Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi | Magister Akuntansi

Labels

Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Islamic Finance , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi
link : Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Baca juga


Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi


Akuntansi Syariah: Tinjauan Kritis Penyajian Zakat (UU No. 38/1999) dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi (UU No. 17/2000) Alchudri UIN Sultan Syarif Kasim Riau 

1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Tuntutan penyatuan paradigma ilmu dengan nilai-nilai Islam sudah kian marak dalam perkembangan keilmuan dewasa ini. Tak terkecuali ilmu-ilmu ekonomi terapan, seperti
akuntansi dan bisnis, kajian kritis terhadap disiplin-disiplin ilmu umum, sudah harus mendapatkan concern ilmu pengetahuan agama. Hal inilah yang melatari berdirinya kampus atau Universitas Islam Negeri di Indonesia. Semangat integrasi di bidang akuntansi, khususnya akuntansi syariah memang memerlukan lebih banyak penelitian yang akurat. Hal demikian amat penting, mengingat akuntansi sebagai ilmu terapan yang rigid dan detail, adalah sumber informasi yang diperlukan bagi evaluasi terhadap kegiatan institusi ilmu, industri, maupun lapangan kehidupan kemasyarakatan yang lebih luas.


Seiring dengan bergulirnya reformasi, yang menuntut adanya terakomodirnya aspirasi kepentingan pihak-pihak yang selama ini terabaikan, maka lahirlah berbagai Undang-undang sebagai respon terhadap aspirasi tersebut, yang diantaranya adalah undang-undang tentang perlunya pengaturan dalam pengelolaan zakat. Lahirnya Undang-Undang No. 38/1999 (UU No. 38/1999) tentang Pengelolaan Zakat, telah mendorong agar pengumpulan dan pendistribusian zakat menjadi terorganisir dengan baik dan diatur oleh pemerintah. UU ini kemudian diikuiti dengan lahirnya UU No. 17/2000 jo UU No. 36/2008 tentang Pajak Penghasilan menyatakan bahwa zakat sebagai pengurang penghasilan kena pajak (PKP), yang dihitung dari penghasilan neto dikurangi zakat/sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib. Kemudian pada Pasal 14 ayat 3 UU No. 38/1999 menyatakan bahwa zakat yang telah dibayarkan kepada amil zakat atau lembaga amil zakat dikurangkan dari laba/pendapatan sisa kena pajak dari wajib pajak yang bersangkutan. Sehingga apabila wajib pajak telah

membayar zakat yang dibayar melalui badan amil yang resmi, maka zakat tersebut akui oleh sebagai pengurang PKP. Kemudian pada bagian penjelasan UU No. 38/1999 Pasal 14 ayat 3 menyatakan bahwa pengurang zakat dari laba/pendapatan sisa kena pajak dimaksudkan agar wajib pajak tidak kena beban ganda, yakni kewajiban membayar zakat dan pajak; Kesadaran membayar zakat dapat memacu kesadaran membayar pajak. Dalam penjelasan UU ini jelas sekali dinyatakan bahwa: (1) Terdapat penyetaraan zakat dan pajak sebagai beban yang harus dibayar dan hanya melihat aspek materi saja. Padahal, Pajak merupakan kewajiban warga negara yang diatur oleh UU dan Zakat merupakan Rukun Islam yang merupakan ibadah, dan bukan beban; (2) Ibadah telah dijadikan alat untuk membayar pajak, karena dengan beribadah orang kemudian membayar zakat. Terlepas dari intrepretasi UU tersebut, penyajian zakat dalam SPT Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi (SPT OP) perlu dikaji lebih dalam lagi.

Ayat Al-Quran (QS At-Taubah 9:103) membahas mengenai zakat, antara lain: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka..”. Kalimat „zakat dari sebagian harta mereka‟ menunjukkan bahwa zakat dibayar dari harta. Hadist (HR. Bukhari) membahas mengenai zakat, menyatakan: “..Orang yang berzakat sedangkan ia atau keluarganya membutuhkan, atau ia mempunyai hutang, maka hutang itu lebih penting dibayar terlebih dahulu daripada zakat”. Jika dikaitkan dengan ayat di atas, hadist ini secara ringkas menggambarkan bahwa harta yang akan dizakatkan adalah harta yang bebas dari hutang.

Dalam PSAK 101–Penyajian Laporan Keuangan Syariah (DSAK 2009b) yang menggantikan PSAK 59–Akuntansi Perbankan Syariah (DSAK 2007a), pada laporan laba rugi telah terjadi perubahan mendasar yaitu, pos zakat dicabut dari komponen laporan laba rugi. Sehingga, zakat tidak diperhitungkan lagi dalam menentukan laba rugi. Dalam PSAK 59, laba bersih ditentukan oleh perhitungan zakat dan pajak (Laba bersih = ( laba sebelum zakat dan pajak – zakat) – pajak). Sedangkan pada PSAK 101, laba bersih ditentukan oleh perhitungan pajak saja (Laba bersih = ( laba sebelum pajak – pajak). Ini menunjukkan bahwa penyajian laba suatu entitas tidak ada kaitan sama sekali dengan zakat. Ditinjau dari konsep ekuitas, perbedaan prinsip yang membedakan perusahaan/usaha perseorangan dengan perseroan terbatas adalah terletak pada ekuitasnya. Terkait dengan PSAK 101, maka dapat dikatakan bahwa laba yang diperoleh baik oleh perusahaan/usaha perseorangan maupun perseroan terbatas dikurangi dengan pajak. Namun, bagi perusahaan perseorangan, ketentuan ini tidak berlaku, karena dalam SPT OP dikurangi dengan zakat terlebih dahulu. Uraian di atas mengisayaratkan bahwa penyajian zakat tersebut meliputi berbagai aspek yang terlibat, baik dari sisi UU, syariah, maupun dari sisi akuntansi. Untuk itu, sejalan dengan integrasi ilmu dengan islam, maka dalam penyajian zakat telaah dari aspek syariah maupun aspek akuntansi amatlah diperlukan dalam memberikan definisi dan pengukuran yang jelas terhadap harta, hutang, dan pajak tersebut.

1.2 PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perumusan masalah adalah: Apakah zakat sebagai pengurang PKP telah sesuai dan selaras dengan syariah maupun aspek ilmu akuntansi?

1.3 TUJUAN PENELITIAN
Tujuan penelitian ini adalah untuk menelaah kembali apakah zakat sebagai pengurang PKP telah sesuai dan selaras dengan syariah maupun aspek ilmu akuntansi. Jika belum sesuai, maka baik UU No. 38/1999 maupun UU No. 17/2000 jo UU No. 36/2008 perlu direvisi kembali seiring dengan semangat integrasi ilmu dalam islam.

2 TELAAH LITERATUR
2.1 Zakat & Harta yang Dizakatkan
2.1.1 Zakat

Menurut bahasa, zakat berarti berkah, bersih, dan berkembang (Kurnia dan Hidayat 2008). Berarti berkah, karena dengan membayar zakat, maka harta akan menjadi bertambah, sehingga akan menjadikan hartanya tumbuh seperti tunas-tunas pada tumbuhan. Sesuai dengan sabda Rasullullah saw, “Harta tidak berkurang karena sedekah (zakat), dan sedekah tidak diterima dari penghianat (cara-cara yang tidak sesuai dengan syar‟i)” (HR Muslim). Bersih berarti bahwa harta yang dimiliki tersebut di dalamnya terdapat hak-hak orang lain yang mesti dikeluarkan. Jika zakat tidak dikeluarkan, maka hak-hak orang lain tersebut diambil. Seperti dalam Alquran (QS 9:103) “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka…”. Berkembang dapat diartikan bahwa harta yang dimiliki tidak menumpuk pada suatu tempat dan diserahkan kepada pihak lain. Sasarannya adalah menghilangkan sebagian kekayaan orang kaya dan mendistribusikannya ke orang miskin dan membutuhkannya. Sedangkan menurut terminologi, zakat berarti aktivitas memberikan harta tertentu yang diwajibkan Allah SWT dalam jumlah dan perhitungan tertentu untuk diserahkan kepada orang yang berhak (Nurhayati dan Wasilah 2009). Zakat merupakan suatu perbuatan yang nyata, yang diperintahkan Allah SWT, dengan cara menyisihkan sebagian harta yang dimiliki sesuai dengan perhitungan & syaratnya, yang kemudian diserahkan kepada pihak yang berhak menerimanya. Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seseorang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya (UU No. 38/1999). Dalam UU ini penekanannya pada subjek atau pihak yang wajib zakat yaitu perorangan dan badan/lembaga/perusahaan yang dimiliki muslim. Menurut Ayub (2007), zakat adalah rukun ketiga dari lima rukun yang ada dalam islam; Sejenis pajak religius bagi umat Muslim yang memiliki kekayaan di atas dan melebihi jumlah pengecualian (Nisab) dengan proporsi yang telah ditetapkan oleh syariah. Pengertian ini menegaskan bahwa zakat merupakan rukun Islam yang wajib dilaksanakan oleh muslim, di sini zakat diistilahkan dengan pajak religius atau pajak keagamaan.

Zakat terbagi dua macam, yaitu: Zakat Nafs (jiwa) atau disebut juga zakat fitrah dan Zakat Maal (harta) (Purwanto 2009). Zakat Fitrah wajib bagi setiap orang yang memiliki kelebihan makanan pada hari dan malam Idul Fitri. Besarnya zakat dikeluarkan 2,5 kg beras atau uang yang nilainya setara dengannya. Sedangkan zakat Maal adalah zakat yang
diwajibkan atas seseorang yang memiliki kelebihan harta sampai batas tertentu (nisab), selama waktu tertentu (haul), dan diberikan kepada orang tertentu pula.

2.1.2 Hukum Zakat
Rukun Islam ada lima, zakat merupakan rukun Islam yang ketiga dan menjadi salah satu unsur pokok bagi tegaknya syariat Islam. Oleh sebab itu, hukum zakat adalah fardhu „ain atas tiap-tiap orang yang cukup syarat-syaratnya (Rasjid 2005). Fardhu„ain berarti wajib dikerjakan oleh setiap orang yang mukallaf sendiri. Zakat mulai disyariatkan pada tahun kedua Hijriyah. Zakat merupakan ibadah selain shalat, puasa, dan haji. Dasar hukum mengenai zakat diperoleh melalui beberapa ayat di dalam Al-Quran. berikut ini: “Dirikanlah shalat, bayarlah zakat, dan rukuklah bersama orang-orang yang rukuk” (QS Al-Baqarah 2:43) “Sesungguhnya orang-orang yang beriman, mengerjakan amal shaleh, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersediah hati” (QS Al-Baqarah 2:277) “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketentraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS At-Taubah 9:103) Beberapa hadist yang berkaitan dengan zakat adalah sebagai berikut: “Islam ini dibangun di atas lima fondasi: bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasullullah, mendirikan shalat, membayar zakat, melaksanakan ibadah haji ke Baitullah bagi orang yang mampu, dan berpuasa pada bulan Ramadhan.” (HR Bukhari dan Muslim)

“Kita diperintahkan Allah SWT untuk mendirikan shalat dan menunaikan zakat dan barang siapa yang tidak menunaikan zakat maka shalatnya tidak diterima.” (HR Thabrani). Dari Ali bin Abi Thalib, Rasulullah bersabda: “jika Anda memiliki dua ratus dirham dan telah berlalu waktu satu tahun, maka wajib dikeluarkan zakatnya sebanyak lima dirham. Anda tidak mempunyai kewajiban apa-apa sehingga Anda memiliki dua puluh dinar dan telah berlalu waktu satu tahun, dan anda harus berzakat sebesar setengah dinar. Jika lebih maka dihitung berdasrkan kelebihannya”. “zakat hanya dibebankan ke atas pundak orang kaya. Orang yang berzakat sedangkan ia atau keluarganya membutuhkan, atau ia mempunyai utang, maka utang itu lebih penting dibayar terlebih dahulu daripada zakat”. (HR. Bukhari) Selain sebagai ibadah, zakat sekaligus juga merupakan amal sosial kemasyarakatan dan kemanusiaan yang dapat berkembang sesuai dengan perkembangan umat manusia. Zakat menjadi pintu yang menjembatani antara pihak yang kelebihan harta dengan dengan pihak yang kekurangan harta. Zakat kemudian dapat dijadikan sumber permodalan dalam meningkatkan perekonomian umat Islam.

2.1.3 Syarat-syarat harta yang wajib dizakatkan:
Terdapat 7 (tujuh) syarat harta yang wajib dizakatkan (Nurhayati dan Wasilah 2009): (1) Halal, harta tersebut harus didapat dengan cara yang baik dan yang halal, (2) Milik Penuh, kepemilikan di sini berupa hak untuk penyimpanan, pemakaian, pengelolaan yang diberikan Allah SWT kepada manusia, dan di dalamnya tidak ada hak orang lain; (3) Berkembang, harta tersebut bertambah baik secara nyata maupun secara tidak nyata; (4) Cukup Nisab, jumlah minimal yang menyebabkan harta terkena zakat; (5) Cukup Haul, jangka waktu kepemilikan harta di tangan pemilik sudah melampaui dua belas bulan Qomariah; (6) Bebas dari Utang, harta yang akan dikeluarkan zakatnya harus bersih dari hutang; dan (7) Lebih dari Kebutuhan Pokok, orang yang memiliki harta lebih dari kebutuhannya, namun amat sulit menentukan kebutuhan pokok seseorang, maka ulama sepakat syarat nisab sudah cukup.

Menurut Kurnia dan Hidayat (2008), syarat harta wajib zakat adalah: (1) Milik sempurna, (2) Berkembang secara riil atau estimasi, (3) Sampai nishab, (4) Melebihi kebutuhan pokok, (5) Tidak terjadi zakat ganda, dan (6) Cukup haul. Pada prinsipnya syarat harta wajib zakat hampir sama antara kedua pendapat di atas. Hanya saja terdapat sedikit perbedaan seperti, pengertian berkembang secara riil atau estimasi tersebut sama dengan secara nyata maupun tidak nyata. Kurnia dan Hidayat (2008) tidak mensyaratkan Halal dan Bebas dari Utang, namun mensyaratkan „tidak terjadi zakat ganda‟, yang berarti apabila suatu harta telah dibayar zakatnya, kemudian harta tersebut berubah bentuk, maka tidak wajib zakat atasnya. Purwanto (2009) menyatakan harta yang wajib dizakati adalah: (1) Harta tersebut dalam pemanfaatan dan penggunaannya berada dalam control dan kekuasaan pemiliknya secara penuh dan didapatkan dengan cara yang benar oleh syariat Islam, (2) Harta tersebut dapat berkembang atau bertambah, (3) Harta tersebut telah mencapai nisab, dan (4) Harta tersebut mencapai haul. Lebih lanjut Ayub (2007) menyatakan, Dalam hal ini bukan merupakan pajak atas penghasilan, tapi atas aset yang dimiliki oleh seorang muslim pada tanggal yang ditetapkan (suatu hari Zakat harus ditentukan untuk perhitungan uang Zakat yang harus dibayarkan setiap tahun) di atas dan melebihi nisab setelah pembayaran kebutuhan normal dari pemiliknya. Pajak religious ini dihitung bukan dari penghasilan, tapi dari penghasilan setelah dikurangi kebutuhan normal pemiliknya, yang menghasilkan aset, setelah satu tahun dan cukup nisabnya. Penentuan satu tahun ini, perlu suatu hari untuk penetapan tanggalnya yang menjadi dasar perhitungan satu tahun.

2.2 Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi
Pada tahun 2001, formulir SPT OP yaitu formulir 1770 dan formulir 1770 S (KEP-542/PJ/2001). Dalam SPT OP tahun 2008, telah mengalami perubahan (PER-24/PJ/2008), sehingga terdapat tiga jenis formulir yang diklasifikasikan berdasarkan jenis penghasilan, yaitu: (1) Formulir 1770 SS, mempunyai penghasilan dari satu pemberi kerja dengan jumlah penghasilan bruto dari pekerjaan tidak lebih dari Rp 48.000.000,00 (empat puluh delapan juta rupiah) setahun (dirubah melalui PER-7/PJ/2009 menjadi Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) setahun) dan tidak mempunyai penghasilan lainnya kecuali bunga bank dan/atau bunga koperasi; (2) Formulir 1770 S, mempunyai penghasilan: a. dari satu atau lebih pemberi kerja, b. dalam negeri lainnya, c. yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final; dan (3) Formulir 1770, mempunyai penghasilan: a. dari usaha/pekerjaan bebas yang menyelenggarakan pembukuan atau norma penghitungan penghasilan neto, b. dari satu atau lebih pemberi kerja, c. yang dikenakan PPh Final dan/atau bersifat final, d. dari penghasilan lainnya. Formulir 1770 S dan formulir 1770 memiliki kolom isian mengenai zakat/sumbangan keagamaan yang bersifat wajib sebagai pengurang penghasilan neto. Sedangkan, pada formulir 1770 SS tidak memiliki kolom seperti kedua formulir tersebut. Pada formulir 1770 SS, hanya terdapat kolom isian jumlah seluruh harta dan jumlah seluruh kewajiban/utang.

Yang dimaksud penghasilan (Pasal 4 UU No. 36/2008) adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun. UU ini berprinsip pemajakan atas semua penghasilan yang menambah kemampuan ekonomis dari manapun asalnya dan apapun istilahnya yang dapat digunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib Pajak. Penghasilan orang pribadi menurut pajak diklasifikasikan menjadi 4 (empat) sumber penghasilan seperti yang tercantum pada formulirnya. Pemilihan formulir tergantung kepada jumlah sumber penghasilan yang diperoleh orang pribadi. Formulir 1770 merupakan formulir yang mencakup keseluruhan sumber penghasilan. Kemudian dalam perhitungan penghasilan yang dihitung adalah penghasilan neto, yaitu penghasilan yang diperoleh setelah dikurangi dengan biaya-biaya yang terkait dengan penghasilan tersebut. Kecuali untuk penghasilan yang dikenakan PPh Final atau bersifat Final tidak diperhitungkan lagi pada penghasilan neto. Penghasilan neto yang diperoleh dari usaha/pekerjaan bebas (usaha) dalam perhitungannya melibatkan komponen seperti yang tercantum pada laporan laba rugi (Penghasilan bruto – biaya usaha), jika menggunakan pembukuan. Namun jika menggunakan norma, maka perhitungannya berasal dari persentase yang telah ditetapkan berdasarkan jenis usaha. Kemudian penghasilan neto sehubungan dengan pekerjaan baik dari dalam/luar negeri dihitung berdasarkan penghasilan bruto (gaji bersih) dikurangi biaya jabatan. Setelah keempat sumber penghasilan neto tersebut diperoleh, kemudian dilakukan perhitungan zakatnya.

Berdasarkan petunjuk pengisian SPT OP 1770, zakat dihitung dari penghasilan neto dikali 2,5% (dua setengah persen). Jumlah zakat hasil perhitungan itu, kemudian yang dapat dilaporkan sebagai pengurang penghasilan neto. Hasil perhitungan penghasilan neto dikurangi zakat yang digunakan sebagai dasar perhitungan PKP. Dalam Pasal 9 UU No. 36/2008 disebutkan bahwa: untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan bentuk usaha tetap tidak boleh dikurangkan:…g. … kecuali sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf i sampai dengan huruf m serta zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau disahkan oleh pemerintah… Di samping itu, zakat yang dakui sebagai pengurang penghasilan, haruslah zakat yang dibayarkan melalui badan amil zakat atau badan lain yang disahkan oleh pemerintah, kalau tidak melalui kedua lembaga di atas, maka tidak diakui sebagai pengurang penghasilan neto.

2.3 Integrasi Pengertian Harta menurut Akuntansi dan Pajak
Terminologi harta/harta yang wajib dizakati dalam konteks syariah perlu alignment dengan perspektif akuntansi maupun pajak. Alignment ini diperlukan sesuai dengan peringatan Rasullulah dalam hadistnya: “Tunggu saat kehancuranannya, apabila amanat itu disia-siakan!” Para sahabat serentak bertanya, “Ya Rasulullah, apa yang dimaksud menyia-nyiakan amanah itu?” Nabi SAW menjawab: “Apabila sesuatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, maka tunggu saat kehancurannya” (HR. Bukhari).

Hadist ini menekankan bahwa integrasi ilmu dalam Islam sebagai rahmattan lil alamin merupakan hal yang mutlak dilakukan agar tercapai alignment ditinjau dari segala aspek kehidupan tak terkecuali zakat/harta yang wajib dizakatkan. Beberapa ayat Alquran maupun Hadist yang berkaitan dengan zakat menyebut-nyebut kata harta, hutang, ataupun kewajiban. Terminologi ini merupakan istilah yang selalu digunakan oleh ilmu akuntansi. Untuk itu peran ahli akuntansi, sebagai pemegang amanah sangat diperlukan dalam mengintegrasikannya dalam tataran teori, riset, dan praktis.

Menurut Harahap (2005) harta yang merupakan subjek zakat adalah harta yang dimiliki dengan sempurna, tidak ada control dari pihak lainnya. Dalam akuntansi harta dapat diartikan sebagai aset, yang dalam Kerangka Dasar Penyusunan dan Penyajian Laporan Keuangan Syariah (KDPPLKS) (DSAK 2009b) adalah sumber daya yang dikuasai oleh entitas syariah sebagai akibat dari peristiwa masa lalu dan dari mana manfaat ekonomi di masa depan diharapkan akan diperoleh entitas syariah. Pengertian aset di sini menekankan pada penguasaan dan penggunaan sumber daya oleh entitas. Sehingga dengan penguasaan sumber daya tersebut entitas dapat menggunakannya dan memperoleh manfaatnya. Sedangkan pengertian kewajiban dalam akuntansi adalah merupakan hutang entitas syariah masa kini yang timbul dari peristiwa masa lalu, penyelesaiannya diharapkan mengakibatkan arus keluar dari sumber daya entitas syariah yang mengandung manfaat ekonomi (DSAK 2009b). Penyelesaian kewajiban biasanya dilakukan dengan pengorbanan sumber daya yang berarti mengurangi aset yang dimiliki. Kemudian pada PSAK No. 1 (DSAK 2009c), istilah Kewajiban telah diganti menjadi Liabilitas.

Dalam melakukan pembayaran zakat, jika ada di dalamnya hutang yang belum dilunasi maka diwajibkan untuk membayar hutang terlebih dahulu. Ini berarti zakat dibayarkan setelah kewajiban diselesaikan, sehingga harta yang dizakati adalah harta bersih. Menurut Harahap (2005) utang tidak tidak termasuk di dalam perhitungan harta yang wajib zakat, zakat hanya dikenakan pada aktiva bersih oleh karena harus dikurangkan. Istilah harta bersih dalam akuntansi disebut sebagai Ekuitas. Menurut Wolk et al (2003) ekuitas adalah Owner‟s equity is defined as the stockholders‟ residual interest in the net assets of the firm.

This definition represents the proprietary theory according to which stockholders are perceived to be owners of the firm. Di sini ekuitas berarti hak residu yang dimiliki pemegang saham atas aset bersih perusahaan. Selanjutnya Wolk et al (2003) mengatakan In sole proprietorship, owners‟ equity can be represented by a single owners equity account. Dalam KDPPLK (DSAK 2009b) ekuitas adalah hak residual atas aset entitas syariah setelah dikurangi semua kewajiban dan dana syirkah temporer (= hak mengelola dana pihak tertentu sesuai kesepakatan). Untuk perusahaan perseorangan, ekuitas sering disebut modal (Suwardjono, 2005). Jika dibandingkan dengan KDPPLK (DSAK, 2007a) perbedaan pengertian aset, kewajiban, dan ekuitas terletak pada kata „entitas syariah‟ diganti dengan kata „perusahaan‟, dan khusus untuk ekuitas terletak pada istilah dana syirkah temporer. Dalam SPT OP, harta yang dizakatkan adalah harta yang berasal dari penghasilan yang diperoleh orang pribadi. Penghasilan orang pribadi ini berasal dari usaha perseorangan yang berarti laba dan dari bekerja pada orang lain yang berarti laba tampa biaya (gaji). Dalam perpajakan, laba (income) dimaknai sebagai jumlah kotor sehingga diterjemahkan sebagai penghasilan sebagaimana digunakan dalam SAK (Suwardjono. 2005).

Laba berkaitan dengan pihak-pihak yang menikmati laba tersebut atau dikenal dengan istilah teori entitas/ekuitas. Untuk SPT OP, laba tersebut dinikmati oleh orang pribadi/pemilik perseorangan, sehingga terkait dengan teori entitas pemilik, di mana persamaan akuntansinya adalah Aset–Kewajiban = Ekuitas. Laba dalam teori entitas ini adalah selisih pendapatan dan biaya yang menjadi hak akhir pemilik; Dengan kata lain, laba merupakan kenaikan aset bersih (Suwardjono. 2005).

Dalam PSAK 101 (DSAK 2009b) pada Laporan Laba Rugi terdapat pos Beban pajak sebelum pos Laba rugi bersih untuk periode berjalan. Definisi beban menurut KDPPLKS (DSAK 2009b) adalah penurunan manfaat ekonomi selama suatu periode akuntansi dalam bentuk arus keluar atau berkurangnya aset atau terjadinya kewajiban yang mengakibatkan penurunan ekuitas yang tidak menyangkut pembagian kepada penanam modal. Jika belum dibayarkan, maka akan muncul Kewajiban pajak pada sisi Kewajiban di Neraca. Namun dalam PSAK 59 (DSAK 2007a) pada pos Laporan Laba Rugi terdapat pos Zakat kemudian Pajak sebelum pos Laba rugi bersih.

2.4 Penyajian Zakat dan Pajak dalam Penghasilan
Harahap (2005) pada konsep standar akuntansi zakat, dalam melakukan perhitungan zakat tidak mengkaitkannya dengan pajak, meskipun UU No. 38/1999 telah disahkan, karena perlu adanya perumusan perhitungan zakat antara IAI dan MUI. Nurhayati dan Wasilah (2009) menyatakan bahwa zakat atas penghasilan orang pribadi dapat dikurangkan atas penghasilan neto sesuai dengan UU No. 17/2000 dan KEP-542/PJ/2001.

Menurut Kurnia dan Hidayat (2009), pajak hanya dipotongkan kepada harta zakat bukan kepada harta bersih (tempat zakat), apabila kewajiban pajak itu ada dan belum dibayarkan. Prinsipnya perhitungan zakat dilakukan setelah pendapatan dikurangi dengan biaya-biaya yang berkaitan dengan perolehan pendapatan maupun hutang-hutang yang segera dibayar, kemudian diperhitungkan pajaknya, untuk mendapatkan harta bersih. Berkaitan dengan UU No. 17/2000, Kurnia dan Hidayat (2009) menyarankan perlu adanya Peraturan Pemerintah yang mengatur perhitungan tersebut sesuai dengan syariah Islam. Sedangkan

Gusfahmi (2007) menyarankan zakat seharusnya menjadi kredit pajak langsung seperti di Malaysia, bukan sebagai pengurang penghasilan neto, karena kalau menjadi kredit pajak, jumlah (= pajak + zakat) yang harus dibayar menjadi lebih kecil.

3 Metodologi Penelitian
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi, dengan pengumpulan data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan. Di mana, permasalahan yang ada dilihat dari berbagai literatur, yang kemudian dianalisis untuk diambil kesimpulan.

4 Pembahasan
4.1 Zakat bukan sebagai Pengurang PKP
Berkaitan dengan SPT OP, dari beberapa syarat harta yang wajib dizakatkan tersebut, maka ada dua syarat yang perlu dicermati, yaitu: Milik Penuh dan Bebas dari Hutang. Kedua syarat tersebut menurut akuntansi dapat diartikan sebagai Aset Bersih. Sehingga dapat dikatakan bahwa Aset Bersih sebagai dasar untuk melakukan perhitungan zakat. Aset bersih diperoleh melalui penghasilan dari pekerjaan atau laba usaha. Dalam Laporan Laba Rugi usaha perseorangan, pajak merupakan pos beban, seperti komponen-komponen beban atau biaya yang lain. Hanya saja perhitungan beban pajak ini didasarkan pada laba yang dihasilkan. Sehingga, dalam perhitungan aset bersih/zakat, pajak harus diperhitungkan terlebih dahulu, karena pajak merupakan beban atau kewajiban jika belum dilunasi. Jika demikian, maka pos zakat dalam SPT OP tidak bisa sebagai pengurang penghasilan neto, karena menurut syariah tidak ada kewajiban (pajak) yang mesti dilunasi setelah pembayaran zakat. 

Sebaliknya, pajak penghasilan adalah sebagai pengurang aset bersih yang diwajibkan untuk membayar zakat. Di sini terlihat bahwa posisi zakat terlepas dari SPT OP, dan hal ini juga selaras dengan PSAK 101, di mana zakat juga tidak terlibat dalam Laporan Laba Rugi. Pihak Ditjen Pajak sendiri sebenarnya tidak begitu concern dengan isu zakat dalam SPT ini. Pertama, pada formulir 1770 SS tidak ditemukan kolom mengenai zakat, yang ada hanya kolom jumlah harta dan jumlah kewajiban/utang. Jadi bagi orang yang penghasilannya tidak lebih dari 60 juta rupiah, maka jika orang tersebut membayar zakat, tidak bisa dijadikan sebagai pengurang PKP. Kedua, perhitungan penghasilan neto tidak memperhitungkan sumber penghasilan yang dikenakan PPh final. Ini menunjukkan bahwa ketidakkonsistenan, karena jika penghasilan dari PPh Final dimasukkan dalam penghasilan neto (penghasilan dihitung kembali sebelum dikenakan PPh Final), maka zakat akan lebih besar lagi. Konsekuensinya PKP menjadi lebih rendah. Ketiga, pada petunjuk pengisian SPT OP, zakat atas penghasilan dihitung dengan tarif 2,5%, padahal SPT OP tersebut menggunakan penanggalan tahun Masehi, berarti tarifnya adalah 2,575% (Kusumawati 2005).

Terkait dengan UU No. 38/1999, maka pengertian zakat menurut UU tersebut yang menyebutkan „harta yang wajib disisihkan oleh Badan milik orang muslim‟ mesti dirubah, karena dalam PSAK 101 (DSAK 2009b) pada pos Laba Rugi tidak mencantumkan zakat sebagai pengurang laba. Hal ini sesuai dengan hukum zakat, bahwa zakat diwajibkan atas orang yang Mukallaf, bukan perusahaan. Pada penjelasan Pasal 14 ayat 3, kata „beban ganda‟ dan kata „Kesadaran dst.‟ mesti direvisi kembali, karena ibadah disetarakan dan dijadikan alat untuk hal/kepentingan duniawi.

4.2 Akuntansi sebagai Alat untuk Menghitung Harta Orang Pribadi yang Wajib Zakat
Seiring dengan pembahasan di atas, maka dapat dinyatakan bahwa zakat tidak dikaitkan dengan penghitungan pajak. Zakat berada di luar pajak. Jika seseorang memiliki penghasilan berarti penghasilan tersebut merupakan aset bersih dan dimiliki penuh dan dapat dihitung zakatnya. Adanya ilmu akuntansi, maka penghitungan penghasilan menjadi akurat dan pasti, karena akuntansi yang mengintrepetasikan pengertian harta yang wajib dizakati atau yang dikenal dengan istilah Aset Bersih. Perhitungan aset bersih sebagai dasar perhitungan zakat ini, sesungguhkan tidak sesederhana seperti perhitungan persamaan akuntansi (Aset – Kewajiban = Aset Bersih). Di mana aset maupun kewajiban itu sendiri memiliki sub komponen serta komponen penghasilan dan beban, yang perlu dilakukan penilaian dan penaksiran (Kurnia dan Hidayat 2009), apakah komponen tersebut sesuai dengan syarat harta yang wajib dizakatkan. Dalam akuntansi dan perpajakan dikenal istilah Koreksi Fiskal. Berkaitan dengan zakat ini perlu diperkenalkan istilah Koreksi Zakat untuk penilaian komponen dari masing-masing aset dan kewajiban tersebut, sehingga dapat menentukan aset bersih yang dizakatkan. Dengan demikian, sesuai dengan yang disampaikan Rahman (2001) yang menekankan bahwa pentingnya isu zakat dalam akuntansi Islam, sehingga metode penilaian dan prinsip akuntansi harus ditetapkan untuk maksud perhitungan zakat.

5 SIMPULAN DAN SARAN
5.1 SIMPULAN
Zakat merupakan salah satu rukun Islam, yang hukumnya fardu‟ain yaitu: wajib dilaksanakan oleh setiap orang muslim, bukan dilaksanakan oleh badan, lembaga, atau institusi yang berbadan hukum. Zakat merupakan ibadah bukan beban, hanya saja pelaksanaan ibadah zakat tersebut dengan cara mengeluarkan sejumlah harta. Berkaitan dengan SPT OP, baik dari sisi syariah maupun akuntansi memberikan pandangan yang saling melengkapi. Menurut syariah, penghasilan/harta yang wajib dizakatkan adalah miliki penuh dan bebas dari hutang. Menurut akuntansi, pajak merupakan hutang atau beban. Sehingga, dalam SPT OP zakat tidak bisa sebagai pengurang PKP, karena tidak ada lagi kewajiban pajak setelah zakat dibayar. Sebaliknya, pajak sebenarnya adalah pengurang aset bersih yang wajib dizakatkan. Sehingga, sejalan dengan PSAK 101, pos zakat sebagai pengurang PKP juga tidak dicantumkan lagi dalam SPT OP.

Oleh karena itu, perubahan UU No. 38/1999 dan UU No. 17/2000 jo UU No. 36/2008, berkaitan dengan zakat sebagai pengurang PKP perlu segera dilakukan, karena tidak sesuai dengan ilmu akuntansi yang terintegrasi dalam syariah, dan dalam telaah literatur juga menunjukkan bahwa konsep perhitungan zakat dilakukan secara parsial, yang hanya melihat dari aspek syariah saja. Revisi UU ini, kemudian juga dilanjutkan dengan penyeragaman persepsi (MUI dan IAI) bahwa peran akuntansi sebagai „koreksi zakat‟ dalam mengukur harta orang pribadi yang wajib dizakatkan, sesuai dengan syariah dan ilmu akuntansi itu sendiri, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam perhitungan pembayaran zakat.

5.2 SARAN
Penelitian ini, hanya menggunakan data sekunder yang berasal dari studi kepustakaan. Penelitian dengan menggunakan fokus grup melibatkan terutama MUI dan IAI dan survey di negara lain masih perlu dilakukan, agar hasil penelitian ini dapat menjadi rahmattan lil alamin dalam bingkai integrasi ilmu dalam islam.



Demikianlah Artikel Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi

Sekianlah artikel Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/04/tinjauan-kritis-penyajian-zakat-dalam.html

0 Response to " Tinjauan Kritis Penyajian Zakat dalam Pajak Penghasilan Orang Pribadi "