Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Profesi Konsultan Pajak | Magister Akuntansi

Labels

Profesi Konsultan Pajak

Profesi Konsultan Pajak - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Profesi Konsultan Pajak , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perpajakan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Profesi Konsultan Pajak
link : Profesi Konsultan Pajak

Baca juga


Profesi Konsultan Pajak

Terinspirasi oleh pertanyaan salah satu pembaca JAK: “Bagaimana profesi konsultan pajak ke depannya? Apakah masih menjanjikan atau suram?” Salah satu rute karir yang banyak diambil oleh rekan-rekan akuntan (dan rekan-rekan di accounting pada umumnya) adalah dengan menjadi konsultan pajak, baik yang bergerak sendirian maupun bersama-sama dalam sebuah team.

Perkembangan dunia usaha dan birokrasi perpajakan sangat berpengaruh terhadap profesi konsultan pajak. Melalui tulisan sederhana ini, saya mencoba melakukan tinjauan (review) sederhana mengenai profesi konsultan pajak. Bagimana konsultan pajak di masa lalu, masa kini dan prospeknya di masa yang akan datang? Apa tantangannya? Pendekatan seperti apa yang digunakan dalam menjalankan profesi konsultan pajak di masa lalu, kini maupun yang akan datang?


Sebelumnya, ijinkan saya mengucapkan: Selamat Tahun Baru 2012! Semoga tahun ini menjadi tahun yang lebih baik bagi kita semua.

Sekaligus saya mohon maaf (meskipun belum lebaran.) Nyaris 2 bulan belakangan ini saya absent, karena dihimpit oleh banyaknya aktivitas terkait dengan tutup buku akhir tahun (komersial dan fiskal) dan beberapa aktivitas lainnya.

Oke. Kembali ke topik: “Apakah profesi konsultan pajak masih menjanjikan?” Sebelumnya kita lihat ke belakang dahulu. Ini penting.



Profesi Konsultan Pajak Di Masa Lalu (Masa Bulan Madu)
Di masa-masa yang lalu profesi ini pernah menjadi salah satu profesi sangat ‘kinclong’ dilihat dari penghasilan, itu sebabnya saya sebut sebagai “masa bulan madu”. Rata-rata kehidupan mereka—yang memilih profesi sebagai konsultan pajak—menjadi begitu mapan. Saya kenal beberapa dari mereka secara pribadi.

Salah satu kawan (mantan teman kuliah di Tangerang) yang bergerak sendirian misalnya, di tahun 2005 saja sudah berhasil menggait tak kurang dari 15 klien, baik itu wajib pajak (WP) orang pribadi maupun badan. Tarif yang dikenakan untuk WP orang pribadi rata-rata antara Rp 500,000 sampai dengan 1,000,000 per bulan. Sedangkan untuk WP badan dikenakan antara 1,000,000 hingga 5,000,000 per bulan—sesuai dengan skala perusahaan. Katakanlah mayoritas kliennya berada di tarif 2 jutaan ke bawah, berarti rata-rata penghasilan per klien per bulannya sekitar Rp 2.5 jutaan. Nah 2.5 juta kali 15 klien = Rp 37.500,000 per bulan! Wow!

Terakhir saya ketemu dia sekitar 3 tahun lalu, saat itu konon kliennya sudah sekitar 50-an dengan hanya mempekerjakan 5 orang pegawai. Berarti penghasilan brutonya sekitar Rp 125,000,000 per bulan. Anggaplah gaji pegawainya sekitar Rp 5,000,000 per orang per bulan (saya yakin di bawah itu), berarti biaya gajinya hanya 25 juta. Anggaplah biaya operasionalnya sekitar Rp 50 juta sebulan (biaya operasional kantor konsultan hanya stationeries dan transportasi). Berarti dia masih mengantongi keuntungan Rp 75 juta sebulan! Itu baru jasa rutinnya. Konon jasa penanganan kasusnya bisa ratusan juta hingga milyaran per kasus.

Wajar kalau kawan saya yang satu ini kian hari kian gendut saja. Beberapa mobilnyapun rata-rata yang bernilai 400 jutaan per unit. Saya rasa bukan hanya mapan tetapi sangat sejahtera. Melebihi profesi seorang auditor, bahkan melebihi gaji seorang guru besar di perguruan tinggi paling bergengsi di Indonesia (UI).

Sehingga wajar pula jika profesi inipun banyak dilirik, bukan hanya oleh rekan-rekan lulusan STAN, tetapi juga oleh para dosen akuntansi dan pajak. Kawan saya lainnya yang juga bergerak di konsultan pajak adalah seorang dosen pasca sarjana di sebuah perguruan tinggi negeri. Yang satu ini skalanya lebih besar lagi, bahkan hingga memiliki kantor cabang di hampir seluruh ibukota propinsi di Indonesia. Luar biasa ‘kinclong’ bukan?

Mengapa konsultan pajak, kala itu, begitu kinclong?

Ini penting untuk diketahui—sebagai landasan berpikir untuk masa kini dan masa-masa yang akan datang.

Setiap profesi—apapun itu—mengikuti perkembangan industri (dunia usaha) yang terkait erat dengan profesi tersebut. Pasang-surutnya dunia usaha, langsung-maupun-tak langsung juga mempengaruhi pasang-surutnya suatu profesi.

(Catatan: kecuali kawan-kawan pegawai negeri sipil yang belakangan ini konon gajinya naik terus.. tak terpengaruh gonjang-ganjing perekonomian mikro maupun makro, tak peduli berapapun hutang negara yang harus ditanggung oleh anak-cucu nanti…ha ha ha ha.)

Khusus profesi konsultan pajak ini, tergolong unik. Faktor yang mempengaruhinya bukan hanya kondisi dunia usaha (yang menjadi klien mereka) pada umumnya. Justru perkembangan lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP)—terutama sekali paradigma dan pendekatan yang digunakan dalam menjalankan aturan dan undang-undang perpajakan—yang paling banyak berpengaruh.

Yang saya tahu (mohon dikoreksi jika keliru), saat itu (10-5 tahun yang lalu) kantor pajak adalah kantor yang paling angker, paling ditakuti, sekaligus paling memusingkan, bagi kalangan dunia usaha. Meskipun REFORMASI sudah diteriakan sejak 1998, semua itu masih sebatas retorika di jalanan atau di ruang-ruang talkshow di televisi. Belum menyentuh sisi berokrasi yang sesungguhnya, termasuk Direktorak Jenderal Pajak (DJP.)

Menjadi institusi yang paling ditakuti (bukan disegani) karena memang menakutkan. Khususnya pemeriksa (auditor) pajak, tanpa maksud mengeneralisasi, banyak yang berperilaku kaku (tidak fleksibel), bahkan arogan, jauh dari kesan profesional.

Tak jarang juga yang entah mengapa dengan sengaja menakuti-nakuti wajib pajak. “Kami PETUGAS dari Ditjend Pajak datang untuk memeriksa kepatuhan saudara dalam menjalankan kewajiban perpajakan kepada negara. Kami berhak menyegel perusahaan, bahkan memenjarakan saudara jika kami menemukan pelanggaran.” Wow! Siapa yang tidak mengkerut mendengar teriakan lantang seperti itu. Sehingga pemeriksaan pajak menjadi momok yang paling menakutkan bagi semua wajib pajak.

Angka hutang pajak—sebagai hasil dari proses pemeriksaan (audit) pun sering mencengangkan, cenderung tidak masuk akal. Perusahaan skala kecil-menengah yang omsetnya rata-rata sebulan hanya Rp 30 juta (360 juta setahun) bisa memiliki hutang pajak bermilyar-milyar. Sudah pasti perusahaan akan bangkrut. Salah-salah pemiliknya bisa masuk bui. Tidak sedikit juga yang kena serangan jantung atau stroke setelah mengalami pemeriksaan pajak.

Sekalilagi, tentu TIDAK SEMUA pemeriksa pajak, saat itu, berperilaku arogan.

Disamping menakutkan, kantor pajak (dan hal-hal terkait dengan perpajakan), menjadi sumber kepusingan tersendiri bagi kalangan dunia usaha pada saat itu. Disamping karena undang-undang perpajakan memang sudah naturalnya rumit, banyak dan cenderung berubah-ubah, pendekatan TAK TRANSFARAN dan BIROKRASI PANJANG yang diterapkan oleh DJP pada saat itu membuat perpajakan menjadi sesuatu yang sangat memusingkan.

Bayangkan, perusahaan yang hendak mencari NPWP-pun sulitnya luar biasa. Bisa ditolak sana-sini. Apalagi yang memohon pengukuhan status “Pengusaha Kena Pajak (PKP)” wiihhh… bisa sulit setengah mati. Jika mau cepat harus punya kenalan orang dalam kantor pajak (KPP). Padahal keduanya itu sesungguhnya akan mendatangkan pendapatan pajak bagi negara, tetapi entah mengapa dibuat menjadi demikian sulit pada saat itu.

Belum lagi bicara potong dan pungut—terutama PPN. Apalagi terkait dengan lebih bayar dan restitusi pajak (refund)—yang sesungguhnya tiada lain adalah HAK WAJIB PAJAK, sudah pasti sulitnya luar biasa. Bisa dibilang, TANPA PERARANTARA PIHAK TERTENTU, kemungkinan memperoleh restitusi pada saat itu mendekati NOL. Salah-salah, yang seharusnya memperoleh pengembalian pajak berubah menjadi hutang pajak yang tak sanggup untuk dibayar.

Yang tak kalah memusingkannya, dan rata-rata dirasakan oleh semua wajib pajak (orang pribadi maupun badan) pada saat itu, adalah: proses pelaporan pajak tahunan (SPT) yang semua dikerjakan secara manual di atas kertas yang bisa berpuluh-puluh lembar jumlahnya.

Itu sebabnya, di masa lalu, jasa konsultan pajak amat sangat dibutuhkan oleh kalangan dunia usaha, karena 2 alasan utama berikut ini:

1. Konsultan pajak (diperkirakan/diasumsikan) dapat membantu perusahaan terhindar dari masalah perpajakan, terhindar dari pusingnya menghadapi keruwetan birokrasi dalam memenuhi kewajiban perpajakan.

2. Konsultan pajak (yang rata-rata diperkirakan/diasumsikan memiliki hubungan dekat dengan pejabat-pejabat DJP) dapat membantu perusahaan untuk (a) menghindari pemeriksaan; (b) mengecilkan biaya pajak; (c) menghindari denda atau bunga pajak; dan (d) membantu memperlancar proses pengembalian lebih bayar dan restitusi (refund) pajak.

Secara singkat bisa saya katakan bahwa mendesaknya kebutuhan akan konsultan pajak pada saat itu lebih banyak didorong oleh paradigma penegakan aturan perpajakan yang diterapkan oleh pihak DJP yang bisa dimanfaatkan dengan sangat baik oleh para konsultan pajak.

Dari 2 alasan mengapa konsultan pajak sangat dibutuhkan, di atas, nampak jelas bahwa jasa konsultasi pajak, di masa yang lalu, memang pantas dinilai begitu tinggi, pantas dibayar mahal. Sehingga sangat wajar jika kawan-kawan yang berprofesi sebagai konsultan pajak di masa itu rata-rata makmur.

Nah ITU DAHULU, dimana lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) belum mengalami moderenisasi, belum setransfaran sekarang, akses ke kantor pajak masih setebal tembok Cina. Saat-saat dimana semua perusahaan ketakutan setiap kali diperiksa oleh kantor pajak, saat-saat pegawai DJP macam Gayus masih gentayangan di setiap KPP.

Sekarang, apakah masih demikian? Apakah profesi konsultan pajak masih sekinclong itu? Bagimana ke depan? Karena keterbatasan ruang, terpaksa saya penggal menjadi dua bagian. Silahkan baca lanjutannya di “Praktek Konsultan Pajak Di Masa Kini dan Yang Akan Datang.” Disana saya menyampaikan pengalaman sekaligus pandangan pribadi mengenai bagaimana perubahan pola pendekatan konsultan pajak mengalami evolusi dari masa lalu ke masa kini dan yang akan datang.


Sumber : jurnalakuntansikeuangan.com 


Demikianlah Artikel Profesi Konsultan Pajak

Sekianlah artikel Profesi Konsultan Pajak kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Profesi Konsultan Pajak dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/06/profesi-konsultan-pajak.html

0 Response to " Profesi Konsultan Pajak "