahasa halus dari ungkapan yang sebenarnya, yakni bahwa “bangsa Indonesia belum siap”). Namun seperti kata Presiden Jokowi saat pemberlakukan MEA dimulai, ya kita harus siap.
Indonesia yang sangat luas ini, penduduknya 250 jutaan. Siapa yang tidak senang dengan pasar besar Indonesia ini, di tengah tingkat competitiveness bangsa Indonesia yang masih rendah. Produktivitas mereka masih jauh dari warga tetangga. Hard skill dan soft skill yang masih belum bersaing dengan warga sebelah. Dan lain sebagaina. Hal ini sudah banyak disampaikan dan diingatkan oleh para pemerhati peluang dan tantangan MEA sebelum ini.
Kabarnya, untuk menjemput peluang besar dalam persaingan ini, bahkan di Thailand sudah lama berdiri puluhan lembaga yang mengajarkan bahasa Jawa kepada para warganya. Catat, bahasa Jawa, bukan bahasa Indonesia. Mereka sudah bersiap-siap untuk merebut peluang di Indonesia, dengan menguasai bahasa Jawa. Bangsa Thailand bukan lagi belajar bahasa Inggris (yang bisa jadi mereka sudah lebih siap dalam bahasa Inggris), namun mereka sudah melangkah lebih jauh, belajar bahasa Jawa untuk mengambil peluang di Indonesia melalui bahasa daerah, Jawa.
Tentu, di antara semua negara Asean, bangsa Indonesia adalah pasar emas yang menggiurkan semua negara Asean. Bagi mereka, tentu saja, jumlah penduduk 250 jutaan itu adalah pangsa pasar yang sangat luar biasa, yang tidak ada pada mereka. Mereka bisa menjual apa pun produk mereka kepada bangsa ini, dan mereka sudah menyiapkan dari dulu apa saja produk-produk yang akan siap diperdagangkan di bumi Nusantara ini. Barang, atau pun jasa.
Karena bangsa Indonesia belum siap, dalam segala hal, maka bangsa kita hanya akan menjadi konsumen aktif yang senang berbelanja produk negara tetangga, yang mungkin lebih kompetitif. Uang dan kekayaan kita akan diambil dengan senang hati oleh bangsa-bangsa tetangga. Dan dengan uang serta kekayaan yang mereka ambil dari Indonesia, mereka kemudian membeli dan menguasai properti dan tanah di Indonesia.
Bagi yang kaya raya, mereka bahkan bisa membeli beberapa pulau di negeri ini, untuk disulap menjadi destinasi wisata, dengan para pekerja profesional dan English friendly dari negara Filipina, Thailand, Singapura dan Malaysia. Pemilik perusahaan dari mereka, para pekerja profesional dengan international standard juga dari mereka, sementara para konsumennya adalah bangsa kita.
Mereka akan lebih aktif menyerbu Indonesia, ketimbang bangsa Indonesia aktif menyerbu mereka. Jangankan untuk membuka pasar di negeri tetangga, bahkan bangsa kita tidak mampu mengambil apalagi menguasai pasar di negeri sendiri. Kita bukan hanya tidak mendapatkan, bahkan akan banyak kehilangan. Jadi, menurut sebagian orang, era MEA akan lebih banyak dinikmati oleh warga negara tetangga ketimbang oleh warga negara Indonesia.
Karenanya, jangan heran, kelak, properti-properti di negeri ini akan segera berpindah tangan menjadi milik warga negara lain, dan mereka membelinya dari kita dengan uang yang telah kita bayarkan dari membeli produk-produk mereka. Mereka akan “menguasai” di sini, dengan kecerdasan dan keunggulan mereka.
MEA sebenarnya peluang, tentu saja bagi yang siap. Namun ia sekaligus ancaman, tentu saja bagi yang tidak siap. MEA adalah persaingan bebas SDM Asean. MEA juga adalah peluang emas bangsa Asean. Siapa siap, akan dapat peluang emas Asean. Yang tidak siap, harus bersiap banyak kehilangan.
Ketika kelak sudah efektif, MEA akan dilanjutkan dengan era baru berikutnya, CHAFTA. CHAFTA adalah pasar bebas ASEAN plus China. Saat itu persaingan semakin berat, karena dilibati oleh lebih dari 1,5 milyar penduduk. China yang sudah lama memborbardir Indonesia dengan berbagai produknya yang banyak diserap oleh konsumen bangsa kita, kelak akan lebih ekspansif lagi. Dan bangsa Indonesia akan semakin menepi dari pusaran peluang…
Jangan bayangkan bahwa perusahaan-perusahaan besar nasional saat ini kelak akan bisa merajai di negeri ini. Dengan budaya korporat dan profesionalitas, perusahaan-perusahaan bangsa Asean lain sangat mungkin untuk mengambil alih dominasi bisnis dari perusahaan kita selama ini. Pendidikan, kuliner, pariwisata, perhotelan, transportasi, telekomunikasi dan lain sebagainya…
Jangankan orang-orang yang tidak terbiasa dengan budaya korporat profesional, bahkan company profesional kelas nasional pun akan mendapatkan lawan berat sekaligus persaingan hebat.
Dampak lanjutannya, para pekerja dan profesional kita yang ada di perusahaan-perusahaan tersebut bisa tersisih. Mengapa? Karena untuk meningkatkan daya saing, perusahaan nasional pun bisa jadi akan mengambil profesional dan tenaga kerja dari negara-negara Asean yang sudah international standard: mental bagus, relationship bagus, bahasa Inggris bagus, attitude bagus, dan lain sebagainya yang serba bagus.
Dan lain-lain… Dan laiin-lain…
Kita lihat sebentar tentang India. India sudah mulai menyalip Cina, Tiongkok. India sudah menjadi kekuatan dunia yang sudah memasuki arena persaingan dunia yang diperhitungkan. SDM dan produktivitas bangsa India sudah berdiaspora ke negara-negara maju, menjadi pemain-pemain skillful dalam berbagai keunggulan. Mereka memiliki perusahaan, menjadi profesional, dan pengajar yang diperhitungkan dan dibayar mahal di negara-negara Barat, seperti AS.
Apa yang menyebabkan kemajuan dan kebangkitan India? Kata Toffler, hal utama yang menjadi kebangkitan bangsa Hindustan adalah interkonektivitas dan penguasaan bahasa Inggris di kalangan warganya.
Dengan interkonektivitasnya, India telah berhasil mengoneksikan desa-desa di seluruh daratan India, sehingga potensi-potensi desa di seluruh negeri bisa mengemuka, dan menjadi keunggulan kolektif bangsa India. Putera-putera terbaik, dan produk-produk terbaik bermunculan dari negeri bagian selatan Asia ini. Sekarang sebagian dari SDM-SDM terbaik Indiia sudah banyak berada di Amerika dan Eropa, menjadi SDM-SDM yang kompetitif dan dibutuhkan.
Dengan apa mereka “menaklukkan” Amerika dan Eropa? Tentu, yang utama, adalah dengan bahasa Inggris. Ke luar, mereka menaklukkan persaingan dengan bahasa Inggris dan skill profesional. Sementara ke dalam, mereka ciptakan daratan India yang sangat luas itu menjadi interconnected satu sama lain, antar desa-desa mereka.
Lalu bagaimana dengan Indonesia? Harus siap, dan harus diwujudkan secara nyata. Slogan kerja-kerja-kerja harus menjadi spirit besar yang terus menyemangati tumbuhnya berbagai keunggulan di sini. Ke luar, interaksi dengan China dan belakangan dengan India, diharapkan bukan saja menciptakan keuntungan ekonomi domestik dan transfer teknologi, tetapi juga memacu produktivitas yang menggila.
Ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan kampanye Jokowi-JK saat pilpres 2014 yang lalu, harus benar-benar ditumbuhkan dan difasilitasi semestinya, agar menjadi kekuatan baru ekonomi Indonesia hari ini dan ke depan.
MEA adalah ancaman bagi yang tidak siap, namun peluang bagi yang siap. Maka kita berlomba menciptakan berbagai Wow Product…!
Wow Product, Wow Indonesia…!
Salam keunggulan…
Sumber : seword.com