Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Wajah Baru Otoritas Pajak | Magister Akuntansi

Labels

Wajah Baru Otoritas Pajak

Wajah Baru Otoritas Pajak - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Wajah Baru Otoritas Pajak , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel OPINI , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Wajah Baru Otoritas Pajak
link : Wajah Baru Otoritas Pajak

Baca juga


Wajah Baru Otoritas Pajak


Walaupun belum diputuskan secara resmi, Tim Transisi Jokowi-JK sudah mengusulkan pembentukan Badan Otoritas Pajak dan Badan Penerimaan Negara dalam kabinet pemerintahan mendatang.

Badan yang diusulkan tersebut adalah bentuk baru Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu. Badan tersebut bertanggung jawab langsung kepada presiden.
Dengan adanya Badan Otoritas Pajak ini maka diharapkan rasio pajak (tax ratio) akan naik menjadi 15% pada 2019 atau naik sekitar 3% lebih dibandingkan rasio pajak sekarang. Lantas, apakah dengan dibentuknya Badan Otoritas Pajak ini penerimaan pajak akan langsung meningkat? Jawabannya iya asalkan segera diikuti tiga hal penting yang mengiringi pembentukannya.

Hal pertama yarig harus segera dilakukan adalah menyiapkan legalitas pembentukan Badan Otori­tas Pajak ini. Legalitas ini harus ada menjelang pengumuman kabinet Jokwi-JK pada oktober mendatang. Legalitas pembentukan Badan Otoritas Pajak dapat dimasukkan dalam amandemen Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang saat ini sedang dibahas. Tetapi, harus diingat juga bahwa alasan utama dibentuknya badan ini sebenarnya adalah untuk memperbesar kapasitas Ditjen Pajak. Untuk itu, perlu ditambah kewenangan Dirjen Pajak dalam bidang sumber daya manusia (SDM), organisasi, dan pendanaan.

Segera Terbitkan Perpu

Karena itu, langkah yang tepat adalah memasukan juga kewenang­an yang dinginkan tadi ke dalam amendemen UU KUP. Undang-undang KUP bukan hanya mengatur ketentuan formal perpajakan saja, namun harus mengatur tentang hal-hal khusus terkait otoritas pemungutan pajak, seperti sistem rekrutmen, status pegawai, sistem penggajian, sistem pemberhentian, penambahan dan pengurangan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) dan sistem pendanaan.

Undang-undang KUP dapat meniru UU Bank hidonesia yang di dalamnya juga mengatur tentang sistem pengajian khusus pegawai Bank Indonesia. Tentunya ini sangat mungkin dilakukan karena amanat pajak diatur langsung dalam UUD 1945, yang mengindikasikan begitu pentingnya Ditjen Pajak. Kalaupun sangat mendesak dengan pertimbangan momentum yang tepat, pemerintah dapat segera menerbitkan peraturan pemerintah peng-ganti undang-undang (Perpu) KUP mengiringi pembentukan Badan Otoritas Pajak ini.
Berkaca pada penerbitan Perpu KUP Tahun 2009, Pemerintah pernah menerbitkan Perpu KUP untuk mengadopsi satu pasal perpanjangan pengampunan sanksi pajak (Sunset Policy). Dapat dikatakan, secara legal formal, pembentukan Badan Otoritas Pajak sudah tidak menjadi masalah lagi. Hal kedua yang harus segera disiapkan pasca pembentukan Badan Otoritas Pajak ini adalah sistem rekrutmen pegawaj dan pendidikan dan pelatihan (diklat). Untuk memaksimalkan penerimaan pajak, maka jumlah pegawai harus ditambah agar mampu memperluas cakupan pemungutan pajak (tax coverage ratio).

Selama ini, penerimaan pajak hanya didukung oleh segelintir wajib pajak (WP) saja. Hal ini dikarenakan seluruh pegawai pajak saat ini hanya mampu menjangkau 50% dan seluruh WP terdaftar saja. Sisanya ditambah Wajib Pajak yang belum terdaftar, tidak akan bisa disentuh. Namun, menambah pega­wai yang banyak tidak akan memberikan solusi cepat apabila tidak dikuti penambahan kompetensi dan adanya dukungan sarana dan prasana dalam bekerja. Memang akan ada jeda waktu (time lag) agar pegawai baru ini benar-benar siap bekerja. Namun, jeda waktu ini dapat diperpendek asalkan persiapannya dimulai sekarang.

Hal ketiga yang harus diantisipasi sejak dini adalah menyusun strategi penggalian potensi pajak orang pribadi. Dengan demikian sudah saatnya, struktur dan komposisi penerimaan pajak tidak lagi didominansi oleh setoran segelintir perusahaan berbasis' ekspor komoditas. Hal ini karena, diprediksi, untuk beberapa tahun ke depan pertumbuhan ekonomi dunia masih mengalami penurunan.

Ini berdampak pada penurunan kebutuhan impor dunia dan berimbas pada penurunan ekspor dari Indonesia. Akibatnya, penerimaan pajak dari WP sektor ini - berkontribusi hingga 90% total penerimaan pajak - diprediksi akan menurun.
Gejala ini tampak jelas dari tren pencapaian penerimaan pajak yang terus menurun dalam tiga tahun belakangan ini. Penerimaan pajak pada 2011 mencapai 97%, tahun 2012 mencapai 94%, dan tahun 2013 mencapai 92%.

Gawatnya lagi, postur anggaran pendapatan dan.belanja negara (APBN) juga sangat tergantung pada keberhasilan penerimaan pa­jak. Karena pertumbuhan ekonomi diprediksi juga menurun, maka sebenarnya potensi gagalnya penca­paian (shortfall) penerimaan pajak sudah di depan mata. shortfall pe­nerimaan pajak ini sebenarnya tidak boleh terjadi, karena hal ini akan mempersempit lagi ruang fiskal (fiscal space) yang memang sudah kecil. Dalam APBN-P 2014, peme­rintah sudah menerapkan kebijakan kualitas belanja (quality spending) karena ruang fiskal berkisar kurang dari 10% dari total belanja.

Tercermin Dana Nganggur

Sembari mendorong pertumbuhan ekonomi terus meningkat, terutama dari sisi penawaran (supply) agar menekan inflasi, maka Badan Otoritas Pajak harus mengendus besarnya po­tensi penerimaan pajak orang pribadi. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS, 2013), dari sekitar 110,8 juta orang yang berkerja, baru 24,13 juta orang atau 21,7% yang terdaftar sebagai WP Selanjutnya, dari jumlah WP yang terdaftar tersebut, hanya 670 ribu WP atau 2,7%. Ironisnya, dari sebanyak lebih 586 ribu WP, sekitar 87,5% membayar pajak kurang dari RplOO juta setahun atau hanya Rp 8,3 juta sebulan saja. Padahal, apabila dibandingkan dengan data eksternal yang ada, akan terdektesi ternyata memang banyak yang belum bayar pajak padahal mereka mampu.

Data jumlah simpanan nasabah bank mencerminkan dana nganggur (idle money) dan ini jelas mengindikasikan bahwa sang pemilik memiliki penghasilan jauh di atas jumlah simpanannya. Menurut data Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), per Mei 2014, jumlah rekening simpanan di atas Rp 5 miliar mencapai 68 ribu rekening lebih dengan jumlah sim­panan sebesar Rp 1.681,93 triliun.

Sebelumnya, hasil studi LPM FE UI (2012) menyebutkan ada lebih dari 5130 ribu nasabah yang memiliki simpanan di atas Rp 500 juta. Indikaitor kekayaan orang pribadi dapat juga dilihat dari kepemilikan hartanya. Penjualah mobil mewah cenderung stabil di sekitar angka tujuh ribu unit setiap tahunnya wa­laupun WP penjualan atas barang mewah (PPnBM) telah dinaikkan. Demikian juga penjualan apartemen kelas premium laris manis setiap tahunnya yang dibuktikan dengan proyek-proyek pembangunan apar­temen mewah di Jakarta yang kini terus saja bermunculan.

Angka dan fakta tersebut di atas menggambarkan dengan jelas betapa besaran potensi pajak orang pri­badi yang dapat dikonversi menjadi penerimaan negara. Kita berharap wajah baru otoritas pajak Indonesia akan segera lahir, dan bisa menjalankan perannya sebagai wajah baru otoritas pajak Indonesia.

Chandra Budi

Bekerja di Ditjen Pajak, alumnus Pascasarjana IPB (INVESTOR DAILY)








Demikianlah Artikel Wajah Baru Otoritas Pajak

Sekianlah artikel Wajah Baru Otoritas Pajak kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Wajah Baru Otoritas Pajak dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2014/09/wajah-baru-otoritas-pajak.html

0 Response to " Wajah Baru Otoritas Pajak "