Judul : Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN
link : Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN
Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN
“Lho koq bisa? Bukankah penjualan ekspor seharusnya tidak kena PPN?”, mereka yang paham PPN mungkin bertanya. Sesungguhnya bukan tidak kena, melainkan karena pemerintah sedang mendorong pertumbuhan ekspor, maka tarif PPN-nya dikenakan nol persen. Dengan kata lain, tidak terutang PPN. Hanya saja, dalam banyak kasus pemeriksaan pajak, pemeriksa—dengan pertimbangan tertentu—mengenakan PPN, meskipun perusahaan sudah sumpah-sumpah menyatakan penjualannya adalah ekspor.
Jika keadaannya sudah demikian, perusahaan sebagai wajib pajak biasanya hanya bisa pasrah, tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya terpaksa menanggung beban utang PPN yang tak pernah diduga sebelumnya. Penjualan ekspor yang seperti apa biasanya pemeriksa kenakan PPN dan bagaimana sebaiknya perusahaan bersikap?
Itulah yang akan saya bahas di tulisan ini, dengan harapan pembaca menjadi tahu bagaimana harus bersikap jika berada dalam situasi yang sama, sekaligus tahu bagaimana cara mencegahnya, agar potensi risiko itu bisa diminimalkan.
Penjualan Ekspor Seperti Apa Biasanya Dikenakan PPN?
Pada dasarnya, tidak ada pengecualian atas pengenaan tarif PPN nol persen bagi penjualan ekspor. Penjualan ekspor apapun jenisnya, sepanjang yang dijual adalah komoditi yang memang boleh diekspor, tarif PPN-nya nol. Tetapi sudah beberapa kali saya menemukan penjualan ekspor dikenakan PPN oleh pemeriksa karena dianggap tidak memenuhi syarat penjualan ekspor. Dengan kata lain, tidak diakui sebagai penjualan ekspor.
Sepanjang pengalaman saya, setidaknya ada dua kasus penjualan ekspor yang biasanya tidak diakui sebagai penjualan ekspor oleh pemeriksa dari DJP, yaitu:
1. Penjualan Yang Dokumen Ekspornya Tidak Disertai PEB; dan
2. Penjualan Yang Dokumen Ekspornya Atas Nama Perusahaan Lain
Kita bahas satu-persatu:
Kasus-1. Penjualan Yang Dokumen Ekspornya Tidak Disertai PEB
Aturan dasarnya: Semua penjualan ekspor disertai Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB) yang difiat-muat oleh pihak Dirjen Bea dan Cukai (DJBC).
Dengan pertimbangan tersebut, maka jika pemeriksa menemukan penjualan tanpa PEB, meskipun WP menyatakan itu penjualan ekspor, tetap TIDAK DIAKUI sebagai penjualan ekspor. Sebaliknya, malah ditetapkan sebagai penjualan lokal dan dikenakan PPN.
Kasus seperti ini sering dialami oleh perusahaan yang mengekspor barang dalam jumlah sedikit. Eksportir besarpun mengalami hal yang sama untuk penjualan sample dalam jumlah yang biasanya juga sedikit.
“Katakanlah nilai dan jumlahnya kecil, tetapi bagaimana bisa ekspor tanpa PEB? Bukankah logikanya setiap penjualan ekspor seharusnya disertai PEB?”
Mungkin ada yang bertanya demikian.
Pengiriman barang (ekspor) dalam jumlah kecil biasanya dilakukan melalui kurir (FEDEX, DHL, UPS, EMS, dll), tidak melalui cargo (forwarding company). Kurir yang dipilih karena lebih cepat, lebih efisien. Pengiriman barang dalam jumlah kecil melalui cargo, lebih besar cawe-cawenya dibandingkan nilai barangnya.
Masalahnya: kurir biasanya tidak memberikan PEB kepada si pemilik barang. Yang diberikan hanya Air Way Bill (AWB) sebagai bukti pengiriman. Akibatnya, setiap pengiriman barang via kurir arsipnya hanya terdiri dari invoice, packing list dan AWB, tetapi tanpa PEB.
Memang nilai penjualan per invoice (pengirimannya) mungkin kecil. Tetapi bayangkan jika selama 3 atau 5 tahun perusahaan tidak mengalami pemeriksaan. Dengan santainya perusahaan (Wajib pajak) melaporkan PPN terutang nihil, karena perusahaan yakin semua penjualannya adalah ekspor. Kadang malah lebih bayar jika ada faktur pajak masukan (dari pembelian material lokal, misalnya), sehingga sempat berpikir “wah suatu saat nanti bisa direstitusi. Dapat uang banyak neh”.
Nah setelah beberapa tahun berjalan, baru kena pemeriksaan. Oleh pemeriksa ditetapkan bahwa semua pengiriman barang tanpa PEB adalah penjualan lokal. Deg… tiba-tiba kepala jadi pusing. Setelah dihitung-hitung, penjualan ekspor tanpa PEB yang nilai per invoice-nya mungkin tidak sampai USD 1000, selama 3 atau 5 tahun bisa terakumulasi hingga menjadi ratusan ribu dollar (miliaran jika dirupiahkan). Terutang PPN-nya saja mungkin nilainya sudah ratusan juta. Ditambah denda bunga, nilainya bisa bengkak berlipat-lipat.
Jika pengusahanya tidak tahan stress, mungkin bisa kena serangan jantung, atau paling tidak tensi darah dan kadar gulanya naik.
Supaya itu tidak terjadi ya perlu tindakan preventif, pencegahan. Bagaimana cara mencegahnya, dan bagaimana cara mengatasinya jika sudah terlanjur terjadi? Jawabannya saya tahan dahulu. Supaya lebih lengkap kita lanjutkan ke kasus yang kedua.
Kasus-2. Penjualan Yang Dokumen Ekspornya Atas Nama Perusahaan Lain
Frekwensi dan jumlah kasus yang kedua ini jauh lebih tinggi dibandingkan kasus pertama tadi. Hal ini terjadi pada dasarnya karena wajib pajak (eksportir dalam hal ini) tidak memiliki ijin ekspor lengkap. Tetapi karena merasa memiliki jaringan pemasaran ekspor yang bagus, lalu mencari-cari informasi: mungkinkah ekspor barang jika tidak punya ijin ekspor?
Dari seseorang (konsultan, teman, rekan bisnis, keluarga) diperoleh jawaban: SANGAT MUNGKIN! Benarkah?
Secara legal formal sebenarnya tidak boleh. Hanya mereka yang memiliki ijin eksporlah yang boleh mengekspor barang. Tetapi secara teknis, pada prakteknya bukan mungkin lagi, melainkan MEMANG BISA! Perusahaan yang tidak memiliki ijin ekspor bisa mengekspor barang sepanjang bisa meminjam nama dari perusahaan lain yang memiliki ijin ekspor. Caranya?
Sederhana. Tinggal hubungi cargo. Rata-rata cargo yang melayani pengiriman barang ekspor (antar-negara) sekaligus mengantongi ijin ekspor. Dan dengan senang hati perusahaan cargo biasanya mau meminjamkan namanya sekaligus membuatkan dokumen ekspor, tentunya dengan komitmen pemilik barang selalu meggunakan jasa cargo mereka.
Dalam situasi seperti ini, dengan pemahaman PPN yang minimal perusahaan mngkin berpikir bahwa penjualan ekspor tidak dikenakan pajak. Jika kebetulan sudah PKP, biasanya laporan PPN masa (bulanan)-nya nilainya selalu nihil. Nah ini biasanya menjadi ‘makanan empuk’ pemeriksa pajak dari DJP.
Memang. Konsep dasarnya masih sama: penjualan ekspor tarif PPN-nya nol persen. Samasekali tidak berubah. Tetapi penjualan ekspor menggunakan nama perusahaan lain artinya semua dokumen ekspornya juga atas nama perusahaan lain. Mulai dari invoice, packing list, PEB, hingga AWB-nya pun atas nama perusahaan lain (atas nama cargo, misalnya).
Apa yang terjadi bila kena pemeriksaan pajak? Sekalilagi yang menjadi penentu adalah dokumen ekspornya—terutama PEB. Nah jika semua dokumen ekspornya atas nama perusahaan lain, bagaimana bisa mengatakan itu penjualan ekspor milik di wajib pajak, iya kan? Dengan pertimbangan itu, maka sudah pasti dikenakan tarif PPN 10% dikalikan total penjualan, ditambah bunga dan denda.
Bayangkan jika total penjualan perusahaan selama ini (yang dipikir tidak kena PPN) mencapai ratusan ribu dollar. Sudah pasti terutang PPN-nya sangat tinggi. Dari pengalaman saya selama ini, perusahaan yang frekewensi ekspornya cukup tinggi biasanya terutang PPN akibat kasus seperti ini mencapai miliaran (setelah ditambah bunga dan denda).
“Kalau gara-gara dokumen ekspornya atas nama perusahaan lain lalu itu dianggap bukan penjualan ekspor, ya sangat aneh. Seharusnya dianggap bukan barang saya dong, kan dokumennya atas nama perusahaan lain. Lalu bagimana PPN-nya bisa dikenakan terhadap perusahaan saya?”
Hm…logika yang cukup kritis, dan masuk akal. Tetapi oleh pemeriksa pajak yang berpengalaman, logika seperti itu bisa dipatahkan dengan sangat mudah. Biasanya mereka mengatakan:
“Sudah jelas ini penjualan perusahaan anda. Anda sendiri sudah mengakuinya dalam laporan PPN setiap bulannya koq. Tetapi karena anda pikir ini penjualan ekspor maka anda melaporkan terutang PPN nihil. Atau anda ingin mengatakan bahwa selama ini anda membuat laporan PPN palsu, melakukan tindak penipuan, manipulasi?”
Nah kalau sudah begitu, keadaan jadi berbalik bukan? Perusahaan dalam posisi dilematis—disatu sisi tidak mau menanggung utang PPN yang jumlahnya mungkin besar, di sisi lainnya juga tidak mau kena tuntutan penipuan atau manipulasi. Malah lebih parah lagi. Sangat dilematis memang.
Pengusaha yang cerdas biasanya tidak menyerah begitu saja. Mungkin pengusahanya mengatakan:
“Oke Pak. Silahkan bapak yang pilih: (a) menganggap itu penjualan perusahaan saya (meskipun dokumen ekspornya atas nama perusahaan lain)—yang artinya itu ekspor bukan ekspor perusahaan lain; atau (b) menganggap itu barang milik perusahaan lain sehingga PPN-nya juga ditanggung oleh perusahaan lain, bukan perusahaan saya”.
Inilah salah satu hal yang selalu saya kagumi dari para pengusaha. Saya banyak belajar dari mereka yang selalu gigih dalam menghadapi setiap tantangan dan kesulitan. Terlebih-lebih saat menghadapi sistuasi yang dianggap tidak fair.
Namun karena mereka lebih banyak berpikir tentang bisnis, aspek-aspek legal formal (termasuk prosedur-prosedur) menjadi jarang dikuasai secara penuh. Sehingga logika-logika mereka yang sesungguhnya sangat logis selalu dipatahkan oleh prosedur teknis—termasuk prosedur ekspor, kepabeanan, pajak, akuntansi dan sejenisnya.
Pemeriksa yang berpengalaman biasanya akan menjelaskan bagaimana alur barang berlangsung sejak perusahaan mendatangkan bahan baku, proses produksi, hingga proses pengiriman barang.
Singkatnya: Barang-nya diakui memang dibuat oleh perusahaan (sehingga iya memang awalnya milik perushaan terperiksa), lalu barang tersebut dikirimkan ke perusahaan cargo (pemiliki ijin ekspor yang namanya tercantum di dokumen ekspor), terakhir oleh perusahaan cargo barang tersebut di ekspor.
Dari alur tersebut, di titik mana penjualan lokal terjadi (sehingga pemeriksa menetapkan itu sebagai penjualan lokal dan mengenakan PPN 10%)? Terjadinya persis pada saat perusahaan mengirimkan barang ke perusahaan cargonya. Serah-terima barang dari pemilik ke perusahaan cargo itu dianggap sebagai transaksi penjualan lokal oleh pemeriksa pajak selaku wakil dari Dirjen Pajak.
Masuka akal? Masuka akal atau tidak, pada fase ini kebanyakan pengusaha mulai menyerah. Tidak tahu harus berbuat apalagi. Tentunya sangat sulit untuk menerima kenyataan bahwa perusahaan harus menanggung beban utang PPN. Di tambah oleh panjangnya proses pemeriksaan yang menguras energi dan perhatian, biasanya perusahaan pasrah.
Tidak sedikit juga situasi ini dimanfaatkan oleh pemeriksa-pemeriksa nakal—menjadikan kasus seperti itu sebagai komoditi tawar-menawar untuk memperoleh uang yang tidak seharusnya mereka masukan ke kantong pribadi.
Nah bagaimana cara mencegah agar kasus seperti itu tidak menimpa perusahaan (termasuk kasus pertama tadi), dan bagaimana cara menyikapinya jika sudah terlanjur terjadi? Karena keterbatasan ruang, terpaksa untuk sementara pembahasan kasus ini saya penggal sampai di sini dahulu. Yang penting pahami dahulu kasusunya, sadari potensi risiko dan penyebabnya. Tanpa memahami kasusunya, pembaca tidak akan tahu harus berbuat apa. Saya akan lanjutkan pembahasan kasus ini di bagian kedua, di lain kesempatan, mudah-mudahan besok atau lusa
Demikianlah Artikel Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN
Sekianlah artikel
Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/06/saat-penjualan-ekspor-dikenakan-ppn.html
0 Response to " Saat Penjualan Ekspor Dikenakan PPN "
Posting Komentar