Judul : Investasi Skema Ponzi
link : Investasi Skema Ponzi
Investasi Skema Ponzi
OLEH : A Prasetyantoko, Pengamat Ekonomi; Dekan Fakultas Ilmu Administrasi dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Erlangga Djumena
Apa beda praktik penipuan investasi emas yang kita alami baru-baru ini dengan investasi skema ponzi model Bernard Madoff di AS?
Prinsipnya sama saja, berawal dari sikap aji mumpung yang bertemu mental ingin cepat kaya atau greedy. Dari sisi penawaran dan permintaan, ini sudah cukup menciptakan penyimpangan perilaku investasi, baik sederhana maupun canggih. Kasus penipuan investasi emas yang melibatkan Raihan Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama besar. Kasus ini menambah panjang daftar penipuan berkedok investasi di Indonesia.
Beberapa tahun lalu, muncul kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), G Cosmos, Voucher Key, dan lain-lain. Tak boleh dilupakan kasus Antaboga, disusul bail out Bank Century. Sebenarnya, penipuan mereka tergolong primitif. Memanfaatkan kekosongan regulasi dan pemahaman investor.
Justru yang merisaukan, jika hal seprimitif itu pun lolos dari pengamatan regulator, bagaimana dengan ”penipuan” yang melibatkan teknik dan metode kuantitatif tingkat lanjut? Madoff dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana menjalankan investasi skema ponzi. Kerugian yang ditimbulkan lebih dari 50 miliar dollar AS, hampir setengah cadangan devisa kita saat ini. Pihak yang dirugikan pun bank-bank terkemuka, seperti HSBC, BNP Paribas, dan Santander (bank terbesar di Spanyol).
Ada yang menarik dalam persidangan kasus ini. Madoff yang pemilik Madoff Investment Securities mengatakan, semua negara mengembangkan sistem ponzi dalam mengelola keuangan publik. Mungkin fakta di negara maju memang begitu. Sementara masalah kita jauh lebih sederhana, tipu-menipu dan model korupsi primitif.
Perilaku ekonomi
Istilah ponzi sebenarnya mengambil nama mafioso Italia yang menetap di AS, yakni Charles Ponzi, yang menjalankan usaha dengan cara kotor melalui tipu muslihat untuk menumpuk keuntungan. Pemikir ekonomi beraliran strukturalis, Hyman Minsky, memaparkan secara teoretis perilaku agen ekonomi. Ada tiga karakteristik, yaitu mereka yang tergolong hedge, speculative, dan ponzi.
Mereka digolongkan hedge jika dalam mengelola usaha atau portofolio kekayaannya cenderung hati-hati dan menghindari risiko berlebihan. Speculative jika cenderung berani dalam mengambil keputusan sehingga kadang berada pada situasi berisiko. Sebagai ponzi apabila dengan sengaja membiarkan dirinya tidak mampu melunasi kewajibannya. Bahkan, jika seluruh asetnya dijual sekalipun, utang-utangnya tidak akan tertutup. Meski bersifat kriminal, investasi skema ponzi ini bermain di wilayah elite dalam kesadaran masyarakat. Sama seperti GTIS atau QSAR, mereka menjual nama-nama besar sebagai endorser. Sistem pengelolaannya dibungkus sedemikian rapi dan sepertinya bonafide. Padahal, skema yang dijalankan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mereka menjalankan usaha dengan teknik pemasaran andal dan progresif sehingga investor cenderung tergiur membeli. Dalam investasi, sering muncul perilaku mengekor (herd behavior). Bahkan, di pasar modal yang begitu maju, terkadang keputusan beli atau jual saham hanya didasari sikap mengekor. Mengapa bursa kadang mengalami kenaikan atau penurunan terlalu tajam dari yang semestinya, tak lain adalah faktor sikap mengekor dari para investor.
Belum lagi kalau alasan utama melakukan investasi atau mengelola usaha adalah untuk mengeruk untung sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya. Mereka tak lagi memperhitungkan risiko karena motif utamanya adalah meraih keuntungan setinggi-tingginya.
Risiko sistemik
Model-model kejahatan itu tampaknya sederhana dan kasuistis belaka. Namun, jika tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan risiko sistemis berkepanjangan. Kasus Antaboga yang merembet ke Century adalah satu contoh. Ke depan, hal-hal semacam itu sangat mungkin akan sering terjadi dalam skala lebih besar, serta lebih rumit. Mengapa? Ada alasan dari dua sisi, permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan, dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen bertahun-tahun ke depan, jumlah orang kaya dan kelas menengah akan terus bertambah. Jika merujuk klasifikasi kelas menengah versi Bank Dunia, mereka yang berpendapatan 2-20 dollar AS per hari. Kategori ini terlalu longgar. Jika memakai penghasilan 6-20 dollar AS, angkanya sekitar 6,5 persen dari total penduduk pada 2010.
Jumlah kelas menengah dengan kemampuan investasi relatif tinggi akan terus meningkat seiring booming ekonomi. Populasi orang sangat kaya (high net worth individual/HNWI) atau penduduk dengan investasi minimal 1 juta dollar AS memang masih sedikit.
Menurut Asia Pacific Wealth Report 2012 terbitan Royal Bank of Canada Wealth Management, baru sekitar 32.000. Namun, pertumbuhannya tergolong cepat, yakni 23,8 persen 2009-2010. Pada periode itu, negara lebih maju dari Indonesia pertumbuhan HNWI-nya lebih rendah. Di Singapura 21,3 persen, Korsel 15,5 persen, Australia 11,1 persen, India 20,8 persen, dan Jepang 5,4 persen.
Mereka pasti perlu instrumen investasi lebih rumit dan tak lagi puas dengan bunga tabungan dan deposito. Mereka ini pasar berbagai produk investasi nonkonvensional. Maka, industri reksadana dan wealth management begitu menjanjikan di negeri ini.
Di sisi penawaran, ada kecenderungan terjadi konglomerasi sektor keuangan. Perbankan mulai ekspansi ke berbagai sektor keuangan lain, seperti pembiayaan, asuransi, sekuritas. Perbankan di Indonesia termasuk yang paling menguntungkan di seluruh dunia. Tahun lalu, bank-bank BUMN mengantongi laba Rp 45 triliun. Maka, mereka melakukan ekspansi ke lembaga keuangan lainnya.
Perkembangan sisi permintaan dan penawaran ini terjadi dalam situasi regulasi masih relatif lemah. Sementara tingkat kesadaran investasi masyarakat cenderung rendah. Kasus Citibank di mana banyak nasabah ternama menyerahkan begitu saja pengelolaan investasinya ke satu orang menjadi bukti. Ketika terjadi manipulasi, dampaknya ke mana-mana. Kian berbahaya jika perilaku aji mumpung terjadi dalam sistem keuangan yang terkoneksi dalam konglomerasi sektor keuangan.
Gejolak pada satu sektor bisa cepat menyebar ke sektor lain. Jika sampai ke perbankan, bisa menimbulkan instabilitas pada perekonomian secara makro. Otoritas Jasa Keuangan harus sistematis mengantisipasi berbagai perilaku penyimpangan moral lewat berbagai kedok investasi, dari yang sederhana hingga yang rumit dalam sebuah sistem investasi berskema ponzi. Masih ada waktu, sebelum perilaku mereka berevolusi kian rumit dan sulit dideteksi. Kasus-kasus primitif itu harus secara proaktif diusut dan diantisipasi.
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Erlangga Djumena
Apa beda praktik penipuan investasi emas yang kita alami baru-baru ini dengan investasi skema ponzi model Bernard Madoff di AS?
Prinsipnya sama saja, berawal dari sikap aji mumpung yang bertemu mental ingin cepat kaya atau greedy. Dari sisi penawaran dan permintaan, ini sudah cukup menciptakan penyimpangan perilaku investasi, baik sederhana maupun canggih. Kasus penipuan investasi emas yang melibatkan Raihan Jewellery dan Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) menyita perhatian publik karena menyeret nama-nama besar. Kasus ini menambah panjang daftar penipuan berkedok investasi di Indonesia.
Beberapa tahun lalu, muncul kasus PT Qurnia Subur Alam Raya (PT QSAR), G Cosmos, Voucher Key, dan lain-lain. Tak boleh dilupakan kasus Antaboga, disusul bail out Bank Century. Sebenarnya, penipuan mereka tergolong primitif. Memanfaatkan kekosongan regulasi dan pemahaman investor.
Justru yang merisaukan, jika hal seprimitif itu pun lolos dari pengamatan regulator, bagaimana dengan ”penipuan” yang melibatkan teknik dan metode kuantitatif tingkat lanjut? Madoff dihukum karena terbukti melakukan tindak pidana menjalankan investasi skema ponzi. Kerugian yang ditimbulkan lebih dari 50 miliar dollar AS, hampir setengah cadangan devisa kita saat ini. Pihak yang dirugikan pun bank-bank terkemuka, seperti HSBC, BNP Paribas, dan Santander (bank terbesar di Spanyol).
Ada yang menarik dalam persidangan kasus ini. Madoff yang pemilik Madoff Investment Securities mengatakan, semua negara mengembangkan sistem ponzi dalam mengelola keuangan publik. Mungkin fakta di negara maju memang begitu. Sementara masalah kita jauh lebih sederhana, tipu-menipu dan model korupsi primitif.
Perilaku ekonomi
Istilah ponzi sebenarnya mengambil nama mafioso Italia yang menetap di AS, yakni Charles Ponzi, yang menjalankan usaha dengan cara kotor melalui tipu muslihat untuk menumpuk keuntungan. Pemikir ekonomi beraliran strukturalis, Hyman Minsky, memaparkan secara teoretis perilaku agen ekonomi. Ada tiga karakteristik, yaitu mereka yang tergolong hedge, speculative, dan ponzi.
Mereka digolongkan hedge jika dalam mengelola usaha atau portofolio kekayaannya cenderung hati-hati dan menghindari risiko berlebihan. Speculative jika cenderung berani dalam mengambil keputusan sehingga kadang berada pada situasi berisiko. Sebagai ponzi apabila dengan sengaja membiarkan dirinya tidak mampu melunasi kewajibannya. Bahkan, jika seluruh asetnya dijual sekalipun, utang-utangnya tidak akan tertutup. Meski bersifat kriminal, investasi skema ponzi ini bermain di wilayah elite dalam kesadaran masyarakat. Sama seperti GTIS atau QSAR, mereka menjual nama-nama besar sebagai endorser. Sistem pengelolaannya dibungkus sedemikian rapi dan sepertinya bonafide. Padahal, skema yang dijalankan sama sekali tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Mereka menjalankan usaha dengan teknik pemasaran andal dan progresif sehingga investor cenderung tergiur membeli. Dalam investasi, sering muncul perilaku mengekor (herd behavior). Bahkan, di pasar modal yang begitu maju, terkadang keputusan beli atau jual saham hanya didasari sikap mengekor. Mengapa bursa kadang mengalami kenaikan atau penurunan terlalu tajam dari yang semestinya, tak lain adalah faktor sikap mengekor dari para investor.
Belum lagi kalau alasan utama melakukan investasi atau mengelola usaha adalah untuk mengeruk untung sebesar-besarnya dalam waktu secepat-cepatnya. Mereka tak lagi memperhitungkan risiko karena motif utamanya adalah meraih keuntungan setinggi-tingginya.
Risiko sistemik
Model-model kejahatan itu tampaknya sederhana dan kasuistis belaka. Namun, jika tidak ditangani dengan baik bisa menimbulkan risiko sistemis berkepanjangan. Kasus Antaboga yang merembet ke Century adalah satu contoh. Ke depan, hal-hal semacam itu sangat mungkin akan sering terjadi dalam skala lebih besar, serta lebih rumit. Mengapa? Ada alasan dari dua sisi, permintaan dan penawaran.
Dari sisi permintaan, dengan pertumbuhan ekonomi di atas 6 persen bertahun-tahun ke depan, jumlah orang kaya dan kelas menengah akan terus bertambah. Jika merujuk klasifikasi kelas menengah versi Bank Dunia, mereka yang berpendapatan 2-20 dollar AS per hari. Kategori ini terlalu longgar. Jika memakai penghasilan 6-20 dollar AS, angkanya sekitar 6,5 persen dari total penduduk pada 2010.
Jumlah kelas menengah dengan kemampuan investasi relatif tinggi akan terus meningkat seiring booming ekonomi. Populasi orang sangat kaya (high net worth individual/HNWI) atau penduduk dengan investasi minimal 1 juta dollar AS memang masih sedikit.
Menurut Asia Pacific Wealth Report 2012 terbitan Royal Bank of Canada Wealth Management, baru sekitar 32.000. Namun, pertumbuhannya tergolong cepat, yakni 23,8 persen 2009-2010. Pada periode itu, negara lebih maju dari Indonesia pertumbuhan HNWI-nya lebih rendah. Di Singapura 21,3 persen, Korsel 15,5 persen, Australia 11,1 persen, India 20,8 persen, dan Jepang 5,4 persen.
Mereka pasti perlu instrumen investasi lebih rumit dan tak lagi puas dengan bunga tabungan dan deposito. Mereka ini pasar berbagai produk investasi nonkonvensional. Maka, industri reksadana dan wealth management begitu menjanjikan di negeri ini.
Di sisi penawaran, ada kecenderungan terjadi konglomerasi sektor keuangan. Perbankan mulai ekspansi ke berbagai sektor keuangan lain, seperti pembiayaan, asuransi, sekuritas. Perbankan di Indonesia termasuk yang paling menguntungkan di seluruh dunia. Tahun lalu, bank-bank BUMN mengantongi laba Rp 45 triliun. Maka, mereka melakukan ekspansi ke lembaga keuangan lainnya.
Perkembangan sisi permintaan dan penawaran ini terjadi dalam situasi regulasi masih relatif lemah. Sementara tingkat kesadaran investasi masyarakat cenderung rendah. Kasus Citibank di mana banyak nasabah ternama menyerahkan begitu saja pengelolaan investasinya ke satu orang menjadi bukti. Ketika terjadi manipulasi, dampaknya ke mana-mana. Kian berbahaya jika perilaku aji mumpung terjadi dalam sistem keuangan yang terkoneksi dalam konglomerasi sektor keuangan.
Gejolak pada satu sektor bisa cepat menyebar ke sektor lain. Jika sampai ke perbankan, bisa menimbulkan instabilitas pada perekonomian secara makro. Otoritas Jasa Keuangan harus sistematis mengantisipasi berbagai perilaku penyimpangan moral lewat berbagai kedok investasi, dari yang sederhana hingga yang rumit dalam sebuah sistem investasi berskema ponzi. Masih ada waktu, sebelum perilaku mereka berevolusi kian rumit dan sulit dideteksi. Kasus-kasus primitif itu harus secara proaktif diusut dan diantisipasi.
Demikianlah Artikel Investasi Skema Ponzi
Sekianlah artikel
Investasi Skema Ponzi
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Investasi Skema Ponzi dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/03/investasi-skema-ponzi.html
0 Response to " Investasi Skema Ponzi "
Posting Komentar