Judul : Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa
link : Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa
Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa
Sebelumnya saya sudah pernah membahas penyebab mengapa penjualan ekspor kerap dianggap penjualan lokal dan dikenakan PPN oleh pemeriksa pajak. Saya kilas-balik sedikit. Setidaknya ada dua kasus yang paling sering saya temui adalah:
(1) penjualan ekspor melalui kurir dianggap penjualan lokal karena perusahaan (eksportir sekaligus wajib pajak) tidak bisa menunjukan dokumen ‘Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB)’ yang merupakan syarat mutlak validitas penjualan ekspor
(2) penjualan ekspor yang menggunakan nama perusahaan lain dikenakan PPN karena tidak bisa menunjukan dokumen ekspor atas nama perusahaan itu sendiri.
Kasusnya sudah saya bahas secara rinci di tulisan sebelumnya. Karena semua potensi masalah, penyebab dan segala kemungkinan risiko yang bisa timbul sudah saya bahas, maka di tulisan ini saya hanya akan bahas:
(a) Pencegahan yang bisa dilakukan oleh eksportir (sekaligus WP);
(b) Solusi untuk mengatasi jika sudah terlanjur terjadi.
Tentunya ini saya tuliskan berdasarkan pengalaman saya pribadi. Cara pencegahan dan solusi-nya pun adalah pendapat saya pribadi. Dalam artian: tidak ada jaminan pasti berhasil. Tetapi saya yakin jauh lebih baik dibandingkan tidak ada samasekali. Setidak-tidaknya pembaca lebih ‘ngeh’ (aware) akan kemungkinan potensi tersebut—sekaligus ada bayangan akan melakukan apa.
Langsung ke pokok permasalahan saja…
Mencegah selalu lebih baik dibandingkan mengatasi. Kedua kasus memiliki tipikal atau kekhasan karakter yang berbeda, dan pokok persoalan berbeda. Untuk itu, tindak pencegahan yang diperlukanpun berbeda.
Kasus-1. Pengiriman Via Kurir – Ada beberapa tindakan pencegahan yang bisa dilakukan agar penjualan ekspor tetap diakui sebagai penjualan ekspor oleh pemeriksa pajak.
[a]. Minimalisasi Pengiriman Via Kurir – Jika tidak terpaksa, jangan kirim via kurir. Tentunya dengan mempertimbangkan faktor efisiensi atau ‘cost-effective’-nya. Jika dari aspek efisiensi via kurir adalah pilihan terbaik, lakukan tindak pencegahan berikutnya.
[b]. Pastikan kurir bersedia memberikan PEB – Saya tahu ada pengiriman-pengiriman khusus yang mau-tidak-mau harus pakai kurir. Diantaranya: pengiriman barang yang atas permintaan pemesan (buyers) harus door-to-door (lokasi si penerima jauh dari airport), tidak cost-effective, permintaan yang buru-buru, barang bernilai tinggi. Jika terpaksa kirim via kurir, pastikan kurir bersedia mengeluarkan PEB. Mungkinkah? Jawaban saya: PASTI BISA (jika dipaksa). Mengapa harus dipaksa? Karena, kurir tidak mau proses PEB satu-per-satu (setiap 1 PEB kena biaya). Dengan digabungkan maka biaya yang harus mereka tanggung jadi lebih murah. Jika dipaksa, biasanya mereka akan mengenakan ekstra charge. Jika ekstra-charge-nya lebih kecil dari 10% harga barang, proses. Jika lebih besar, jangan. Bagaimana jika tidak bisa? Lakukan tindakan pencegahan selanjutnya.
[c]. Hitung PPN, Tambahkan ke Invoice Tagihan Ke Buyer – Jika pencegahan kedua diatas tidak bisa dilakukan. Mau tidak mau harus hitung PPN. Lebih baik hitung sekarang daripada berharap bisa lolos dari pemeriksaan—percuma (kemungkinan lolosnya hanya 1%). Sebenarnya paling bagus (fair dan etis) kalau Sales Tax 10% dimunculkan di invoice. Jelasakan peraturan pajaknya kepada buyer. Tetapi jika anda pikir buyer tidak akan mau terima, anda bisa langsung ditambahkan ke unit price—sehingga buyer tidak tahu kalau sesungguhnya mereka menanggung PPN. Bagaimana jika itu barang sample—dan nantinya akan ada order banyak (bulk order)? Katakan kepada buyer, untuk bulk order perusahaan memberi discount 10%. Beres kan? Tentu harus berkoordinasi dengan pihak marketing.
Jika perusahaan bisa melakukan salah satu tindak pencegahan di atas, saya yakin perusahaan bebas dari potensi masalah seperti di kasus-1 ini. Jikapun tidak, ya ditanggung oleh perusahaan saja. Hitung PPN-nya sejak awal, bayar dan laporkan. Itu masih jauh lebih baik dibandingkan nanti kena setelah 3 tahun terakumulasi—bunga dan dendanya akan membengkak.
Kasus-2. Ekspor Dengan Pinjam Nama Perusahaan Lain – Bagaimanapun juga, sesungguhnya ini praktek ilegal. Seharusnya dihindari. Saya tidak bermasud memberi ceramah moral maupun hukum. Itu bukan wilayah kompetensi saya. Pada dasarnya saya sama dengan anda—memandang persoalan ini dari aspek bisnis saja. Tak lebih-tak kurang. Saya menyarankan agar tidak melakukannya karena jika diterobos, nantinya akan banyak menimbulkan konflik—bukan hanya di persoalan PPN. Bisa saya katakan: sepanjang operasi perusahaan akan terus menanggung beban, salah-salah bisa menjadi bulan-bulananan tindak pemerasan oleh oknum nakal. Oke, mungkin anda mau mengatakan “Ah, sebagai pengusaha saya sudah kenyang dengan konflik, so no problem”. Ya ya ya… saya tahu. Silahkan. Bagaimanapun juga saya akan tetap kasih tips untuk potensi pengenaan PPN-nya:
[a]. Cantumkan QQ di dokumen Ekspor – Jika saya tidak keliru, dulu ekspor dengan menggunakan nama perusahaan lain bisa diakui sebagai penjualan ekspor jika mencantumkan “QQ” di dokumen ekspornya. Dan jika saya tidak keliru QQ bisa dicantumkan di beberapa dukumen ekspor, diantaranya: Invoice, PEB dan AWB (atau BL jika lewat laut). Untuk lebih pastinya, bisa ditanyakan ke DJP atau Bea Cukai. QQ yang saya maksudkan adalah: di kop surat dan kepala surat mencantumkan nama si pemilik ijin ekspor-nya. Persis di bawah-nya dicantumkan: “QQ: Nama perusahaan pemilik barang, alamat lengkap dan no NPWP/PKP”. Sekalilagi, sebaiknya pastikan hal ini dengan pihak DJP atau Bea Cukai.
[b]. Back Up Dengan Surat Pernyataan – Berhasil atau tidak berhasil di pencegahan pertama, back up surat pernyataan dari pihak pemilik nama yang dipinjam (ijin ekspor) tetap diperlukan. Surat pernyataan dibuat setiap kali akan mengirimkan barang yang mentakan bahwa: “Barang yang tercantum dalam Invoice No. xxxx PEB No. xxxx, AWB atau BL No. xxx adalah barang milik PT. JAK” (catatan: dalam hal ini JAK adalah pemilik barang sebenarnya). Apakah pernyataan itu bisa disahkan? Jelas tidak. Bagimanapun juga tidak bisa melegalkan tindakan ilegal. Surat pernyataan hanya bisa dibuat dibawah-tangan. Dan kekuatan hukumnya tidak cukup. Tetapi itu masih jauh lebih baik dibandingkan tidak ada samasekali.
[c]. Pertimbangkan Kembali atau Perhitungkan PPN – Jika tindakan pencegahan pertama tidak memungkinkan (untuk tindakan kedua biasanya mudah dilakukan), sebaiknya pertimbangkan kembali masak-masak—apakah tetap pinjam nama atau batal. Bagaimanapun juga, jika anda siap dengan risiko-nya, saya sarankan sebaiknya anda perhitungkan PPN-nya. Maksud saya, dari awal anggap itu kena PPN, sehingga anda bisa memasukannya sebagai tambahan di unit price barang yang dijual. Dengan demikian, nantinya tidak perlu ada kekagetan, apalagi kerugian yang harus ditanggung.
Oke. Nasi sudah jadi bubur, tidak bisa balik jadi nasi lagi. Yang sudah terjadi harus dicarikan solusi. Jika kebetulan belum kena periksa, berarti masih ada kesempatan untuk melakukan sesuatu. Tetapi harus segera dilakukan—jangan sampai ditunda.
Untuk kasus pertama (kiriman barang ekspor via kurir): (a) Kumpulkan semua copy invoice dan AWB pengiriman via kurir; (b) minta salinan PEB dari kurir. Mungkin PEB-nya sudah terlanjur digabung dengan barang milik perusahaan lain. Tidak apa-apa, tetap saja minta. (c) Disamping copy PEB, minta back up surat penyataan dari pihak kurir yang isinya menyatakan bahwa memang benar barang tersebut diekspor atas nama pemilik barang. Dalam surat penyataan, ikut sertakan list nomor invoice, nomor AWB dan nomor PEB.
Biasanya mereka akan menunda-nunda dengan berbagai alasan, sesungguhnya hanya tidak mau repot. Jika demikian keadaannya, katakana saja perusahaan anda sedang diaudit oleh kantor pajak. Katakan juga bahwa jika mereka tidak segera berikan, pegawai pajaknya akan mengunjungi kantornya untuk “pemeriksaan silang”. Saya yakin 99% pasti diberikan begitu mendengar alasan tersebut.
Jika sudah diperoleh, arsipkan dokumen-dokumen tersebut dalam folder-filfer yang rapi (invoice, packing list, AWB/BL, PEB, surat pernyataan). Dengan begitu, berarti anda sudah 90% aman.
Bagaimana jika sedang dalam pemeriksaan—sementara anda belum melakukan apa-apa? Lakukan segera, usahakan dengan sangat keras dan cepat. Gagal? Bisa saja gagal. Selanjutnya? Saya bahas bersamaan dengan solusi kasus kedua.
Untuk kasus kedua (ekspor dengan pinjam nama): Jika belum kena periksa lakukan tindakan pencegahan segera. Tetapi tingkat keberhasilannya jauh lebih rendah dibandingkan pada kasus pertama. Bagaimanapun juga ekspor sudah terjadi, sehingga tidak mungkin untuk mencantumkan QQ (jika diijinkan). Maksimal yang bisa dilakukan adalah meminta surat pernyataan dari pihak pemilik nama. Lakukan approach yang sama seperti di tindak pencegahan.
Terusterang saya pesimis dengan kasus yang kedua. Dari beberapa kasus yang pernah saya tangani sendiri (catatan: saya bukan konsultan pajak, juga bukan pegawai pemerintah dari instansi manapun), kemungkinan berhasilnya sangat tipis. BUKAN berarti tidak ada samasekali, melainkan 1 banding 5—artinya dari 5 kasus, yang berhasil hanya 2.
Bagaimanapun juga saya sama dengan anda—tak mungkin menyerah di tengah jalan. Ada satu hal yang selalu saya sarankan kepada siapa saja yang sedang menghadapi pemeriksaan pajak—apapun kasusnya, yaitu: Selalu bersikap baik sekaligus profesional kepada pemeriksa dari kantor pajak.
Bagaimanapun juga, pemeriksa dari kantor pajak juga manusia yang ingin dipandang sebagai manusia lengkap dengan segala kekurangan/keburukan dan kelebihan/kebaikannya. Sesekali mungkin anda ketemu orang arogan, sok. Tetapi di kesempatan lain mungkin anda bertemu orang baik yang santun sekaligus bijak dalam memandang persoalan.
Sehingga, dalam kondisi apapun selalu berusaha untuk tetap terkendali: Jaga pikiran, jaga sikap. Jangan panik tetapi juga jangan lalai. Yang paling utama, jangan emosi. Jaga jangan sampai menyingung harga diri atau pribadi pihak pemeriksa—apapun kondisinya (meskipun mungkin anda sakit hati, marah, kesal dll). Sementara berusahalah untuk tetap bersabar. Tak ada persoalan yang bisa terselesaikan dengan baik dengan sikap emosi.
Jika kondisi hubungan baik dan profesionalitas itu bisa tetap terjaga selama proses pemeriksaan dari awal hingga akhir, maka saya ada satu kunci rahasia akhir yang ingin saya sharing di sini—khusus untuk persoalan ekspor yang dianggap penjualan lokal dan dikenakan PPN. Apa kuncinya?
Terusterang, advise saya ini harganya lumayan mahal—tetapi untuk pembaca JAK, saya akan share hahahhaha… Maaf saya cuma berkelakar. Maksud saya begini:
Dalam setiap operasional bisnis (termasuk transaksi penjualan)—apapun jenisnya selalu melibatkan 3 arus aliran/arus (flows), yaitu: (1) Arus barang/jasa; (c) Arus dokumen; dan (2) Arus Uang (kas).
Dalam auditing (pemeriksaan), transaksi adalah sah adanya jika ketiga arus tersebut menunjukan hal yang bersesuaian (matching). TETAPI, ada tetapi-nya, arus 1 dan 2 tidak ada artinya jika tidak matching dengan arus ke-3 yaitu arus kas. Kejadian ekonomi (economic event) point paling utamanya adalah uang.
Logikanya: Tidak ada orang yang mau memberikan uang cuma-cuma (tanpa pertukaran).
Nah, jika melihat kedua kasus di atas:
Arus Barang – Anda akan digagalkan di sini: arus barang seolah-olah dari perusahaan anda lalu ke pemilik nama yang anda pinjam, baru ke luar wilayah pabean Indonesia (ekspor). Sehingga anda dianggap melakukan penjualan lokal kepada pihak pemilik nama yang anda pinjam, dan dialah yang dianggap melakukan ekspor.
Arus Dokumen – Mungkin DJP pakai patokan dokumen ekspor, tetapi toh dokumen dalam transaksi binis yang paling penting adalah Purchase Order (PO) dan invoice tagihan. Sepanjang anda ada PO atas pesanan barang tersebut dan mengirimkan tagihan invoice tagihan kepada pihak buyer, dari aspek arus dokumen jelas transaksi penjualan itu ada. Artinya itu penjualan perusahaan anda dengan pihak pembeli yang ada di luar negeri sana—bukan penjualan dengan perusahaan lokal.
Arus Uang – Di arus uang, dibuktikan dengan membandingkan nilai tagihan yang ada di invoice dengan kas diterima. Jika sudah bersesuaian, tinggal pembuktian darimana datangnya kas masuk tersebut? Jika datangnya dari pembeli yang ada di PO berarti sudah bersesuaian. Artinya jelas transaksi penjualan dengan pihak pembeli di luar negeri sana—bukan transaksi penjualan denga pihak lain (termasuk pembeli lokal). Artinya juga ekspor. Artinya seharusnya tidak kena PPN.
Coba diuji terbalik: jika pemeriksa menetapkan itu penjualan lokal (dengan pihak pemilik nama perusahaan yang dipinjam misalnya), apakah pemeriksa bisa menunjukan bukti arus dokumen dan arus kas-nya? Adakah ada PO-nya? Yang paling penting, adakah arus kas masuk yang berasal dari perusahaan lokal yang dimaksud? Jika tidak, apakah barangnya diberikan cuma-cuma? Jelas sekali penetapan oleh pemeriksa sangat lemah dan dipaksakan. Nyaris ilegal.
Oke. Sekarang anda sudah tahu itu. Selanjutnya? Sampaikan logika itu kepada pemeriksa dengan baik, santun dan tetap menghargai. Mudah-mudahan pihak pemeriksa mau bijak dan realistis dalam memandang persoalan. Bersedia mengedepankan profesionalitas—bukan arogansi.
Sekalilagi, tingkat keberhasilannya terbilang rendah—tetapi ada kemungkinan berhasil, tergantung bagaimana cara anda menyampaikannya, tergantung seberapa baik hubungan anda dengan pemeriksa dalam kisaran profesional, dan terakhir tergantung pada kehendak DIA sang pencipta semesta alam. Artinya, dengan yang terakhir ini berarti usaha anda sudahj luar biasa gigih. Jikapun tidak memuaskan, MESTI ada pelajaran yang bisa diambil. Akhirnya semoga sukses.
Demikianlah Artikel Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa
Sekianlah artikel
Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/06/jika-penjualan-ekspor-dikenakan-ppn.html
0 Response to " Jika Penjualan Ekspor Dikenakan PPN oleh Pemeriksa "
Posting Komentar