Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Evaluasi kinerja perpajakan 2018 | Magister Akuntansi

Labels

Evaluasi kinerja perpajakan 2018

Evaluasi kinerja perpajakan 2018 - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Evaluasi kinerja perpajakan 2018 , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perpajakan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Evaluasi kinerja perpajakan 2018
link : Evaluasi kinerja perpajakan 2018

Baca juga


Evaluasi kinerja perpajakan 2018



Penerimaan perpajakan, yaitu pajak dan bea cukai, merupakan sumber utama penerimaan negara. Dalam kurun sepuluh tahun terakhir kontribusi perpajakan mengalami peningkatan yang signifikan. 
Tercatat di tahun 2008 realisasi perpajakan sebesar Rp664,27 triliun dari total Rp981,6 triliun pendapatan negara. Ini berarti sektor perpajakan menyumbang sebesar 67,6% dari total keseluruhan pendapatan negara yang diperoleh. Menutup tahun 2018, kontribusi perpajakan terhadap penerimaan negara mencapai 78,33% atau Rp1.521,4 triliun.

Penerimaan perpajakan ini tumbuh 13,18% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya tumbuh 3,5%. Jika dibandingkan dengan tahun 2008, maka dalam kurun waktu 10 tahun ini, penerimaan perpajakan 2018 telah mengalami pertumbuhan sebesar 129%.
Dengan pencapaian ini, shortfall penerimaan perpajakan masih terjadi di tahun 2018, meskipun mengalami penurunan 25% (yoy) menjadi Rp96,7 triliun (5,98% dari target APBN) dibandingkan dengan tahun 2017 yang mengalami shortfall sebesar Rp129 triliun (8,73% dari target APBNP). Secara nominal dan persentase terhadap APBN, shortfall 2018 merupakan yang terendah sejak tahun 2014.

Pelan tapi pasti, tumbuh meyakinkan

Tentu saja kita perlu mengapresiasi kinerja Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai karena meskipun diterpa banyak tantangan global dan domestik sepanjang tahun 2018, penerimaan perpajakan menunjukkan kinerja yang membaik.
Sampai akhir tahun 2018, dari target APBN Rp1424 T, DJP sudah mampu mengumpulkan Rp1315,9 T (92,4% dari target) atau tumbuh 14,32% (yoy) dibandingkan tahun 2017 yang hanya tumbuh 4,10% (yoy). Pertumbuhan ini merupakan pertumbuhan penerimaan pajak tertinggi semenjak tahun 2011.
Bahkan, jika ditilik ke belakang, pertumbuhan penerimaan pajak hanya tumbuh di bawah 5% di tahun 2016 dan 2017. Jika dihitung tanpa uang tebusan tax amnesty tahun 2017, pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2018 bahkan mencapai 17,35% (yoy) atau yang tertinggi selama periode 2015-2018.

Memang, dalam empat tahun terakhir rata-rata penerimaan pajak tumbuh hanya berkisar pada angka 7,59% yang notabene lebih rendah dibandingkan era pemerintahan sebelumnya. Hal ini sudah dapat diduga jika melihat tren pertumbuhan penerimaan pajak tahun 2011 sampai 2014 yang terus menurun.
Di tahun 2011, pertumbuhan penerimaan pajak mencapai 19,65% sedangkan di tahun 2014 penerimaan pajak hanya tumbuh 6,92%. Jelas terbaca pola pertumbuhan penerimaan pajak masih bersifat pro-cyclical karena mengandalkan harga komoditas global. Dengan kata lain, tekanan harga komoditas global juga menekan penerimaan pajak periode selanjutnya.
Inilah tantangan utama pemerintahan Jokowi: mewarisi tren penurunan pertumbuhan pajak dan stagnasi pertumbuhan ekonomi sehingga harus segera mengubah haluan kebijakan agar lebih bersifat counter-cyclical dan berkelanjutan.
Pertumbuhan pajak tahun 2018 sebagian besar ditopang oleh PPh non migas dengan realisasi sebesar Rp686,8 triliun (84,06% dari target) atau tumbuh 15,1% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2017 yang justru tumbuh negatif, serta PPN & PPnBM dengan realisasi sebesar Rp538,2 triliun (99,34% dari target) atau tumbuh 11,9% (yoy).
PPh non migas dan PPN berkontribusi sebesar 52,19% dan 40,8% secara berturut-turut terhadap total penerimaan pajak yang diperoleh. Walaupun memberikan kontribusi yang signifikan, PPh non migas juga tak lepas dari kondisi shortfallsebesar Rp130 triliun meski mengalami perbaikan dengan penurunan 10,5% (yoy) dari tahun 2017.
Sedangkan, PPN mengalami shortfall sebesar Rp3,6 triliun atau malah memburuk di mana terjadi peningkatan shortfall sebesar 162% (yoy) dari kondisi tahun 2017, di mana realisasinya justru melampaui target.
Hal ini tentu saja turut berimbas pada shortfall penerimaan pajak secara keseluruhan di tahun 2018 sebesar Rp108 triliun (7,59% dari target APBN) namun terjadi perbaikan karena shortfall mengalami penurunan sebesar 18,04% (yoy) dari shortfall yang terjadi pada 2017 sebesar Rp132 T (10,28% dari target dalam APBN).
Kenaikan harga minyak berperan dalam mendorong kinerja penerimaan tahun 2018 sehingga surplus PPh migas mencapai Rp26,6 T (69,82% dari target dalam APBN) dari total realisasi Rp64,7 triliun. Surplus inilah yang memegang peranan penting atas rendahnya shortfall yang terjadi di 2018.
Meski demikian, kenaikan PPh migas tidak bisa menihilkan keberhasilan kinerja penerimaan pajak di tahun 2018. Buktinya, kenaikan pajak non migas dari tahun sebelumnya mencapai 13,67%, yang menunjukkan bahwa faktor harga minyak bukanlah satu-satunya faktor.
Kabar baiknya, ada peningkatan kepatuhan pasca amnesti pajak dan reformasi perpajakan yang memungkinkan perbaikan yang secara kontinu dilakukan. Secara sektoral, tidak ada perubahan struktur pertumbuhan penerimaan pajak.
Sektor utama penyumbang penerimaan seperti industri pengolahan, perdagangan, jasa keuangan & asuransi, pertambangan, dan pertanian mengalami pertumbuhan double digit yakni 11,2%; 23,72%; 11,91%; 51,15%; dan 21,03% secara berturut-turut (pertumbuhan tersebut di luar uang tebusan amnesti pajak, PPh migas, PBB, PPh DTP, PPh final revaluasi).
Sektor pertambangan menjadi sektor yang tumbuh paling tinggi dalam dua tahun terakhir. Sedangkan sektor yang paling besar kontribusinya terhadap penerimaan pajak adalah sektor industri pengolahan yang tumbuh di atas 10% atau tepatnya 11,12%.
Selain ada perbaikan kinerja pajak, secara terus menerus kinerja DJBC juga konsisten memuaskan. Realisasi penerimaan kepabeanan dan cukai tahun 2018 mencapai Rp205,5 triliun atau melampaui target dalam APBN yakni 105,87%.
Capaian ini tumbuh 6,75% dibandingkan dengan tahun 2017. Meski dalam kondisi perang dagang yang menekan perdagangan internasional, realisasi bea masuk, bea keluar, dan cukai terus menunjukkan kinerja yang positif.
Penerimaan kepabeanan mampu melebihi target di mana bea masuk sebesar Rp39 triliun atau tumbuh 11,11% (yoy) serta bea keluar sebesar Rp6,8 triliun atau tumbuh 65,85% (yoy). Pertumbuhan bea masuk tercatat merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2014, sedangkan bea keluar merupakan pertumbuhan tertinggi sejak tahun 2012.
Selain naiknya volume impor, peningkatan kualitas pengawasan oleh Ditjen Bea Cukai juga berperan penting. Lebih lanjut, penerimaan cukai sampai akhir tahun 2018 juga terus menunjukkan performa yang baik dengan capaian penerimaan terbesar di antara tiga komponen kepabeanan dan cukai. Realisasi cukai tahun 2018 tercatat Rp159,7 triliun atau tumbuh 4,17 % (yoy).
Dengan PDB tahun 2018 yang mencapai Rp14.745,9 triliun diperoleh tax ratio dalam arti sempit (penerimaan yang diadministrasikan DJP) sebesar 8,92% atau meningkat dibandingkan dengan tahun 2017 yang sebesar 8,47%.
Dalam arti luas, yaitu memperhitungkan penerimaan DJBC dan PNBP SDA, tax ratio mencapai 11,5%. Dengan kata lain mengalami peningkatan dibandingkan dengan tahun lalu yang hanya mencapai 10,7%.
Tren peningkatan tax ratioini tentu menggembirakan di tengah pertumbuhan ekonomi yang relatif stagnan dan kondisi perekonomian global yang masih tidak menentu.

Optimisme hadapi masa depan yang menantang

Dalam APBN 2019 yang disusun pemerintah, kontribusi perpajakan diharapkan mengalami peningkatan dengan menyumbang sebesar Rp1.786,4 triliun dari total Rp2.165,1 triliun pendapatan negara atau diharapkan dapat berkontribusi sebesar 82,51%.
Ini berarti untuk mencapai target perpajakan tahun 2019, realisasi perpajakan harus tumbuh 17,42% dari realisasi tahun 2018. Sedangkan, jika dibandingkan dengan realisasi 2018, diharapkan realisasi pajak 2019 dapat tumbuh 19,8% demi mencapai target pajak dalam APBN sebesar Rp1.577,5 triliun.
Dengan demikian, menaikkan target penerimaan PPh migas bukanlah jalan yang bijak mengingat harga minyak dunia di tahun 2018 yang sangat fluktuatif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Selain itu, kebijakan APBN 2018 berlandaskan prinsip prudence dalam menjaga kredibilitas APBN.

Hal ini kita dapat lihat dari defisit keseimbangan primer kita yang terkecil semenjak tahun 2012. Perlu diingat, kebijakan fiskal hanyalah alat bukanlah tujuan. Dengan APBN yang kredibel maka munculah trustdari pelaku usaha yang pada akhirnya mendorong tumbuh kembangnya dunia usaha. Alasan rasional ini juga yang kami yakini menjadi alasan pemerintah untuk tidak menaikan target PNBP.
Selain penerimaan pajak yang menunjukkan adanya perbaikan kinerja, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) juga selalu menunjukkan kinerja yang positif karena pencapaiannya yang selalu melampaui target. Rata-rata kontribusi PNBP terhadap APBN dalam kurun waktu 2013-2017 sebesar 21,04% sedangkan di tahun 2018 PNBP berkontribusi sebesar 21,4% terhadap APBN.
Tercatat di tahun 2018, realisasi PNBP mencapai Rp407,1 triliun (147,8% dari target) atau tumbuh 30,8% (yoy) dibandingkan dengan tahun 2017 yang hanya tumbuh 18,8%. Kenaikan yang signifikan ini beberapa di antaranya disebabkan oleh meningkatnya harga komoditas khususnya harga minyak bumi dan batu bara di tahun 2018 dan pendapatan bagian laba BUMN yang meningkat dan tertinggi sejak 2012.
Dalam rinciannya, realisasi penerimaan SDA migas mencapai Rp143,3 triliun (178,3% dari target) atau tumbuh 63% dibandingkan dengan periode tahun 2017. Sedangkan, realisasi penerimaan SDA non migas mencapai Rp37,8 triliun (162% dari target) atau tumbuh 36,8% (yoy) dibandingkan dengan tahun lalu.
Uraian mengenai penerimaan perpajakan dan PNBP di atas menyadarkan kita bahwa perbaikan perekonomian nasional adalah sebuah proses panjang, berliku, dan menantang. Dibutuhkan persistensi dan konsistensi agar kebijakan yang diambil tidak berat sebelah dan mampu menyeimbangkan peran APBN sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan sumber penerimaan negara.
Meski dalam periode 2015-2017 pertumbuhan ekonomi hanya tumbuh 5,34%, kebijakan perpajakan yang transparan dan akuntabel melalui amnesti pajak, keterbukaan informasi keuangan, dan reformasi perpajakan mulai membuahkan hasil.
Terlepas dari hiruk pikuk di ruang publik yang kerap gaduh lantaran bertikai soal janji politik, kinerja pemerintahan Jokowi di bidang perpajakan merupakan peletakan fondasi yang kokoh sebagai prasyarat bagi kemajuan bangsa.
Yustinus Prastowo, Direktur Ekskutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis), Jakarta.


Demikianlah Artikel Evaluasi kinerja perpajakan 2018

Sekianlah artikel Evaluasi kinerja perpajakan 2018 kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Evaluasi kinerja perpajakan 2018 dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2019/01/evaluasi-kinerja-perpajakan-2018.html

0 Response to " Evaluasi kinerja perpajakan 2018 "