Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM | Magister Akuntansi

Labels

MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Islamic Finance , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM
link : MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Baca juga


MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Dalam kajian-kajian, buku-buku, artikel, ataupun makalah tentang akuntansi syariah penulis belum menemukan pembahasan yang mendalam tentang konsep keuntungan dalam perspektif Islam. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mencoba menyajikan pembahasannya untuk para pembaca yang budiman. Hukum Asal Setiap Transaksi Adalah Halal

Fiqh Islam memiliki kaidah yang mengatakan bahwa ”Hukum asal dalam segala hal adalah boleh, hingga ada dalil yang menunjukkan akan keharamannya." Demikian pula dalam hal muamalah terdapat suatu kaidah yang mengatakan bahwa “hukum asal setiap transaksi adalah halal,” hal ini didasari oleh firman Allah SWT. yang artinya, "Dialah yang menciptakan untuk kamu segala yang ada di bumi seluruhnya." (Qs, Al-Baqarah: 29). Rasulullah saw. Juga bersabda yang artinya,


"Kalian lebih mengetahui tentang urusan dunia kalian." (Riwayat Muslim). "Dari sahabat Rafi' bin Khadij ia menuturkan: "Dikatakan (kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam) Wahai Rasulullah! Penghasilan apakah yang paling baik? Beliau menjawab: "Hasil pekerjaan seseorang dangan tangannya sendiri, dan setiap perniagaan yang baik." (Riwayat Ahmad, At Thabrany, Al Hakim, dan dishahihkan Syeikh Al Albany). 

Badri (2009) menjelaskan bahwa para ulama' telah menyepakati bahwa perniagaan adalah pekerjaan yang dibolehkan, dan kesepakatan ini telah menjadi suatu bagian dari syari'at Islam yang telah diketahui oleh setiap orang. Sebagai salah satu buktinya, setiap ulama' yang menuliskan kitab fiqih, atau kitab hadits, mereka senantiasa mengkhususkan satu bab untuk membahas berbagai permasalahan yang terkait dengan perniagaan. Berangkat dari dalil-dalil ini, para ulama' menyatakan bahwa hukum asal setiap perniagaan adalah boleh, selama tidak menyelisihi syari'at. Namun meski demikian, tentu perniagaan tersebut akan dikatakan harus dihindari apabila mengetahui sebab-sebab yang menjadikannya haram, misalnya: mengandung unsur riba, gharar, maysir, merugikan orang lain, dan sebab-sebab syariat yang lain. Konsep Income dalam Arti Keuntungan Halal (Lawful Profit) Ilmu ekonomi konvensional memiliki pandangan yang sempit atas makna keuntungan, yaitu memaknai keuntungan hanya sebatas kepada keuntungan materi saja. 

Dengan demikian, jika transaksi yang dilakukan berujung pada kembali modal atau modalnya justru menjadi kurang, berarti ia telah merugi. Islam telah mengatur segala keperluan manusia dalam hidupnya dengan lengkap dan sempurna, tidak ketinggalan masalah muamalah Al Qur‟an telah menyebutkan bahwasanya “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (Al Baqarah: 275).” 

Dengan demikian jelas bahwa jual beli berbeda dengan riba. Pada lumrahnya transaksi jual beli, maka didalamnya terdapat pengambilan margin keuntungan. Hal ini tidak dilarang dalam syariat, karena dalam jual beli mengandung risiko untuk rugi. Mencari keuntungan dalam bisnis pada prinsipnya merupakan suatu perkara yang jaiz (boleh) dan dibenarkan. Adapun batasan keuntungan yang dibenarkan syari'at, maka sebenarnya tidak ada dalil yang membatasinya (Badri, 2009). Tidak ada satu nash pun yang membatasi margin keuntungan, misalnya 25 %, 50%, 100% atau lebih dari modal. Bila kita jumpai pembatasan jumlah keuntungan yang dibolehkan maka pada umumnya tidak memiliki landasan hukum yang kuat. 

Tingkat laba/keuntungan atau profit margin berapa pun besarnya selama tidak mengandung unsur-unsur keharaman dan kezhaliman dalam praktek pencapaiannya, maka hal itu dibenarkan syariah sekalipun mencapai margin 100 % dari modal bahkan beberapa kali lipat (Fatahillah, 2010). Dengan demikian berapapun keuntungan yang diambil oleh seorang pengusaha, maka itu sah-sah saja, asalkan didasari oleh asas suka sama suka. Meskipun demikian, syari'at Islam telah mengajarkan kepada umatnya agar senantiasa memiliki pandangan yang luas tentang keuntungan usaha. Islam telah mengenalkan kepada umatnya bahwa keuntungan usaha dapat terwujud dalam dua hal:

 Keuntungan materi.
 Keuntungan non materi, yang berupa keberkahan, pahala dan keridhaan Allah (mencakup keuntungan di dunia dan akhirat).

Dari sinilah, maka dianjurkan kepada setiap pengusaha muslim untuk memudahkan dan meringankan saudaranya dalam setiap urusannya, tanpa terkecuali dalam hal perniagaan (Badri, 2009). Memberikan kemudahan dalam perniagaan ini tidak akan menjadikanseseorang merasa rugi menghutangkan kepada saudaranya tanpa adanya tambahan keuntungan sedikitpun. Ia telah mendapatkan keuntungan akhirat yang besar karena ia telah berhasil mencatatkan amal soleh disisi Allah.

Adapun keuntungan yang diharamkan Islam adalah keuntungan yang mengandung unsur dan praktik bisnis haram di antaranya sebagai berikut: keuntungan dari bisnis barang dan jasa haram, keuntungan dari jalan curang dan manipulasi, manipulasi dengan cara merahasiakan harga aktual, dan keuntungan dengan cara menimbun dan usaha spekulatif (Fatahillah, 2010). Sementara itu dalam penelitian yang lain Mohamad (2002) menyimpulkan bahwa ciri-ciri keuntungan yang diperbolehkan dalam Islam ialah keuntungan yang bebas daripada unsur riba, ghabn (setiap kelebihan yang diperoleh dari hasil penipuan yang dilakukan oleh seseorang peniagaan), gharar dan ihtikar (monopoli atau menimbun barang yang sangat diperlukan masyarakat dengan tujuan menaikkan harga jual). Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa keuntungan diperoleh setelah mengeluarkan biaya yang dibelanjakan dalam perniagaan yang diijinkan syariat untuk menghasilkan pendapatan tersebut dan dengan mendahulukan distribusi hak stakeholders. Ismail (2000) dalam Mohamad (2002) menjelaskan bahwa: Sebagai satu istilah fiqh, keuntungan dapatlah diertikan sebagai sebarang pertambahan kepada modal (ra's al-miil) hasil daripada kegiatan pelaburan yang diakui syarak seperti perniagaan, perindustrian dan seumpamanya, setelah ditolak semua kos yang dibelanjakan dalam usaha penghasilan keuntungan tersebut. Dari manakah keuntungan diperoleh?

Pada uraian di atas telah dijelaskan tentang kaidah dalam perniagaan Islami. Disebutkan disana bahwa “hukum asal setiap transaksi adalah halal.” Dengan dasar kaidah ini, maka sumber keuntungan dalam perniagaan Islam adalah hasil dari segala jenis perniagaan yang tidak terbatas, selama tetap berada didalam rambu-rambu syariat. Allah SWT. berfirman dalam QS. Hud ayat 85-86, yang artinya, “(85). Dan Syu'aib berkata: "Hai kaumku, cukupkanlah takaran dan timbangan dengan adil, dan janganlah kamu merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan. (86). Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman. dan aku bukanlah seorang penjaga atas dirimu" Ibnu Katsir dalam tafsirnya menjelaskan bahwa “Sisa (keuntungan) dari Allah adalah lebih baik bagimu jika kamu orang-orang yang beriman” maksudnya adalah sebagai berikut: Ibnu „Abbas berkata: “Rizki Allah adalah lebih baik bagimu.” Qatadah berkata: “Bagianmu dari Allah adalah lebih baik bagimu.” Ibnu Jarir mengatakan bahwa Ibnu „Abbas meriwayatkan maksud ayat tersebut adalah apa yang dianugerahkan Allah kepadamu yang berupa keuntungan setelah kamu menepati takaran dan timbangan adalah lebih baik bagimu dari pada mengambil harta orang lain. Ibnu Jarir berkata: “Perkataan ini (perkataan Ibnu „Abbas) menyerupai firman Allah Ta‟ala: „Katakanlah: „Tidak sama yang buruk dengan yang baik, meskipun banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat keberuntungan‟" (al Maidah: 100).

Penjelasan makna “sisa” di atas seolah tidak menampakkan kemungkinan adanya resiko kerugian. Tetapi, jika dipahami lebih dalam tentang konsep keuntungan dalam perspektif Islam secara komprehensif, sebenarnya tidak demikian. Asumsi dari “sisa‟ di atas adalah diperoleh setelah memenuhi takaran dan timbangan atau lebih lengkap telah memenuhi aturan syariat dalam perniagaan. Dengan demikian, seandainya perniagaan tersebut tidak mendapatkan untung secara materi, ia tetap memperoleh keuntungan akhirat berupa amal soleh di sisi Allah sebagaimana dijelaskan di atas. 

Badri dalam ceramahnya menjelaskan bahwa siapa yang mendapatkan keuntungan akhirat ini pasti akan mendapatkan keuntungan di dunia cepat atau lambat. Dengan demikian, secara materi tetap dimungkinkan terjadinya kerugian, tetapi secara spiritual kerugian tersebut belum tentu merupakan kerugian. 

Dari penjelasan ini, keuntungan didasari sebuah sikap penerimaan dan syukur karena yakin bahwa Allah akan memberikan hasil dari yang diusahakannya sesuai dengan syariat, yaitu berupa apa-apa yang dianugerahkan Allah setelah menepati takaran dan timbangan adalah lebih baik dari pada mengambil harta orang lain. Keuntungan yang diperoleh merupakan sisa dari perniagaan setelah mencukupkan hak-hak pihak lain dalam perniagaan tersebut, seperti mencukupkan takaran dan timbangan; tidak merugikan manusia terhadap hak-hak mereka dapat diartikan secara lebih luas berarti menjaga hak-hak pihak yang lain seperti membayar gaji untuk karyawannya, membayar hutang kepada kreditornya, mengeluarkan zakat bagi yang telah memenuhi persyaratannya dan lain-lain; dan janganlah kamu membuat kejahatan di muka bumi dengan membuat kerusakan dapat diartikan menjaga kelastarian alam dan segala isinya atau menggunakan sumber daya alam (SDA) dengan akhlak yang baik. 

Dari QS. Hud: 85-86 dapat dipahami bahwa pengeluaran dari bagian pendapatan dapat dibagi menjadi dua, yaitu dalam bentuk beban/ biaya dalam menghasilkan pendapatan tersebut dan dalam bentuk distribusi hak kepada stakeholders. 

Dalam bentuk yang sederhana penulis menerjemahkan konsep di atas dalam formula sederhana sebagai berikut: Pendapatan = beban + distribusi = beban + (hak stakeholders + hak stockholders) Pendapatan – beban = hak stakeholders + laba/rugi



Demikianlah Artikel MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM

Sekianlah artikel MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/04/meneropong-konsep-income-dalam.html

0 Response to " MENEROPONG KONSEP INCOME DALAM PERSPEKTIF ISLAM "