Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual | Magister Akuntansi

Labels

Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual

Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Akuntansi , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual
link : Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual

Baca juga


Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual

Dalam akuntansi persediaan, ada dua sistim yang lumrah digunakan, yaitu: sistim periodik dan sistim perpetual. Bagi pegawai accounting, sistim persediaan periodik atau perpetual—yang diterapkan di dalam perusahaan—menentukan bagaimana pencatatan transaksi persediaan dilakukan. Sedangkan bagi pengelola keuangan dan pengelola usaha, sistim persediaan yang diterapkan menentukan seberapa efektif persediaan bisa dikelola—terutama aspek pengawasannya.
Melalui tulisan ini, saya ingin membahas mengenai sistim persediaan periodik dan perpetual, mulai dari perbedaan yang paling fundamental, perbandingan jurnal-per-jurnal, hingga implikasinya terhadap laporan keuangan dan pengelolaan persediaan.
Dengan kehadiran pembahasan ini, saya berharap pembaca memperoleh gambaran yang jelas mengenai sistim persediaan periodik dan perpetual, dalam tataran implementasi di perusahaan. Namun sebelum itu, mari kita lihat sekilas; apa itu persediaan.

Persediaan dan Implikasinya Terhadap Laporan Keuangan

Sebelum berpikir yang rumit-rumit—termasuk implikasi (pengaruh) persediaan terhadap laporan keuangan dan pengelolaan keuangan, APA ITU PERSEDIAAN?
Sederhananya, yang disebut persediaan adalah apa yang oleh masyarakat umum kenal dengan istilah “stok”. Di Eropa, sampai sekarang masih menggunakan istilah “stock”. Tetapi secara internasional persediaan disebut dengan istilah “inventory”, yang disebut stock justru saham.
Mau disebut inventory, mau disebut stock, silahkan. Yang lebih penting di sini: wujud dari persediaan itu berupa apa?
Wujud fisik persediaan suatu perusahaan tergantung pada jenis usahanya. Meskipun pada kenyataannya ada banyak jenis atau model usaha, dalam akuntansi—untuk tujuan penyederhanaan—jenis usaha biasanya hanya dibagi menjadi 3 kelompok saja.
Berikut adalah 3 jenis perusahaan beserta persediaannya:
  • Perusahaan Jasa (misal: konsultan, agen, broker, dll) – Tidak memiliki persediaan
  • Perusahaan Dagang (misal: toko, mini market, dll) – Persediaannya berupa barang jadi
  • Perusahaan Manufaktur (misal: pabrik gula, pabrik pakaian jadi, dll) – Persediaannya berupa: (a) bahan baku; (b) bahan penolong; (c) barang dalam proses; dan (d) barang jadi.
Persediaan berimplikasi luas terhadap pelaporan keuangan dan pengelolaan keuangan perusahaan.
Apa implikasinya terhadap laporan keuangan? Persediaan berimplikasi langsung terhadap Neraca dan Laporan Laba-Rugi:
  • Di Neraca, persediaan disajikan dalam kelompok “Aktiva Lancar” (current assets)—setelah akun “Piutang” (silahkan lihat contoh format Neraca), sehingga besar-kecilnya nilai saldo persediaan yang disajikan berpengaruh terhadap besar kecilnya nilai aktiva (aset) secara keseluruhan.
  • Di Laporan Laba Rugi, besar kecilnya PENGGUNAAN persediaan (bahan baku, bahan penolong dan barang jadi) menentukan besar kecilnya “Harga Pokok Penjualan” (HPP), yang pada akhirnya juga akan menentukan besar kecilnya “Laba” atau “Rugi” yang disajikan di dalam laporan laba-rugi. Pada akhirnya, besar-kecilnya laba/rugi yang dibukukan pada suatu periode akuntansi berimplikasi terhadap besar-kecilnya “Laba Ditahan” (Retained Earning) yang disajikan di Neraca—persisnya di kelompok akun “Ekuitas.”

Oke. Implikasi persediaan terhadap laporan keuangan sudah jelas terlihat. Pertanyaannya: Apakah penerapan sistim persediaan periodik/perpetual berpengaruh terhadap laporan keuangan? Maksud saya, apakah dengan menggunakan sistim perpetual membuat laporan keuangan menjadi berbeda jika dibandingkan dengan menggunakan sistim periodik?
Untuk menjawab pertanyaan ini, mari kita lihat perbandingan antara sistim persediaan periodik dengan perpetual. Yuk pindah ke paragraf berikutnya…

Perbedaan Paling Fundamental Antara Sistim Periodik dan Perpetual

Perbedaan paling mencolok antara sistim periodik dengan sistim perpetual ada pada 2 hal:
1. Penentuan Nilai Saldo Akhir Persediaan di Neraca:
(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menerapkan sistim periodik, nilai saldo akhir persediaan di Neraca ditentukan dengan cara melakukan penghitungan fisik persediaan yang lumrah dikenal dengan istilah “stok opname” —sederhananya; di akhir periode, fisik barang persediaan (bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses dan barang jadi) dihitung jumlahnya. Jumlah fisik barang lalu dikalikan dengan Harga Pokok Penjualan (HPP) satuan barang.
(b) Sistim Perpetual – Jika yang diterapkan adalah sistim perpetual, perusahaan tidak perlu melakukan penghitungan fisik untuk menentukan nilai saldo akhir persediaan., karena setiap transaksi terkait dengan persediaan—baik kenaikan maupun penurunan—telah dicatat melalui penjurnalan. Meskipun demikian, penghitungan fisik tetap dilakukan untuk kemudian dibandigkan dengan saldo akhir yang ditunjukkan oleh buku persediaan. Jika terjadi perbedaan antara saldo akhir hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir yang ditunjukkan oleh buku persediaan, maka dibuatkan rekonsiliasi persediaan dengan memasukkan jurnal penyesuaian persediaan (inventory adjustment entry).
2. Penentuan Persediaan Digunakan (atau Terjual) dalam Harga Pokok Penjualan:
(a) Sistim Periodik – Jika perusahaan menggunakan sistim periodik, maka nilai persediaan yang digunakan (dan terjual)—untuk dibebankan sebagai “Harga Pokok Penjualan”, dihitung dengan cara menjumlahkan saldo awal persediaan dengan total pembeliaan (atau persediaan masuk) lalu dikurangi dengan saldo akhir persediaan yang diperoleh melalui penghitungan fisik. Misalnya: Data persediaan JAK Mart (perusahaan dagang) untuk tahun 2012 adalah sbb:
  • Saldo awal = Rp 20,000,000
  • Pembelian Bersih Jan s/d Des 2012 = Rp 150,000,000
  • Saldo akhir 31 Desember 2012 (diketahui setelah penghitungan fisik) = Rp 22,000,000
Harga Pokok Penjualan = 20,000,000 + 150,000,000 – 22,000,000 = 148,000,000. Selanjutnya harga pokok ini dimasukkan dengan journal penyesuaian (sebentar lagi kita bahas di perbandingan jurnal.)
(b) Sistim Perpetual – Dengan sistim perpetual, perusahaan tidak perlu lagi membuat perhitungan seperti pada sistim periodik karena penggunaan persediaan langsung diakui setiap kali ada penjualan dengan mendebit akun “Harga Pokok Penjualan” dan mengkredit “Persediaan” di sisi lainnya, seperti jurnal di bawah ini:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = xxx
[Kredit]. Persediaan = xxx
Oke. Dengan sistim perpetual setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan volume persediaan selalu dicatat dengan memasukkan jurnal begitu transaksi terjadi. Apakah dengan sistim periodik transaksi-transaksi yang terjadi tidak dicatat sama sekali?” Mungkin ada yang berpikir seperti itu.
Tentu saja dicatat. Hanya saja, biasanya, menggunakan nama akun berbeda dibandingkan jika menggunakan sistim perpetual. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat transaksi-per-transaksi. Lanjut…

Perbandingan Sistim Periodik Vs Perpetual Transaksi-Per-Transaksi

Ada banyak transaksi yang mengakibatkan volume persediaan menjadi meningkat atau menurun selama satu periode. Di sini kita lihat perbandingan sistim periodik dan perpetual transaksi-per-transaksi, jurnal-per-jurnal.
1. Pembelian dan Penjualan Barang
Dalam sistim perpetual, pembelian dan penjualan barang persediaan dicatat langsung ke akun “Persediaan,” dengan kata lain: perubahan nilai nominal dan volume persediaan langsung terlihat dalam buku besar (ledger) persediaan setiap kali ada transaksi pembelian dan penjualan. Sedangkan dalam sistim periodik yang dicatat hanya kenaikan nilai dan volume persediaan melalui akun yang disebut dengan “Pembelian”, sementara tidak mencatat adanya penurunan pada setiap transaksi penjualan yang terjadi (penurunan persediaan diakui sekaligus di akhir periode dengan melakukan pemeriksaan fisik). Untuk lebih jelasnya, kita lihat contoh berikut ini:
JAK Mart, Perusahaan Grosir, menunjukkan data sbb:
(a) Saldo Awal Persediaan = 100 units @ Rp 60,000 = Rp 6,000,000
(b) Pembelian = 900 units @ Rp 60,000 = Rp 54,000,000
(c) Penjualan = 600 units @ Rp 120,000 = Rp 72,000,000
(d) Saldo Akhir = 400 units @Rp 60,000 = Rp 24,000,000
(Note: Untuk menghindari penggunaan cost flow—yang bisa membingungkan, kita asumsikan cost per unit persediaan konstan dari awal hingga akhir periode)
Jika JAK Mart menggunakan sistim perpetual, maka alur transaksi dan jurnalnya akan nampak sbb:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 54,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000 per unit dicatat dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
Dan;
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 36,000,000
(Untuk mengakui harga pokok penjualan sekaligus penurunan nilai inventory, 60,000 x 600 = Rp 36,000,000.)
(d) Kecuali ada perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan buku, maka tidak ada jurnal penyesuaian yang perlu dimasukkan. Saldo akhir persediaan otomatis menunjukkan nilai Rp 24,000,000.
Bagaimana jika JAK Mart menggunakan sistim periodik? Jurnalnya akan nampak sebagai berikut:
(a) Saldo awal persediaan (di Neraca) = Rp 6,000,000
(b) Pembelian 900 units dengan harga Rp 60,000 per unit dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Pembelian = Rp 54,000,000 (menggunakan akun pembelian)
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 54,000,000
(c) Pada sistim periodik, penjualan 600 units dengan harga Rp 120,000/unit dicatat hanya dengan satu jurnal saja—untuk mengakui penjualan dan piutang dagang (Note: penurunan persediaan dan pengakuan harga pokok penjualan dilakukan sekaligus di akhir periode):
[Debit]. Piutang Dagang = Rp 72,000,000
[Kredit]. Penjualan = Rp 72,000,000
(Untuk mengakui penjualan dan piutang)
(d) Di akhir periode, setalah dilakukan penghitungan fisik, JAK memasukkan jurnal penyesuaian—untuk mengakui persediaan, harga pokok penjualan, sekaligus ‘menghapus’ saldo akun “Pembelian”—sebagai berikut:
[Debit]. Persediaan = Rp 18,000,000
[Debit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 36,000,000
[Kredit]. Pembelian = Rp 54,000,000
Note: Dengan jurnal penyesuaian yang dimasukkan di akhir periode ini, maka saldo akun “Pembelian” menjadi nol, saldo akhir persediaan di Neraca menjadi Rp 24,000,000 (=saldo awal 6,000,000 + adjustment kenaikan 18,000,000), dan muncul Harga Pokok Penjualan di Laporan Laba-Rugi sebesar Rp 54,000,000 (=6,000,000 + 54,000,000 – 24,000,000).
2. Retur Pembelian, Diskon Pembelian dan Cadangan
Apa yang terjadi jika ada retur pembelian atau diskon? Perusahaan yang menerapkan sistim periodik, disamping menggunakan akun “Pembelian”—yang bersaldo debit mereka juga menggunakan 2 kontra-akun pembelian (bersaldo kredit) yang diberi nama “Retur Pembelian” dan “Diskon Pembelian.” Jika ada pembelian yang dikembalikan (retur pembelian) atau memperoleh potongan, maka kontra akun ini menjadi pengurang nilai “Pembelian”. Hasil silang saldo “Pembelian” dan kedua kontra-akun ini menghasilkan apa yang disebut dengan “Pembelian Bersih”. Bagaimanapun juga, semua saldo akun ini (Pembelian, Diskon Pembelian dan Retur Pembelian) bersifat sementara saja, nantinya akan dihapus degan jurnal penyesuaian di akhir periode (seperti terlihat pada contoh jurnal penyesuaian sebelumnya). Untuk lebih konkretnya, kita buat satu contoh transaksi:
Karena adanya kerusakan, JAK Mart mengembalikan pembelian barang sebesar Rp 7,000,000.
Jika JAK Mart menerapkan sistim perpetual, maka JAK akan mengakui penurunan nilai utang sekaligus langsung mengakui penurunan nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Persediaan = Rp 7,000,000
(Note: Pengembalian barang mengurangi nilai persediaan sebesar Rp 7,000,000)
Jika JAK Mart menerapkan sistim periodik, maka jurnalnya adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 7,000,000
[Kredit]. Retur Pembelian = Rp 7,000,000
(Note: pembelian mengurangi nilai pembelian)
Lanjut dengan diskon…
Di lain kesempatan JAK Mart membeli barang sebesar Rp 10,000,000 dengan termin kredit 2/10, n/30. Karena JAK Mart bisa melakukan pelunasan seminggu setelah pembelian, maka JAK Mart memperoleh diskon 2%. Bagimana jurnalnya?
Jika menerapkan sistim perpetual, maka saat pembelian JAK Mart memasukkan jurnal:
[Debit]. Persediaan = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Saat pelunasan, diskon Rp 200,000 tersebut sekaligus diakui sebagai pengurang nilai persediaan, dengan jurnal:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Persediaan = Rp 200,000
[Credit]. Kas = Rp 9,800,000
Jika menggunakan sistim periodik, maka saat pembelian jurnal yang dimasukkan adalah:
[Debit]. Pembelian = Rp 10,000,000
[Kredit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
Diskon yang diperoleh tidak diakui sebagai pengurang nilai persediaan (ingat: sistim periodik tidak mencatat persediaan tetapi “pembelian”), melainkan dicatat sebagai “Diskon Pembelian.” Sehingga jurnal yang dimasukkan ketika melakukan pelunasan adalah sbb:
[Debit]. Utang Dagang = Rp 10,000,000
[Credit]. Diskon Pembelian = Rp 200,000
[Kredit]. Kas = Rp 9,800,000
3. Retur Penjualan dan Diskon Penjualan
Transaksi lainnya yang terkait dengan persediaan adalah retur penjualan dan diskon penjualan. Pada transaksi ini, baik sistim perpetual maupun sistim periodik sama-sama menggunakan akun yang diberi nama “Retur Penjualan” dan “Diskon Penjualan”—yang kedua-duanya merupakan kontra-akun penjualan (bersaldo debit), bedanya hanya di pengakuan “Harga Pokok Penjualan”. Pada sistim perpetual return penjualan, di samping mengakui penurunan piutang dagang dan penurunan penjualan (dengan akun “retur penjualan”) juga mengakui penurunan harga pokok penjualan dan persediaan. Sedangkan pada sistim periodik, tidak. Misalnya:
JAK Mart menerima barang kembali dari pelanggan (karena cacat) senilai Rp 6,000,000. Harga Pokok Penjualan barang yang diretur tersebut adalah Rp 3,000,000. (Kita asumsikan pengakuan penjualan menggunakan metode bruto/gross method)
Jika menggunakan perpetual, maka JAK Mart akan mencatat retur tersebut dengan sepasang jurnal:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit)
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Dan;
[Debit]. Persediaan = Rp 3,000,000
[Kredit]. Harga Pokok Penjualan = Rp 3,000,000
(Untuk mengakui barang persediaan yang telah dikembalikan sekaligus mengurangi harga pokok penjualan).
Sedangkan jika menggunakan sistim periodik, JAK Mart hanya akan memasukkan satu jurnal saja, yaitu:
[Debit]. Retur Penjualan = Rp 6,000,000
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 6,000,000
(Untuk mengakui retur penjualan)
Catatan: Sistim periodik baru akan menghitung saldo persediaan dan mengakui harga pokok penjualan di akhir periode—setelah penghitungan fisik dilakukan.
Selanjutnya, diskon penjualan. Bagaimana pencatatannya?
Oke. Anggap JAK Mart memberikan diskon Rp 200,000 atas pelunasan pembelian sebesar Rp 10,000,000 dari pelanggan (masih menggunakan metode pengakuan penjualan bruto/gross method)
Sistim perpetual dan sistim periodik memasukkan jurnal yang sama persis untuk pelunasan yang mengandung diskon penjualan. Dalam contoh ini:
[Debit]. Kas = Rp 9,800,000
[Debit]. Diskon Penjualan = Rp 200,000 (kontra akun penjualan bersaldo debit).
[Kredit]. Piutang Dagang = Rp 10,000,000
Secara keseluruhan, dari perbandingan jurnal—antara sistim periodik dan perpetual, jelas terlihat bahwa:
Terhadap laporan keuangan yang disajikan di setiap akhir periode, menggunakan sistim perpetual atau periodik tidak berpengaruh apa-apa, dalam pengertian: nilai saldo akhir persediaan (yang disajikan di neraca) dan harga pokok penjualan (yang disajikan di laporan laba-rugi), akan menunjukkan hasil yang sama.
Bedanya, hanya terjadi pada teknis pengakuan dan nama akun yang digunakan pada setiap pengakuan transaksi. Sistim perpetual selalu mendebit/mengkredit akun “Persediaan” untuk setiap transaksi yang mengakibatkan kenaikan atau penurunan persediaan. Sedangkan sistim periodik—untuk sementara—menggunakan akun “Pembelian” untuk setiap penambahan persediaan dan baru memperhitungkan penurunan persediaan di akhir periode—setelah penghitungan fisik dilakukan.
Bagaimana jika perusahaan yang menerapkan sistim periodic—terpaksa harus menyajikan laporan padahal periode belum berakhir—misalnya: untuk pengajuan kredit? Perusahaan bisa (a) menggunakan laporan periode sebelumnya, atau (b) melakukan penghitungan fisik saat itu juga lalu menjalankan prosedur seperti yang dilakukan di akhir periode.
Oke. Penerapan sistim periodik atau perpetual tidak ada pengaruhnya terhadap laporan keuangan. Bagaimana dengan pengelolaan persediaan dan keuangan secara keseluruhan? Mari kita lihat implikasinya… Lanjut…

Implikasi Penerapan Sistim Periodik dan Perpetual Terhadap Pengelolaan Persediaan

Dari perbandingan di atas, jelas terlihat bahwa: untuk tujuan pengawasan persediaan, sistim perpetual jauh lebih baik dibandingkan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, management dapat mengetahui nilai persediaan sewaktu-waktu—tanpa perlu menunggu hingga akhir periode.
Khususnya di perusahaan-perusahaan manufaktur, pengawasan terhadap barang persediaan sangat kompleks—dengan adanya potensi barang scrap dan cacat yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan jenis lain. Dalam kondisi seperti ini, jika sistim persediaan yang diterapkan adalah sistim periodik—dimana penurunan (volume dan nilai persediaan) baru diperhitungkan di akhir periode, maka kesempatan untuk mengetahui adanya pemborosan bahan baku, bahan penolong dan kemungkinan adanya barang cacat saat dalam proses produksi menjadi lebih sulit ditelusuri—kemungkinan baru diketahui setelah di akhir periode, dengan kata lain: sudah terjadi.
Efektifitas pengawasan terhadap barang persediaan berimplikasi besar terhadap pengelolaan keuangan perusahaan secara keseluruhan. Terutama di perusahaan dagang dan manufaktur, sebagian besar kekayaan (asset) perusahaan ada di persediaan—entah itu berupa bahan baku, bahan penolong, barang dalam proses maupun barang jadi. Diantara banyaknya beban yang ditanggung oleh operasional perusahaan, penggunaan persediaan cenderung mendominasi. Jika scope-nya dipersempit, persediaan bahkan mengkonsumsi modal kerja (working capital) paling besar.
Itu sebabnya, bagi managemen perusahaan, pemilihan sistim persediaan yang akan diterapkan (apakah menggunakan sistim perpetual atau periodik) menjadi sangat krusial.
Lalu, apakah sebaiknya saya menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik?” Mungkin ada yang berpikir demikian. Kita pindah ke paragraph selanjutnya…

Apakah Sebaiknya Menggunakan Sisitim Persediaan Periodik atau Perpetual?

Jawaban atas pertanyaan ini sangat tergantung pada situasi dan kondisi opersional perusahaan anda sehari-hari.
Dari aspek pelaporan keuangan, menurut saya, tak ada yang perlu dikhawatirkan. Menggunakan sistim perpetua lpun, toh di akhir periode anda masih harus melakukan stock opname (inventory physical count) untuk memverifikasi keakuratan data persediaan yang diperoleh dari sistim perpetual. Dan, jika terjadi perbedaan antara hasil penghitungan fisik dengan saldo akhir buku, toh anda masih harus membuat rekonsiliasi dan inventory adjustment, iya kan?
Tetapi dari aspek pengawasan persediaan, sistim perpetual jelas lebih baik dibandingkan sistim periodik. Tetapi perlu di sadari bahwa: menerapkan sistim perpetual artinya anda harus siap melakukan pencatatan setiap kali ada transaksi sehubungan dengan persediaan.
Untuk perusahaan-perusahaan berskala besar, jelaslah bahwa sistim perpetual selalu lebih baik—lagipula tenaga untuk melakukan input data setiap saat selalu ada. Tetapi untuk perusahaan berskala sedang dan kecil, menerapkan sistim perpetual bisa menjadi tantangan tersendiri. Masih perlu melihat kondisi operasional perusahaan sehari-hari.
Untuk mempermudah, saya buatkan 2 macam perusahaan—dengan karakter operasional yang sangat berbeda, sebagai ilustrasi:
1. Perusahaan Pertama, Computer Wholesaler – Anda mengelola perusahaan yang menjual komputer dalam jumlah besar, pangsa pasar perusahaan anda bisa jadi pengguna akhir maupun pedagang computer eceran. Sebelum memilih apakah menggunakan sistim persediaan periodik atau perpetual, anda perlu mempertimbangkan kondisi operasional perusahaan anda. Bagaimana kondisinya?
  • Barang dagangan anda adalah tergolong bernilai tinggi
  • Iklan produk/perusahaan anda muncul di TV atau suratkabar lokal setiap hari
  • Volume penjualan harian anda sangat tinggi
  • Anda mempekerjakan lebih dari 40 orang pegawai sales
  • Anda membayangkan bahwa pelanggan akan sangat kecewa jika mereka datang berbelanja tetapi barang persediaan yang anda iklankan ternyata sudah habis terjual
Dengan kondisi operasional perusahaan seperti ini, apakah menggunakan sistim perpetual cukup masuk akal? Jelas iya. Anda perlu mengetahui saldo persediaan barang setiap hari—bahkan mungkin setiap jam atau menit, yang tidak mungkin bisa anda dapatkan jika menggunakan sistim periodik. Dengan sistim perpetual, setiap transkasi penjualan selalu diikuti dengan pencatatan barang keluar, sementara dalam sistim periodik tidak.
2. Perusahaan Kedua, Toko Serba Ada Di Stasiun Kereta Api – Di sini anda mengelola toko yang menjual berbagai macam barang, untuk orang-orang sibuk yang bepergian kesana-kemari dengan kondisi yang selalu terburu-buru. Anda perlu mempertimbangkan kondisi opersional toko anda sebelum memutuskan untuk menerapkan sistim persediaan perpetual atau periodik. Bagaimana situasinya?
  • Penjualan paling banyak terjadi di waktu pagi—saat sebagian besar orang buru-buru ke tempat kerja atau ke kampus, dan petang hari—saat sebagian besar orang buru-buru pulang ke rumah setelah seharian bekerja.
  • Anda menjual berbagai macam barang mulai dari kertas tisu, permen, koran/majalan, gantungan kunci, stationary, minuman dingin, kue kotak, dll
  • Anda hanya memiliki 2 orang pegawai yang untuk melayani pembeli di waktu-waktu padat sudah terlihat kewalahan, sehingga sering anda sendiri yang ikut membantu.
  • Di jam-jam padat, banyak pelanggan yang sampai harus mengantri untuk membayar—sementara mereka hanya membeli barang-barang kecil yang sesungguhnya bisa dibeli di toko mana saja.
Dalam kondisi operasional seperti ini, apakah menerapkan sistim persediaan perpetual masuk akal? Jelas tidak. Pegawai dan anda tidak akan sempat melakukan aktivitas administrative (termasuk accounting) yang dperlukan untuk menerapkan sistim perpetual. Salah-salah, pelanggan tidak jadi belanja—karena malas menunggu proses.
Betul, kehadiran teknologi barcode dan infrared yang banyak digunakan di bisnis retail sangat membantu proses input data penjualan. Alat yang sama juga bisa digunakan dalam proses input data pembelian barang persediaan. Jika memungkinkan untuk menggunakan teknologi ini, tentu, perusahaan atau toko sekecil apapun bisa menerapkan sistim perpetual tanpa hambatan, dan anda bisa melakukan pengawasan terhadap persediaan dengan lebih baik.
Sumber : Jurnalakuntansikeuangan.com


Demikianlah Artikel Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual

Sekianlah artikel Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2016/07/akuntansi-persediaan-sistim-periodik-vs_27.html

0 Response to " Akuntansi Persediaan: Sistim Periodik Vs Perpetual "