Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN | Magister Akuntansi

Labels

NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN

NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel ANALISIS EKONOMI , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN
link : NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN

Baca juga


NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN

Oleh : Fauzi Ichsan – Senior Economist Standard Chartered Bank (bisnis.com)

Akhir-akhir ini, banyak bankir, analis dan politisi yang kritis terhadap peran bank asing. Ada empat isu utama.

Pertama, isu resiprokal, di mana beberapa bank di Indonesia yang ingin ekspansi ke luar negeri, misalnya, Singapura dan Malaysia, merasa dipersulit oleh regulator perbankan di sana. Sebaliknya, bank dari luar negeri dianggap begitu mudah berekspansi di Indonesia.
Ketimpangan ini dianggap tidak adil sehingga Bank Indonesia dan DPR diminta memperketat aturan bagi bank asing yang beroperasi di Indonesia demi menjunjung azas kesamaan perlakuan.
Kedua, isu keadilan dalam bersaing, di mana bank asing yang modalnya besar ‘memakan lahan bisnis’ bank lokal yang modalnya terbatas terutama di daerah dan sektor retail. Implikasinya, BI dan DPR diminta untuk membatasi ekspansi bank asing demi menjaga kelangsungan hidup bank lokal.
Ketiga adalah isu terkait dengan dominasi asing, di mana sekitar sepertiga dari aset perbankan dikuasai oleh cabang bank asing dan bank lokal yang dikuasai oleh investor asing. Akibatnya, belakangan makin kuat tekanan terhadap BI dan DPR untuk memaksa penjualan kepemilikan bank lokal oleh investor asing agar mereka tidak lagi memiliki kepemilikan mayoritas di bank lokal.
Keempat, yakni stabilitas perbankan yang marak diangkat oleh Financial Stability Board (FSB) dari G-20.
Sebagai bankir bank asing, pandangan saya mungkin akan dianggap subjektif, namun kita bisa mencoba melihatnya berdasarkan apa yang terbaik bagi perekonomian Indonesia.
Dalam hal isu resiprokal, peraturan perbankan di banyak negara lebih ketat dibandingkan dengan Indonesia. Di Singapura, misalnya, modal minimal bagi bank asing adalah S$1,5 miliar (sekitar Rp11,7 triliun), sementara tiga bank lokal yakni DBS, UOB dan OCBC yang saat ini mendominasi perbankan, memiliki modal inti S$20 miliar-S$25 miliar.
Di Indonesia, modal minimum bank hanya Rp100 miliar, jauh di bawah rata-rata modal bank glo-bal. Selain itu, BI mengklasifikasi bank di Indonesia, untuk go international (klasifikasi Buku 4) wajib memiliki modal minimum Rp30 triliun (S$3,8 miliar). Jika keempat bank BUMN dimerger, barulah Indonesia bisa memiliki satu bank yang dominan di Asean, itu pun bukan di Asia.
Dengan keadaan ini, secara legal akan sulit bagi Indonesia meminta regulator perbankan Singapura untuk memperlunak persyaratan ekspansi khusus bagi bank dari Indonesia, sementara peraturan yang ketat tetap diberlakukan bagi bank dari negara lainnya.
Patut juga ditimbang bahwa pascakrisis finansial 2008, hampir semua regulator bank, termasuk di Indonesia, memperketat persyaratan modal minimum perbankan.
Dalam hal keadilan bersaing antara bank lokal dan bank asing, isu sebetulnya adalah persaingan antara bank besar dan bank kecil, siapa pun pemiliknya. Dalam era globalisasi keuangan, bagi bank BUMN yang 40% sahamnya sudah diperdagangkan di bursa saham, misalnya, sangat mungkin sebagian besar pemiliknya adalah investor asing. Pada saat yang sama, regulator perbankan menginginkan konsolidasi perbankan yang merangsang pembentukan bank besar.
Bagi regulator, perbankan adalah bisnis penggalangan dana masyarakat yang harus dilindu-ngi melalui perbankan yang solid dengan mengurangi jumlah bank kecil yang berisiko. Patut diingat, saat krisis finansial, bank-bank kecillah yang lebih dahulu am-blas. Di Amerika Serikat saja, pascakrisis global 2008 terdapat lebih dari 400 bank kecil dan credit unions yang dinyatakan pailit.

Melindungi Siapa ?

Dari sisi ekonomi, pertanyaannya adalah siapa yang patut di­­lindungi: bank lokal atau sektor riil, termasuk pengusaha dan masyarakat.
Jika secara politis bank lokal harus dilindungi, maka persaing­an dengan bank asing harus dibatasi yang, artinya debitur tidak bisa menikmati semua jasa perbankan yang ada dengan harga (suku bunga) yang kompetitif.
Dalam hal pembatasan kepemilikan asing, polemiknya sebetulnya sudah diakhiri melalui peraturan BI atas pembatasan kepemilikan bank (PBI tertanggal 14 Agustus 2012), namun tekanan terhadap DPR untuk mengurangi kepemilikan asing di perbankan nasional tetap kuat.
Untuk mendalami hal ini kita patut melihat sejarah. Sebelum krisis moneter Asia 1997, perbankan Indonesia didominasi bank BUMN dan bank swasta yang dimiliki oleh konglomerat nasional. Pada saat itu, mayoritas bank melanggar peraturan batas maksimum pemberian kredit, karena para konglomerat menggunakan banknya untuk membiayai ekspansi bisnisnya.
Akibatnya, sektor perbankan sangat rapuh dan ketika terhempas krisisi moneter biaya pemerintah untuk menyelamatkannya (melalui pengambilalihan aset busuk, nasionalisasi dan rekapitalisasi) mencapai sekitar Rp650 triliun. Ini adalah dana penyelamatan perbankan terbesar dalam sejarah Indonesia.
Ketika pemerintah melalui BPPN menjual kembali bank yang sudah diselamatkan, hampir semua pembeli adalah investor asing yang nota bene memiliki modal besar dan berani investasi di Indonesia saat itu. Elite ekonomi Indonesia, terutama pasca-kerusuhan Mei 1998, kebanyakan ingin mengamankan aset mereka di luar negeri.
Keputusan para investor asing ini ternyata tepat karena bisnis perbankan di Indonesia mengalami booming seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang pesat.
Fast forward 10 tahun kemudian, banyak pihak yang merasa keadaan ini tidak adil dan menuntut penjualan kepemilikan asing melalui undang-undang perbankan yang baru.
Terlepas dari justifikasi tuntutan ini, implikasinya belum tentu akan menurunkan peran asing. Alasan pertama, investor lokal yang cenderung investasi di sektor komoditas dan real estate belum tentu mampu atau mau membeli saham perbankan, apa lagi dalam jumlah besar, mengingat bisnis bank membutuhkan modal besar dan diregulasi secara ketat.
Kedua, penjualan saham perbankan secara sistemik di pasar saham, tanpa adanya pembelian oleh investor strategis, akan memicu anjloknya saham perbankan dan IHSG yang berdampak buruk bagi investor saham pada umumnya, seperti dana pensiun dan reksa dana.
Ketiga, sangat mungkin yang mampu menampung saham bank yang dijual adalah investor asing lagi. Bedanya, karena tidak ada investor strategis maka dengan banyaknya investor baru, bank yang dijual bisa kehilangan fokus bisnis, sementara harga sahamnya lemah.
Selain itu, Perbanas memperkirakan untuk mempertahankan pertumbuhan kredit bank sebesar 25% per tahun, perbankan membutuhkan dana Rp113 triliun hingga 2015, di mana pasar modal hanya bisa mengkontribusi sekitar Rp30 triliun. Jadi, sangat mungkin sebagian besar dari sisanya hanya bisa dipenuhi oleh investor asing.
Dalam hal perlunya cabang bank asing berubah status me-njadi perseroan terbatas, banyak analis yang mendukung wacana ini, mengingat corporate governance sebuah bank bisa dianggap lebih kuat jika ada dewan komi-saris sehingga regulator lebih mudah mengawasinya. Namun, ini bukan jaminan perbankan Indonesia akan lebih kuat.
Patut diingat bahwa ketika terjadi krisis moneter 1997-1998, bank lokallah yang terpuruk, bukan cabang bank asing. Selain itu, jika cabang bank asing berubah status menjadi perseroan terbatas, maka peringkat risi­konya, paling baik, akan mengikuti peringkat risiko negara di mana bank beroperasi karena adanya risiko moratorium negara.
Artinya, bagi cabang bank asing yang peringkat risikonya lebih tinggi dari Indonesia, peringkat risikonya akan turun ke BB+ (peringkat Standard & Poor). Implikasinya, bunga pi-njaman dolar dari luar negeri akan lebih tinggi, yang secara otomatis akan di pass-on ke debitur di Indonesia, termasuk bank lokal yang tidak memiliki akses sekuat bank asing ke sumber dana global.
Bagi saya, wacana asing versus lokal tidak sepenting wacana apa yang terbaik bagi pelaku ekonomi Indonesia, yang menghadapi suku bunga kredit dan NIM yang tinggi.
Jangan sampai gara-gara nasionalisme sempit semata, sektor perbankan kekurangan modal dalam 5-10 tahun mendatang, yang bisa menghambat pertumbuhan ekonomi Indonesia.


Demikianlah Artikel NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN

Sekianlah artikel NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/02/nasionalisme-di-sektor-perbankan.html

0 Response to " NASIONALISME DI SEKTOR PERBANKAN "