Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Manajemen Perpajakan untuk Pejabat | Magister Akuntansi

Labels

Manajemen Perpajakan untuk Pejabat

Manajemen Perpajakan untuk Pejabat - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Manajemen Perpajakan untuk Pejabat , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel ARTIKEL PAJAK , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Manajemen Perpajakan untuk Pejabat
link : Manajemen Perpajakan untuk Pejabat

Baca juga


Manajemen Perpajakan untuk Pejabat


Visi misi perpajakan seringkali diabaikan atau tidak dipahami oleh pejabat negara, termasuk pemimpin daerah. Dalam pemilu presiden lalu, diungkapkan rencana menaikkan tax ratio menjadi 16%. Kabarnya, pemerintah berencana membentuk badan penerima­an negara untuk menggantikan Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Bagaimana seharusnya visi misi perpajakan pejabat negara untuk meningkatkan tax ratio dan penerimaan pajak?

Manajemen perpajakan diperlukan untuk meningkatkan tax ratio yang menurut laporan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) tentangRevenue Statistic (2014) adalah sebesar 12,9% di Indonesia di tahun 2012. Angka ini lebih rendah dibanding Malaysia (16,7%), Jepang, dan Korea yang berkisar 26%-28% atau bahkan nega­ra OECD rata-rata sekitar 34%. Kenaikan tax ratio, yakni perbandingan antara pa­jak yang diterima dengan produk domestik bruto, tentunya dapat meningkatkan penerimaan pajak.

Dalam laporan Economic Survey tahun 2012, OECD memberikan rekomendasi perpajakan, diantaranya meningkat­kan jumlah wajib pajak (WP) dari para pengusaha, meningkatkan sumber daya audit, dan peningkatan penggunaan informasi pihak ketiga untuk melakukan penaksiran kewajiban perpa­jakan. Laporan tersebut juga menjelaskan bahwa penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Orang Pribadi (OP) dari keseluruhan penerimaan pajak Indo­nesia adalah sebesar 12% dibandingkan negara OECD yang sebesar 52%. Artinya, tingkat kepatuhan WP OP masih rendah lantaran banyak penghasilan yang belum dikenakan pajak dan disimpan di luar negeri.

Dari saran OECD di atas, sepertinya penggunaan informasi pihak ketiga merupakan hal yang paling memungkinkan untuk segera dilaksanakan. Pemerintah sebenarnya telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2012 ten­tang Pemberian dan Penghimpunan Data dan Informasi Perpajakan yang diterbitkan atas dasar pasal 35A Undang-Undang Ketentuan Umum Perpajakan (UU KUP) yang menetapkan bahwa setiap instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain, wajib memberikan data dan infor­masi yang berkaitan dengan perpajakan untuk kepentingan penerimaan negara kepada DJP.
Sesuai PP No. 31/ 2012, pimpinan berbagai asosiasi, menteri, dan pejabat di lembaga atau instansi negara, gubernur, bupati seharusnya sadar akan kewajiban memberikan informasi perpajakan secara elektronik kepada DJP. Namun, kesadaran tersebut belum ada. Dari keterangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih dari 50% perusahaan tambang tidak membayar pajak sebagaimana seharusnya.

Menggandeng Pemda

Apabila kewajiban pemberian data dan informasi perpajakan itu dengan sengaja tidak dipenuhi, otomatis berlaku keten­tuan pengenaan sanksi pidana berupa penjara maksimal setahun berdasarkan pasal 41C UU KUP. Sayangnya, sanksi bagi pejabat negara karena tidak memenuhi kewajiban pemberian informasi ti­dak diatur jelas di PP No. 317 2012.
Informasi perpajakan untuk DJP berhubungan erat dengan pajak daerah yang didasarkan pada UU No. 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, meski pasal 172 UU tersebut tidak mengatur tentang pemberian infonnasi perpajakan kepada DJP dan bahkan dapat membatasi pem­berian informasi perpajakan kepada DJP.

Pajak pusat seperti PPh juga berkaitan dengan kepala daerah. Sebab, PPh, terutama PPh OP, akan diberikan kepada daerah lewat Dana Bagi Hasil sesuai UU No. 33/ 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Dengan begitu, seharusnya kepala daerah berkepentingan mendukung pemberian informasi perpajakan bagi DJP, selain karena adanya dampak atas pemberlakuan Single Identity Number.

Kepala Daerah seperti gubernur juga berkepentingan untuk meningkatkan penerimaan pajak daerah seperti pajak kendaraan bermotor hingga pajak rokok atau bupati terhadap pajak hotel, pajak hiburan, hingga Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) pedesaan perkotaan dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dengan informasi perpajakan.
Dukungan politik dari pejabat negara sangat diperlukan DJP karena pertukaran informasi perpajakan dari pemda dan badan pemerintah dapat mengungkap perilaku korupsi hingga pencucian uang. Sebab, dapat dipastikan pelaku tidak akan melaporkan penghasilan korupsi atau pencucian uang sebagai penghasilan terutang pajak.

Belum lama ini, otoritas pajak Jepang menemukan dugaan korupsi di Indone­sia, Uzbekistan, dan Vietnam setelah melakukan pemeriksaan pajak atas per­usahaan Jepang dan menemukan pembayaran yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang patut diduga sebagai uang pelicin. OECD bahkan telah mener­bitkan satu laporan tentang Bribery and Corruption Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors yang berisi panduan atas permasalahan ko­rupsi dalam pemeriksaan pajak.

DJP seharusnya dapat melakukan sinergi atas informasi perpajakan dengan pemda seperti di Belanda. Di sana, setiap orang asing yang mendapat izin tinggal di Belanda akan otomatis mendapatkan surat imbauan pelaporan pajak yang dikirim ke alamat terdaftar. Di Belanda pula, para pedagang kaki lima dapat mendapat fasilitas berjualan dari pemda (gementee) asalkan mereka membayar PPh dengan benar.

Hal sama dapat diterapkan di Indone­sia untuk PPh final 1% bagi UKM berupa kerjasama antara pemda dan DJP, sehingga para pedagang mendapat izin berjualan di pusat perdagangan atau pasar hanya jika mereka membayar PPh dengan benar. DJP dan Pemda DKI se­pertinya dapat memperluas kerjasama pertukaran informasi perpajakan yang belum lama dibuat tahun ini.
Kerjasama manajemen informasi per­pajakan dapat digunakan untuk mengenakan PPh atas tambahan kekayaan neto yang belum dilaporkan sebagai pengha­silan sesuai pasal 4(1)(p) UU PPh. Di negara lain, seperti Amerika Serikat, sistem whistle blower digunakan  untuk menerima laporan penggelapan pajak. 


Oleh : Andreas Adoe, Senior Research Associate IBFD Asia (Kontan)




Demikianlah Artikel Manajemen Perpajakan untuk Pejabat

Sekianlah artikel Manajemen Perpajakan untuk Pejabat kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Manajemen Perpajakan untuk Pejabat dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2014/10/manajemen-perpajakan-untuk-pejabat.html

0 Response to " Manajemen Perpajakan untuk Pejabat "