Jokowi sedang giat-giatnya membantu para Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) melalui platform Kredit Usaha Rakyat (KUR) bertujuan untuk membantu para pengusaha (rakyat) kecil untuk memiliki akses permodalan di perbankan atau lembaga keuangan.

Selama ini yang namanya petani, nelayan atau pengusaha kecil selalu kesulitan dalam meminjam uang di Bank untuk modal kerja. Kalaupun bisa tentu harus menyertakan jaminan entah Sertifikat Tanah, Rumah atau BPKB kendaraan. Padahal belum tentu mereka semua memilikinya, biasanya mereka akan mulai menabung atau meminjam kepada saudara, parahnya banyak yang malah terpaksa berurusan dengan rentenir.
Bukan modal yang didapatkan, malah jeratan hutang.
Krisis ekonomi dan masa reformasi telah memberi gambaran besar betapa tidak adilnya sistem perekonomian masa itu, pengusaha harus dekat dengan penguasa atau konglomerat memeras banknya sendiri untuk membiayai proyeknya. Giliran krisis melanda Indonesia, sistem ekonomi yang kosong didalamnya langsung merobohkan pilar perbankan. Kredit macet merajalela, dolar meroket, pinjaman menjadi mahal, daya beli menurun, nasabah panik hasilnya Rush.
Tentu saja semua simpanan bank dalam wujud kredit sehingga mereka harus berteriak minta dana talangan, pada saat bersamaan penguasa tumbang. Pejuang reformasi parahnya malah mencari panggung, ekonomi, tatanan sosial hancur lebur, politik menjadi beringgas.
Hasilnya negara harus nombok atau diselewengkan hingga Rp 138 Triliun (audit BPK tahun 2000).
Jokowi sangat paham kalau negara selama ini memanjakan pengusaha dan melupakan rakyat kecil yang berjuang sendiri diantara remah-remah ceceran produk lokal. Ya . . . mereka harus dicarikan akses ke perbankan tapi suku bunga berlaku diatas 20%, Pemilik Bank berlaku curang dengan menerapkan bunga kredit tinggi tapi bunga tabungan rendah. Lihatlah betapa kaya rayanya para pengusaha kita yang memiliki Bank.
Satu-satunya cara rakyat kecil harus diberi keringanan suku bunga rendah, Bank sedang diperkosa Jokowi supaya efisien sehingga margin laba mereka cukup 4%. Para pemilik bank harus menaikkan modal CAR hingga 25% supaya mereka juga tahan banting, Lihatlah bagaimana keberpihakan Pemerintahan Jokowi melalui program KUR :
  1. KUR tahun 2007 – 2014, total penyaluran Rp 178 triliun (dana dari perbankan) suku bunga 22% pertahun
  2. KUR tahun 2015, total penyaluran Rp 21 triliun (dana pemerintah) suku bunga 12% pertahun
  3. KUR tahun 2016, total penyaluran Rp 33 triliun (dana pemerintah) suku bunga 9% pertahun
  4. KUR tahun 2017, budget penyaluran Rp 100 triliun (dana pemerintah) suku bunga 7% pertahun
Pada masa pemerintahan Pak Mantan suku bunganya mencapai 22%, pantas saja tidak memberikan dampak ekonomi yang besar. Pada masa Jokowi keberpihakan sangat kentara dengan penurunan suku bunga mulai dari 12% menuju 7%. Jempol buat Jokowi yang sudah memikirkan hal seperti ini.
Jokowi bermimpi Indonesia harus secepatnya mengejar ketertinggalan dengan bangsa lain, negara ini adalah negara besar jadi harus berpikir besar, supaya kuat dari tekanan lembaga keuangan internasional semacam IMF, World Bank, ADB atau lainnya indikator ekonomi harus dikondisikan :
  1. Inflasi dijaga di 3% pertahun
  2. Suku bunga kredit single digit
  3. Pertumbuhan ekonomi minimal 5%
  4. Nilai tukar Rupiah stabil dibawah 5%
Sri Mulyani mengatakan kalau struktur APBN 2018 nantinya sudah mendekati realistis angka-angkanya, tentunya ini adalah prestasi besar karena negara lain akan melihat Indonesia akan segera mandiri dan susah untuk digoyang. Bayangkan pemborosan yang telah terjadi akibat krisis 1998 sudah dikeluarkan sebesar Rp 600 triliun (1997 – 2004) hanya untuk membuat perbankan sehat.
Enak benar kau para konglomerat, bangsamu kau peras oleh kerakusanmu dan kerakusan para elite parpol.
Mimpi Jokowi adalah para anak muda Indonesia memiliki kesempatan untuk menjadi enterpreneur dan memiliki akses ke lembaga keuangan secara mudah. Sudah saatnya rasio gini harus diturunkan supaya perbedaan antara si kaya dan si miskin menjadi tipis. Sehingga para elite tidak mudah mempengaruhi rakyat dengan cerita 1001 malam yang provokatif dan menyesatkan.
World bank mencari celah untuk untung
Country Director World Bank for Indonesia Rodrigo Chaves mengkritik bahwa subsidi suku bunga di KUR menjadi poin utama kesalahan karena akan  mendistorsi pasar sehingga bank non penyalur kesulitan dalam bersaing.
“Jadi, kebutuhan mereka bukan terkait subsidi suku bunga kredit, tetapi kemudahan akses pinjaman yang berkelanjutan untuk mengembangkan bisnisnya,” ujarnya dalam pidatonya pada Indonesia Economic Quarterly pada Rabu (22/3).bisnis.com.
Sepertinya Rodrigo sudah lupa kalau di Indonesia ada Sri Mulyani, jadi ocehanmu jelas tidak berdasar. Memangnya mengapa sosok ini mau kembali ke Indonesia kalau bukan untuk mengabdi pada ibu pertiwi.
Sekali lagi para bankir dari luar negeri selalu melihat dalam perspektif mereka tanpa sungguh-sungguh memahami realita di lapangan. Bukti lainnya adalah bahwa perbankan Indonesia pada tahun 2016 telah menyalurkan kredit hingga Rp 4.402 triliun.
Bandingkan subsidi KUR hanya sekitar Rp 100 triliun atau hanya 2,2% saja dari total kredit perbankan. Angka ini jelas terlalu kecil untuk porsi kredit yang sedemikian jumbonya. Jelas saja motif utama dari Rodrigo adalah potensi penurunan laba dari beberapa perbankan dari luar negeri, karena penyalur utama KUR adalah bank Pemerintah yang mencapai hampir 95%.
Indonesia memang harus selalu waspada dan berhati-hati dengan motif tersembunyi dari lembaga  World Bank, IMF atau lainnya karena tujuan utama mereka adalah hasil maksimal bagi kepentingan korporasi. Parahnya kita tidak sadar kalau beberapa program bantuan atau pinjaman lunak memiliki konsekuensi jangka panjang yang merugikan dan menuntut syarat yang mencekik tanpa tahu sudah tercekik.
Subsidi negara maju
Subsidi pertanian negara maju seperti Eropa dan Amerika jumlahnya sangat besar, menghasilkan sistem perekonomian dunia yang bias, standar ganda, kepalsuan proteksi serta merugikan pertanian di negara ketiga. Bagaimana mungkin para petani di Asia, Afrika atau Amerika latin yang masih tradisional harus bersaing dengan para petani (agrobisnis sebutannya) mereka yang sudah menggunakan peralatan modern, efisien serta dukungan dari universitas untuk membantu riset ?
Lihat saja berapa subsidi mereka, tercatat untuk kawasan Eropa mencapai 55 miliar Euro (Rp 790 triliun), Amerika Serikat mencapai US$ 22 miliar (Rp 286 triliun). Bandingkan dengan program kredit KUR Jokowi atau subsidi pertanian negara ini, yang masih disibukkan dengan subsidi BBM. Jujur warga di jawa terlalu manja dan cengeng dengan kenaikkan harga BBM Rp 300 atau Rp 500 rupiah, seakan-akan dunia mau kiamat saja. Papua berapa . . . ?
Apakah World Bank, IMF mau berkomentar tentang besarnya subsidi ini ? Tentu tidak karena kebijakan dan analisa mereka harus selalu menguntungkan pemegang saham mereka yaitu kelompok negara maju.
Hasil dari mekanisasi, bibit unggul, teknologi informasi managemen air atau akses perbankan di pertanian negara maju telah menghasilkan harga komoditi pertanian jagung, kedelai atau gandum seolah-olah tidak masuk akal murahnya.
http://rahayu89.blogspot.co.id/2012/07/amerika-sebagai-negara-agraris-dengan.html
Masuknya produk pertanian negara maju serta paksaan tarif masuk rendah atau malah 0% lewat aturan WTO, jelas memukul para petani lokal sehingga produk merrka kalah bersaing di pasaran. Akibat merugi dan tidak menguntungkan, para petani ini memutuskan beralih profesi menjadi buruh migran di kota besar. Skill mencangkul harus mengadu nasib di kota dengan bentuk keahlian yang berbeda.
Hasilnya mereka menjadi kaum marjinal baru dan kemiskinan.
Sejarah mencatat  bahwa kejatuhan dan kerusuhan di Mesir karena dipicu oleh naiknya harga gandum dan berkurangnya lapangan pekerjaan. Ataupun Venezuela terjadi inflasi dan krisis pangan karena memang komoditi minyak yang anjlok dan kurangnya petani. Negara maju sangat memahami korelasi antara ketahanan pangan dengan ketahanan negara makanya mereka tidak mau mencabut subsidi pertanian mereka.
Bayangkan sebuah negara harus bergantung pada negara lain hanya untuk urusan makan, apa tidak lemah negara tersebut.
Jokowi sangat memahami hal ini makanya prioritas utama selain infrastruktur logistik adalah swasembada pangan, salah satunya dengan membangun banyak bendungan atau embung. Perut yang kenyang akan membuat pikiran rakyat jernih dan tidak mudah dihasut provokator.
http://www.papua.us/2015/05/beras-organik-dari-merauke-sanggup.html
Gambar Jokowi sedang panen raya beras organik di Merauke, Papua bukan di Jawa, serta sudah memakai alat pertanian mekanis ! Siapa bilang papua tidak ada sawah dan Jakarta memang tidak perlu memaksa rakyat Papua untuk tidak makan sagu lagi, karena Merauke adalah daerah rendah dan cenderung datar. Cerdas sekali kau Jokowi, ketahanan pangan di Papua sudah kau jaga. Jadi tidak akan ada lagi cerita kelaparan di daerah puncak, serta jalan yang mulus nantinya.
Realitanya di dunia ini para pemain kaya dan maju selalu menggunakan standar ganda. Indonesia beruntung memiliki putra putri terbaik sehingga tidak akan kalah atau tunduk dengan kemauan para negara maju. IMF sudah sangat takut dengan Indonesia, semakin Indonesia kacau semakin senanglah mereka, karena saat itu mereka memiliki peluang untuk merebut SDA Indonesia.
SDA adalah berkas dari Tuhan, jadi tidak dapat diciptakan kembali. Manusia Indonesia harus maju dengan kreatifitasnya, adalah tugas negara untuk memfasilitasi dan memberi kemudahan.
Bagaimana menurutmu ?

Sumber : Seword.com