Judul : OECD dan Tax Havens Country
link : OECD dan Tax Havens Country
OECD dan Tax Havens Country
Oleh : Yunus Husein
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Koran SI/Koran SI/rhs)
Akhir-akhir ini fokus pengambil kebijakan dan pelaku pasar tertuju pada Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang merupakan organisasi internasional beranggotakan 30 negara maju yang bertugas membantu negara anggotanya dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan dalam ekonomi global.
Yang menjadi salah satu tantangan OECD adalah masalah tax havens. Menurut Sekretaris Jenderal OECD Jose Angel Gurria, jumlah uang yang disembunyikan oleh perseorangan dan korporasi di negara atau wilayah tax havens untuk menghindari pajak atau menghindar dari ketidakstabilan politik berkisar antara USD5-7 triliun. Pada awal April 2009 ini OECD mengadakan pertemuan dan mengumumkan laporan perkembangan negara-negara surga perpajakan atau tax havens.Tulisan ini menguraikan seputar masalah tax havens countries and territories.
Laporan OECD
Laporan OECD ini menjelaskan perkembangan implementasi International Agreed Standard on Exchange of Information for Tax Purposes. Salah satu ukuran yang dipergunakan untuk menyusun daftar tersebut adalah banyaknya perjanjian yang dibuat mengenai pertukaran informasi mengenai masalah perpajakan.
Sudah tentu implementasi perjanjian tersebut juga dilihat. Cayman Island walaupun sudah membuat delapan perjanjian, Antigua and Barbuda serta Nederland Antilles tujuh perjanjian masih dimasukkan ke dalam wilayah yang belum menerapkan standar secara substansial. Dalam laporannya, OECD mengelompokkan negara-negara ke dalam empat kelompok.
Pertama, negara yang sudah menerapkan standar itu secara substansial (40 negara). Kedua, tax havens countries yang sudah sepakat untuk menerapkan standar internasional, tetapi secara substansial belum menerapkannya (34 negara). Ketiga, financial center lain yang sepakat untuk menerapkan standar internasional tersebut, tetapi belum menerapkannya secara substansial (8 negara). Keempat, negara-negara yang belum memberikan komitmen untuk menerapkan standar tersebut (4 negara).
Ada empat negara tetangga yang masuk dalam watchlist OECD tersebut. Singapura dan Brunei termasuk negara kelompok ketiga bersama Swiss, Luksemburg, Guatemala, dll, sementara Malaysia (Labuan) dan Filipina termasuk kelompok keempat bersama Kosta Rika dan Uruguay. Indonesia tidak termasuk dalam daftar mana pun.
Fenomena Tax Havens
Salah satu tantangan yang dihadapi OECD adalah banyaknya tax havens countries atau territories yang dapat mengganggu negara lain. Pada tax havens country atau territory biasanya undang-undang dan kebijakannya dapat dipergunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara lain.
Pada Desember 2008 The United States Government Accountability Office menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan tax havens, yaitu (1) tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja, (2) tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain, (3) tidak ada transparansi dalam pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, (4) tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu, (5) mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.
Tax havens merupakan kenyataan yang sudah berlangsung berabad-abad. Fenomena tax havens timbul sebagai reaksi manusia sebagai homo ekonomikus terhadap ketentuan pajak di negara tempatnya tinggal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak di negara tax havens. Oleh karena itu, mereka memindahkan uangnya ke negara tax havens. Negara/wilayah tax havens banyak yang merupakan negara kecil yang keadaan politik dan ekonominya stabil serta didukung oleh prasarana yang baik. Misalnya Swiss, Singapura,dan Hong Kong.
Sebagian negara tax havens merupakan atau memiliki suatu offshore financial center seperti yang dimiliki Malaysia di Labuan. Banyak negara tax havens ini yang kurang transparan dan ketentuan rahasia banknya ketat sehingga mempersulit kerja sama internasional dalam bentuk pertukaran informasi. Oleh karena itulah pada 2004 OECD dengan dukungan negara G-20 dan UN Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters menyepakati Internationally Agreed Tax Standard.
Ini standar internasional yang mensyaratkan adanya pertukaran informasi atas dasar permintaan mengenai segala masalah yang terkait dengan perpajakan untuk kepentingan administrasi dan penegakan hukum perpajakan. Kesepakatan ini mengabaikan kepentingan perpajakan domestik dan ketentuan rahasia bank dari negara yang diminta. Kesepakatan itu juga memberikan perlindungan yang ketat terhadap informasi yang dipertukarkan.
Tax Havens dan Pencucian Uang
Ada beberapa cara bagi seseorang atau suatu perusahaan memelihara keamanan dan kenyamanan kekayaannya dengan memanfaatkan keberadaan tax havens. Menurut buku Tolleys Tax Havens (2000) ada empat cara untuk melakukannya.
Pertama, personal residency, yaitu dengan memindahkan domisili ke negara tax havens. Sejak abad ke-20 banyak orang kaya yang berpindah dari negara yang tinggi pajaknya ke negara yang pajaknya rendah karena di banyak negara dasar pengenaan pajak adalah tempat tinggal wajib pajak. Para pengusaha Indonesia pun ada yang memindahkan domisili perseorangan dan perusahaannya ke Singapura atau negara lain.
Kedua, trading and other business activity, yaitu dengan mendirikan perusahaan lokal atau special purpose vehicle company (SPV) di negara tersebut.
Keberadaan perusahaan lokal ini biasanya tidak ada secara fisik atau tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Perusahaan asing ini dapat memudahkan terjadinya transfer pricing untuk menghindari pajak di dalam negeri. Ketiga, asset holding, yaitu dengan menggunakan trust company untuk mengelola kekayaannya di luar. Misalnya yang dilakukan oleh salah satu tersangka kasus Bank Century. Keempat, financial intermediary, yaitu dana yang dihimpun di negara rendah pajak kemudian disalurkan ke berbagai negara yang pajaknya lebih tinggi.
Hal ini berhasil dilakukan Cayman Island, wilayah kecil dengan penduduk tidak lebih dari 60.000 orang, tetapi memiliki sekitar 350 offshore bank. Pada negara atau wilayah tax havens tindak pidana perpajakan biasanya bukan merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang seperti di Malaysia, Singapura, dan Swiss. Di Indonesia tindak pidana di bidang perpajakan merupakan salah satu predicate crime dari tindak pidana pencucian uang.
Biasanya pertukaran informasi terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana perpajakan sangat sulit dilakukan. Mengingat beberapa ciri negara tax havens sebagaimana disebutkan di atas, negara tax havens biasanya juga dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tidak termasuk di dalam daftar OECD tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, Indonesia bukanlah tax havens. Sebaliknya Indonesia merupakan korban yang uangnya banyak dilarikan ke negara tax havens. Misalnya berdasarkan penelitian dari perusahaan Merril Lynch dan Capgemini beberapa tahun yang lalu dapat diketahui bahwa sepertiga dari orang kaya (high networth individual) yang ada di Singapura berasal dari Indonesia.
Kekayaan yang ditanamkan di Singapura diperkirakan sekitar USD70 miliar. Untuk mengejar uang yang ditanam di luar negeri seperti di Singapura bukanlah perkara mudah karena negara yang menerima penempatan dana tersebut sering tidak kooperatif. Di samping itu, Indonesia juga tidak memiliki offshore financial center atau offshore bank karena dalam sistem perbankan di Indonesia tidak dikenal adanya offshore bank.
Offshore bank adalah bank yang hanya boleh menghimpun dana dari luar negeri, kemudian menyalurkannya ke luar negeri saja (out-out offshore bank) atau di wilayah tertentu diperbolehkan juga menyalurkan dananya ke dalam negeri tempat bank itu berada. Di samping itu, tindak pidana perpajakan merupakan salah satu tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.
Inilah yang harus dicari solusinya agar Indonesia tak selalu menjadi korban dari skema adanya tax havens dalam sistem keuangan internasional.
Mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) (Koran SI/Koran SI/rhs)
Akhir-akhir ini fokus pengambil kebijakan dan pelaku pasar tertuju pada Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) yang merupakan organisasi internasional beranggotakan 30 negara maju yang bertugas membantu negara anggotanya dalam menghadapi tantangan ekonomi, sosial, dan tata pemerintahan dalam ekonomi global.
Yang menjadi salah satu tantangan OECD adalah masalah tax havens. Menurut Sekretaris Jenderal OECD Jose Angel Gurria, jumlah uang yang disembunyikan oleh perseorangan dan korporasi di negara atau wilayah tax havens untuk menghindari pajak atau menghindar dari ketidakstabilan politik berkisar antara USD5-7 triliun. Pada awal April 2009 ini OECD mengadakan pertemuan dan mengumumkan laporan perkembangan negara-negara surga perpajakan atau tax havens.Tulisan ini menguraikan seputar masalah tax havens countries and territories.
Laporan OECD
Laporan OECD ini menjelaskan perkembangan implementasi International Agreed Standard on Exchange of Information for Tax Purposes. Salah satu ukuran yang dipergunakan untuk menyusun daftar tersebut adalah banyaknya perjanjian yang dibuat mengenai pertukaran informasi mengenai masalah perpajakan.
Sudah tentu implementasi perjanjian tersebut juga dilihat. Cayman Island walaupun sudah membuat delapan perjanjian, Antigua and Barbuda serta Nederland Antilles tujuh perjanjian masih dimasukkan ke dalam wilayah yang belum menerapkan standar secara substansial. Dalam laporannya, OECD mengelompokkan negara-negara ke dalam empat kelompok.
Pertama, negara yang sudah menerapkan standar itu secara substansial (40 negara). Kedua, tax havens countries yang sudah sepakat untuk menerapkan standar internasional, tetapi secara substansial belum menerapkannya (34 negara). Ketiga, financial center lain yang sepakat untuk menerapkan standar internasional tersebut, tetapi belum menerapkannya secara substansial (8 negara). Keempat, negara-negara yang belum memberikan komitmen untuk menerapkan standar tersebut (4 negara).
Ada empat negara tetangga yang masuk dalam watchlist OECD tersebut. Singapura dan Brunei termasuk negara kelompok ketiga bersama Swiss, Luksemburg, Guatemala, dll, sementara Malaysia (Labuan) dan Filipina termasuk kelompok keempat bersama Kosta Rika dan Uruguay. Indonesia tidak termasuk dalam daftar mana pun.
Fenomena Tax Havens
Salah satu tantangan yang dihadapi OECD adalah banyaknya tax havens countries atau territories yang dapat mengganggu negara lain. Pada tax havens country atau territory biasanya undang-undang dan kebijakannya dapat dipergunakan untuk menghindari atau mengelabui ketentuan pajak dari negara lain.
Pada Desember 2008 The United States Government Accountability Office menggunakan beberapa kriteria untuk menentukan tax havens, yaitu (1) tidak ada pajak atau pajak hanya nominal saja, (2) tidak adanya pertukaran informasi perpajakan dengan negara lain, (3) tidak ada transparansi dalam pelaksanaan undang-undang dan peraturan pelaksanaannya, (4) tidak ada kewajiban bagi badan usaha asing untuk berada secara fisik pada negara itu, (5) mempromosikan negara atau wilayahnya sebagai offshore financial center.
Tax havens merupakan kenyataan yang sudah berlangsung berabad-abad. Fenomena tax havens timbul sebagai reaksi manusia sebagai homo ekonomikus terhadap ketentuan pajak di negara tempatnya tinggal yang lebih tinggi dibandingkan dengan tarif pajak di negara tax havens. Oleh karena itu, mereka memindahkan uangnya ke negara tax havens. Negara/wilayah tax havens banyak yang merupakan negara kecil yang keadaan politik dan ekonominya stabil serta didukung oleh prasarana yang baik. Misalnya Swiss, Singapura,dan Hong Kong.
Sebagian negara tax havens merupakan atau memiliki suatu offshore financial center seperti yang dimiliki Malaysia di Labuan. Banyak negara tax havens ini yang kurang transparan dan ketentuan rahasia banknya ketat sehingga mempersulit kerja sama internasional dalam bentuk pertukaran informasi. Oleh karena itulah pada 2004 OECD dengan dukungan negara G-20 dan UN Committee of Experts on International Cooperation in Tax Matters menyepakati Internationally Agreed Tax Standard.
Ini standar internasional yang mensyaratkan adanya pertukaran informasi atas dasar permintaan mengenai segala masalah yang terkait dengan perpajakan untuk kepentingan administrasi dan penegakan hukum perpajakan. Kesepakatan ini mengabaikan kepentingan perpajakan domestik dan ketentuan rahasia bank dari negara yang diminta. Kesepakatan itu juga memberikan perlindungan yang ketat terhadap informasi yang dipertukarkan.
Tax Havens dan Pencucian Uang
Ada beberapa cara bagi seseorang atau suatu perusahaan memelihara keamanan dan kenyamanan kekayaannya dengan memanfaatkan keberadaan tax havens. Menurut buku Tolleys Tax Havens (2000) ada empat cara untuk melakukannya.
Pertama, personal residency, yaitu dengan memindahkan domisili ke negara tax havens. Sejak abad ke-20 banyak orang kaya yang berpindah dari negara yang tinggi pajaknya ke negara yang pajaknya rendah karena di banyak negara dasar pengenaan pajak adalah tempat tinggal wajib pajak. Para pengusaha Indonesia pun ada yang memindahkan domisili perseorangan dan perusahaannya ke Singapura atau negara lain.
Kedua, trading and other business activity, yaitu dengan mendirikan perusahaan lokal atau special purpose vehicle company (SPV) di negara tersebut.
Keberadaan perusahaan lokal ini biasanya tidak ada secara fisik atau tidak membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Perusahaan asing ini dapat memudahkan terjadinya transfer pricing untuk menghindari pajak di dalam negeri. Ketiga, asset holding, yaitu dengan menggunakan trust company untuk mengelola kekayaannya di luar. Misalnya yang dilakukan oleh salah satu tersangka kasus Bank Century. Keempat, financial intermediary, yaitu dana yang dihimpun di negara rendah pajak kemudian disalurkan ke berbagai negara yang pajaknya lebih tinggi.
Hal ini berhasil dilakukan Cayman Island, wilayah kecil dengan penduduk tidak lebih dari 60.000 orang, tetapi memiliki sekitar 350 offshore bank. Pada negara atau wilayah tax havens tindak pidana perpajakan biasanya bukan merupakan tindak pidana asal (predicate crime) dari tindak pidana pencucian uang seperti di Malaysia, Singapura, dan Swiss. Di Indonesia tindak pidana di bidang perpajakan merupakan salah satu predicate crime dari tindak pidana pencucian uang.
Biasanya pertukaran informasi terkait dengan tindak pidana pencucian uang yang berasal dari tindak pidana perpajakan sangat sulit dilakukan. Mengingat beberapa ciri negara tax havens sebagaimana disebutkan di atas, negara tax havens biasanya juga dimanfaatkan oleh pelaku tindak pidana untuk melakukan pencucian uang.
Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia tidak termasuk di dalam daftar OECD tersebut. Ada beberapa hal yang menjadi penyebabnya. Pertama, Indonesia bukanlah tax havens. Sebaliknya Indonesia merupakan korban yang uangnya banyak dilarikan ke negara tax havens. Misalnya berdasarkan penelitian dari perusahaan Merril Lynch dan Capgemini beberapa tahun yang lalu dapat diketahui bahwa sepertiga dari orang kaya (high networth individual) yang ada di Singapura berasal dari Indonesia.
Kekayaan yang ditanamkan di Singapura diperkirakan sekitar USD70 miliar. Untuk mengejar uang yang ditanam di luar negeri seperti di Singapura bukanlah perkara mudah karena negara yang menerima penempatan dana tersebut sering tidak kooperatif. Di samping itu, Indonesia juga tidak memiliki offshore financial center atau offshore bank karena dalam sistem perbankan di Indonesia tidak dikenal adanya offshore bank.
Offshore bank adalah bank yang hanya boleh menghimpun dana dari luar negeri, kemudian menyalurkannya ke luar negeri saja (out-out offshore bank) atau di wilayah tertentu diperbolehkan juga menyalurkan dananya ke dalam negeri tempat bank itu berada. Di samping itu, tindak pidana perpajakan merupakan salah satu tindak pidana asal dari tindak pidana pencucian uang.
Inilah yang harus dicari solusinya agar Indonesia tak selalu menjadi korban dari skema adanya tax havens dalam sistem keuangan internasional.
Demikianlah Artikel OECD dan Tax Havens Country
Sekianlah artikel
OECD dan Tax Havens Country
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel OECD dan Tax Havens Country dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/02/oecd-dan-tax-havens-country.html
0 Response to " OECD dan Tax Havens Country "
Posting Komentar