Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi | Magister Akuntansi

Labels

Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi

Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Akuntansi , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi
link : Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi

Baca juga


Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi

Image result for Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi
Di tulisan sebelumnya saya sudah bahas dasar pengakuan pendapatan dan biaya kontrak konstruksi, cara mudah menginterpretasikan “estimasi pendapatan yang andal” dalam PSAK 34 beserta contoh implementasinya. Di tulisan yang sama saya juga sudah bahas satu contoh kasus penerapan Metode Persentase Penyelesaian kontrak bertahap sesuai dengan PSAK 34—dimana pengakuan pendapatan dan biaya dilakukan setiap periode buku sepanjang syarat “dapat diestimasi secara andal” terpenuhi—tanpa menunggu hasil penilaian perkembangan pekerjaan.

Seperti sudah saya sampaikan di tulisan tersebut, kecuali untuk perusahaan yang sudah Go-Publik (harus lapor Bapepam) saya tidak menganjurkan untuk menjalankan apa yang direkomendasikan oleh PSAK 34, karena pendekatan tersebut terlalu berbahaya. Itulah yang akan saya bahas dalam tulisan ini—dengan melanjutkan contoh kasus yang sama (agar pemahamannya utuh, bagi yang belum membaca tulisan sebelumnya saya sarankan agar dibaca terlebih dahulu).
Saya katakan apa yang disarankan dalam PSAK 34 terlalu berbahaya karena menurut saya, meskipun aspek legalitas kontrak telah terpenuhi, selama hasil perkembangan pekerjaan belum pasti diketahui, tetap saja estimasi yang telah dibuat belum tentu sungguh-sungguh terjadi.
Saya tampilkan kembali contoh kasusnya:
JAK adalah kontraktor. Tanggal 2 Januari 2012 memperoleh kontrak mengerjakan pembangunan Ruko dari PT. ABC. Kondisi kontrak disepakati sebagai berikut:
Nilai Kontrak = Rp 10,000,000,000 (Dokumen internal PT. JAK berupa RAB menunjukkan angka Rp 7,500,000,000).
Lamanya waktu pengerjaan adalah 3 tahun, bangunan di serahkan paling lambat tanggal 28 Desember 2014 dengan rencana tahapan penyelesaian pekerjaan sebagai berikut:
  • Akhir Semester I 2012 : 10%
  • Akhir Semester II 2012: 30%
  • Akhir Semester I 2013: 50%
  • Akhir Semester II 2013: 70%
  • Akhir Semester I 2014: 90%
  • 28 Desember 2014: 100%
Pencairan pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti perkembangan penyelesaian pekerjaan. Untuk menentukan perkembangan penyelesaian pekerjaan, pihak PT. ABC bersama-sama PT. JAK akan melakukan inspeksi lapangan. Kontrak telah disahkan dalam perjanjian yang dibuat di hadapan seorang notaris.
Jika isi kontrak tersebut dituangkan ke dalam estimasi, maka hasilnya akan menjadi sbb:
Tanggal 10 Januari 2012, PT. JAK membeli bahan bahan bangunan (besi, semen, pasir, kapur, batu koral) sebesar Rp 25,000,000. Jurnalnya:
[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 25,000,000
[Kredit]. Utang – Toko Rejeki = Rp 25,000,000
Tanggal 25 Januari 2012, PT. JAK membayar upah mandor pengawas dan upah buruh bangunan sebesar Rp 50,000,000. Jurnalnya:
[Debit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000
[Kredit]. Kas = Rp 50,000,000
(Mengapa jurnalnya demikian? Silahkan baca penjelasannya di tulisan sebelumnya. Penting untuk saya sampaikan bahwa: akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi‘ adalah penyederhanaan, pada penerapan yang sesungguhnya anda bisa memilah-milah transaksi berdasarkan bahan yang dibeli—untuk tujuan pengendalian (sehingga akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’—sehingga akun ‘Biaya Kontrak Konstruksi’ bisa anda beri nama ‘Biaya Kontrak – Besi’, ‘Biaya Kontrak – Semen’, dan seterusnya—apapun namanya sepanjang memenuhi logika akuntansi dan dipergunakan secara konsisten. Saya akan bahas di tulisan yang akan datang).
Nah, jika mengikuti PSAK 34, di akhir Januari 2012 ‘Pekerjaan Dalam Proses’ sudah bisa dipindahkan ke akun biaya dengan jurnal. Dan pengakuan pendapatan dapat dilakukan dengan membuat rasio antara biaya yang telah dikeluarkan dengan RAB, lalu rasio tersebut diaplikasikan ke dalam total nilai kontrak. Sehingga diperoleh jurnal pengakuan pendapatan sbb:
[Debit]. Piutang – PT. ABC = Rp 100,000,000
[Kredit]. Pendapatan = Rp 100,000,000
Dengan laba Rp 25,000,000
(Mengenai tehnis pembuatan rasio dan perhitungan pendapatan, silahkan baca tulisan sebelumnya).
TETAPI, sekali lagi, SAYA TIDAK MENGANJURKAN ITU. Saya menganjurkan aga pengakuan pendapatan baru dilakukan jika kepastian pembayaran mendekati 99%. Kapan kepastian 99% itu tercapai?
Kepastian 99% itu terjadi pada saat perkembangan hasil pekerjaan telah dinilai dan disepakati antara PT. JAK selaku kontraktor dan PT. ABC selaku pemberi kontrak. Selama inspeksi atau penilaian hasil pekerjaan belum dilakukan, maka pengakuan pendapatan saya anggap terlalu buru-buru.
Bayangkan, jika PT. JAK misalnya mengikuti anjuran dari PSAK 34 seperti di atas, lalu setelah dilakukan penilaian ternyata PT. ABC menganggap perkembangan hasil pekerjaan yang telah dicapai oleh PT. JAK baru mencapai 0.5% (bukan 1% seperti pengakuan pendapatan yang telah di buat), padahal buku Januari 2012 sudah ditutup. Pastinya buku akan jadi kocar-kacir. Bukan hanya pendapatan yang lebih diakui, tetapi juga laba!
Sehingga sekali lagi, pengakuan pendapatan sebaiknya dilakukan setelah penilaian (inspeksi) lapangan dilakukan. Sebelum itu terjadi, sebaiknya pengeluaran-pengeluaran yang telah terjadi tetap diakumulasikan kea kun ‘Pekerjaan Dalam Proses’. Tak masalah jika laporan laba-rugi belum di buat. Lha wong faktanya belum ada pendapatan koq. Fakta juga bahwa segala pengeluaran yang telah terjadi masih merupakan pemupukan asset (aktiva)—sama sekali tidak melanggar prinsip-prinsip akuntansi.
Oke. Sesuai isi kontrak—akhir Semester I 2012, PT. JAK dijadwalkan sudah akan merampungkan minimal 10% dari seluruh pekerjaan. Katakanlah tanggal 25 Juni 2012, PT. JAK mengajukan meminta pembayaran pertama kepada PT. ABC.
Dalam kontrak telah disebutkan bahwa. “pembayaran dilakukan secara bertahap mengikuti perkembangan hasil pekerjaan”. Atas permintaan tersebut, PT. ABC dengan ditemani oleh perwakilan dari PT. JAK melakukan inspeksi lapangan secara bersama-sama untuk memeriksa tingkat penyelesaian pekerjaan konstruksi yang telah dicapai oleh PT. JAK.
Dari hasil pemeriksaan bersama ditemukan bahwa tingkat penyelesaian yang sudah dicapai mencapai 9%. Untuk itu, disepakati bahwa PT. ABC akan segera mengirimkan pembayaran sebesar 9% x nilai kontrak = 9% x Rp 10,000,000,000 = Rp 900,000,000. Nah, di titik ini PT. JAK sudah bisa mengakui pendapatan.
Selanjutnya, keesokan harinya (26 Juni 2012) PT. JAK mengirimkan invoice tagihan sebesar Rp 900,000,000. Sementara itu, per tanggal 26 Juni 2011 saldo akumulasi akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ PT. JAK menunjukkan angka Rp 800,000,000.
Bagaimana mencatat invoice tagihan tersebut? Bagaimana dengan pengakuan biayanya—saldo akumulasi akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ PT. JAK menunjukkan angka Rp 800,000,000, apakah semuanya dipindahkan ke akun biaya?
Jangan buru-buru. Sebagai orang accounting, biasakan berpikir analitis—jangan mau jadi kalkulator dan tukang jurnal saja—bandingkan estimasi dengan kenyataannya dahulu.
Tingkat pencapaian pekerjaan seharusnya sudah mencapai 10%, pada kenyataannya yang bisa disepakati hanya 9% sehingga kenyataannya pendapatan hanya Rp 900,000,000 (Rp 100,000,000 lebih rendah dibandingkan estimasi). Sementara, kenyataan pengeluaran yang telah terjadi mencapai Rp 800,000,000 (Rp 50,000,000 lebih tinggi dibandingkan estimasi yang hanya Rp 750,000,000). Karena penyimpangan di pendapatan dan biaya tersebut, Laba-pun menjadi menyimpang. Dari estimasi laba Rp 250,000,000 (=1,000,000,000 – 750,000,000), yang terealisasi hanya Rp 100,000,000. Terjadi penyimpangan laba sebesar Rp 150,000,000. Angka yang cukup besar tentunya.
Dari perspektif akuntansi, untuk pendapatan—mau tidak mau hanya bisa diakui sebesar invoice tagihan. Sehingga jurnalnya menjadi:
[Debit]. Piutang PT. ABC – Akhir Semester I 2012 = Rp 900,000,000
[Debit]. Pendapatan = Rp 900,000,000
Yang masih jadi tanda tanya adalah pengakuan biayanya. Pertanyaannya: Sungguhkah biaya yang telah keluar sebesar Rp 800,000,000? Periksa pencatatan dari awal hingga akhir—apakah sudah akurat? Jika belum akurat lakukan penyesuaian-penyesuaian. Jika sudah akurat?
Kemungkinannya tinggal 2 saja:
Kemungkinan-1. Ada beberapa bahan yang sudah dibeli, tetapi belum dipergunakan sepenuhnya – Periksa: adakah material bangunan yang belum dipakai (semen, pasir, kapur, kayu, dan lain-lain), adakah material yang setengah proses? Jika ada, hitung. Adakah upah tukang/buruh yang dibayar di depan? Jika ada hitung. Mungkin tidak bisa dihitung secara pasti, untuk itu lakukan estimasi—minta approval dari atasan (pimpinan) untuk menentukan estimasi ini. Katakanlah total angkanya Rp 100,000,000, maka besarnya biaya yang diakui hanya Rp 700,000,000 (=800,000,000 – 100,000,000). Saldo akun ‘Pekerjaan Dalam Proses’ yang bisa dipindahkan ke akun biaya pun jadinya hanya Rp 700,000,000. Sehingga jurnalnya:
[Debit]. Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 700,000,000
[Kredit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 700,000,000
Oke pengakuan pendapatan dan biaya telah dilakukan. Hasilnya? Laba Rp 200,000,000 saja. Masih ada penyimpangan Rp 50,000,000 jika dibandingkan dengan estimasinya yang Rp 250,000,000. Dimanakah selisihnya?
Kemungkinan-2. Pemborosan (inefisiensi) dan kehilangan – Jika estimasi material bangunan yang belum terpakai sudah akurat dan disepakati, maka kemungkinan yang tersisa hanya ini (boros atau hilang). Telah terjadi pemborosan atau kehilangan senilai Rp 50,000,000. Apa yang harus dilakukan terhadap selisih ini, apakah diakui sebagai biaya atau langsung diakui sebagai rugi?
Catat biaya saja. Jurnalnya:
[Debit]. Biaya Kontrak Konstruksi = Rp 50,000,000
[Kredit]. Pekerjaan Dalam Proses = Rp 50,000,000
Kondisi timpang seperti ini besar kemungkinannya terjadi di awal-awal. Memang, perkiraan tingkat penyelesaian pekerjaan yang telah disepakati belum tentu akurat 100%, estimasi material yang belum terpakai juga belum tentu akurat 100%. Bagaimanapun juga itu baru satu dari total 5 fase yang direncanakan.
Perlakuan akuntansi, analisa dan pengendalian di fase-fase berikutnya akan tetap demikian. Terus berulang sampai proyek selesai.
Nah, jika penyimpangan di fase pertama ini tidak tertutup di fase berikutnya, maka besar kemungkinannya di akhir proyek nanti PT. JAK akan mengalami kerugian.
Kerugian itu tidak selalu karena pemborosan atau kehilangan, bisa saja karena RAB-nya yang keliru. Oleh sebab itu, di samping perlu melakukan pengawasan lebih ketat, RAB juga perlu dihitung/ditinjau ulang tingkat akurasinya—mungkinkah harga material naik? Atau upah buruh/tukang naik? Dan lain sebagainya. Jika memang tidak akurat atau telah terjadi kenaikan harga material maka PT. JAK perlu membuat revisi RAB. Jika negosiasi ulang bisa dilakukan dengan pihak PT. ABC, tentu itu jalan terbaik.
Dalam contoh kasus tadi kebetulan saya buat hasil penilaian tingkat perkembangan pekerjaan lebih kecil dari estimasi. Pada praktek sesungguhnya, bisa saja terjadi hal sebaliknya (meskipun kemungkinannya kecil). Jika demikian keadaannya, berarti akan timbul laba. Laba itu pun belum tentu akurat. Masih perlu dilihat di fase-fase berikutnya.
Secara keseluruhan bisa saya katakan bawa: penerapan ‘Metode Persentase Penyelesaian’ pada kontrak konstruksi tidak mudah. Tantangannya ada pada akurasi estimasi-estimasi yang telah dibuat—akurasinya yang menentukan apakah proyek menjadi sukses atau sebaliknya. Diperlukan sistim administrasi dan pengendalian yang ketat—jauh lebih ketat dibandingkan jenis aktivitas usaha lainnya.
Kesulitan itu akan menjadi semakin tinggi jika perusahaan menggarap multi-kontrak, multi-proyek. Mengapa semakin seulit? Karena setiap biaya yang timbul harus bisa dihubungkan dengan proyeknya. Pendapatan yang diterima pun harus bisa dihubungkan dengan proyeknya dengan benar. Sehingga matching principle tetap bisa terjaga. Untuk itu diperlukan perencanaan dan pengorganisasian khusus.
Nah bagaimana merencanakan dan mengorganisasikan administrasi agar perlakuan akuntansinya tetap konsisten, benar dan akurat? Jika ada kesempatan saya akan bahas secara khusus. Yang jelas bahasan tersebut akan lebih banyak di wilayah sistim informasi akuntansi dan pengendalian intern (penyusunan sistem/prosedur, dan kebijakan/policy). Tentu yang lekat dengan kenyataan praktek di lapangan (actionable)—bukan yang sifatnya teoritis belaka. Untuk sementara saya ucapkan selamat beraktivitas, semoga sukses selalu.
Sumber : Jurnalakuntansikeuangan.com


Demikianlah Artikel Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi

Sekianlah artikel Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2016/07/penerapan-metode-persentase.html

0 Response to " Penerapan Metode Persentase Penyelesaian Kontrak Konstruksi "