Judul : Menurunkan Bunga Kredit Bank
link : Menurunkan Bunga Kredit Bank
Menurunkan Bunga Kredit Bank
Oleh : Sigit Pramono adalah Ketua Umum Perbanas
Sumber : Bisnis Indonesia
Bunga kredit bank memang akan selalu menjadi isu yang memikat secara politis. Banyak kalangan yang menilai bahwa bunga kredit bank saat ini masih tinggi. Selama ini perbankan selalu menjadi tertuduh utama penyebab ‘tingginya bunga kredit’.
DPR, Kadin, dan Apindo menuding perbankan. Bahkan, BI pun pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tingginya bunga kredit karena perbankan tidak efisien. Terakhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha melempar wacana adanya dugaan praktik kartel di perbankan sehingga bunga sulit turun.
Jadi, mudah dipahami jika persetujuan DPR atas Agus D.W. Martowardojo untuk menjadi Gubernur BI periode 2013-2018, juga disertai dengan embel-embel catatan, sama seperti gubernur periode sebelumnya. Gubernur BI diminta untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut, agar akar persoalan dapat diurai dengan baik, mari kita lihat empat komponen pembentuk suku bunga kredit yaitu biaya dana, biaya operasi, margin keuntungan, dan premi risiko.
Gubernur BI diminta untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Secara matematika bunga kredit merupakan penjumlahan dari ke empat komponen tersebut. Jadi, bunga kredit akan turun jika salah satu komponen tersebut turun, atau kombinasi dari beberapa komponen turun atau bila semua komponen turun serentak.
BI dapat mempengaruhi tingkat suku bunga kredit dengan kebijakan moneter menaikkan atau menurunkan bunga acuan BI.
Namun, harus dipahami bahwa komponen pembentuk bunga kredit yang dapat dipengaruhi langsung oleh kebijakan BI melalui bunga acuan BI hanya satu, yaitu komponen biaya dana.
Dalam keadaan normal, penurunan bunga acuan BI seharusnya diikuti penurunan bunga deposito, tabungan dan giro. Setelah bunga simpanan turun maka bunga kredit baru bisa turun.
Dalam kenyataan, bunga simpanan sulit turun karena ada dua persoalan struktural mengenai perilaku penabung atau penyimpan dana di perbankan.
Pertama, masyarakat Indonesia menempatkan dananya di bank masih dengan motivasi investasi dan mengharapkan imbalan bunga tinggi.
Akibatnya, mereka akan terdorong pindah dari satu bank yang bunga deposito atau tabungan nya rendah ke bank yang memberikan bunga lebih tinggi.
Kedua, perilaku para pemegang kuasa dana publik atau APBN, yang ironisnya malah menjadi pemburu rente dan komisi. Perilaku para pengelola dana institusi seperti itulah yang menyandera bank (umumnya bank BUMN) untuk selalu memberikan imbalan bunga tinggi demi menghindari risiko perpindahan dana dalam jumlah besar ke bank lain.
Jadi, bunga kredit akan turun jika salah satu komponen tersebut turun, atau kombinasi dari beberapa komponen turun atau bila semua komponen turun serentak.
Penurunan bunga dana harus mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah. Harus ada perubahan cara berpikir dan motivasi menabung masyarakat bahwa menempatkan dana di bank itu untuk menabung atau untuk transaksi. Bukan untuk investasi dengan imbalan bunga tinggi.
Di samping itu, pemerintah harus tegas melarang kepada para pemegang kuasa pengelola dana APBN atau bendahara untuk tidak meminta imbalan bunga dari bank atas penempatan dana APBN di perbankan. Kinerja mereka sebaiknya jangan diukur berdasar keberhasilan mendapatkan bunga tinggi dari penempatan dana APBN tersebut.
KENDALI PERBANKAN
Berikutnya kita akan kupas biaya operasi dan margin keuntungan. Dua komponen pembentuk bunga kredit ini merupakan komponen yang ada dalam kendali perbankan.
Biaya operasi perbankan di Indonesia relatif tinggi karena biaya pembukaan dan pengelolaan jaringan seperti cabang, ATM dan sebagainya memang lebih tinggi akibat tingkat inflasi yang tinggi. Keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan menyebabkan biaya mobilisasi SDM dan aset juga lebih mahal. Selain itu fakta bahwa perbankan di Indonesia masih dalam fase pengembangan, mengakibatkan mereka perlu belanja modal untuk teknologi dalam jumlah sangat besar.
Margin keuntungan juga masih dimungkinkan turun apabila terjadi persaingan sehat di antara perbankan. Contoh yang paling nyata ialah bunga kredit korporasi dan kredit konsumen.
Saat ini bunga kredit korporasi dan kredit konsumen di bawah 10 %. Hal ini bisa terjadi karena persaingan yang ketat sehingga bank berebut nasabah di sektor itu.
Meski bunga sudah rendah dan bahkan paling rendah sejak Indonesia merdeka, mengapa masih dirasakan berat bagi pengusaha dan perorangan ?
Penurunan bunga dana harus mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah.
Jawabannya karena sebelumnya para pengusaha menikmati listrik dan BBM yang bersubsidi. Ketika biaya bunga kredit turun ternyata beban biaya operasi lainnya meningkat akibat subsidi dicabut. Dari sisi rumah tangga perorangan juga sama.
Dulu kita hidup menikmati banyak subsidi dan tidak terasa berat ketika harus mencicil kredit rumah dan kendaraan bermotor dengan bunga di atas 20%, dan sisa gaji masih terasa longgar untuk biaya hidup lainnya.Ketika subsidi dicabut maka meskipun bunga kredit KPR dan KKB sudah turun di bawah 10% ternyata biaya hidup yang lain semakin tinggi.
Niatan sementara pihak untuk mengatur margin keuntungan bank sebaiknya dipikir ulang. Bila tidak hati-hati mengeluarkan kebijakan mengenai margin keun-tungan perbankan, bisa terjadi bank yang mendapatkan margin tinggi karena lebih efisien akan mendapatkan disinsentif dan bank yang margin keuntungan nya rendah karena kurang efisien justru akan mendapatkan insentif.
Rencana membatasi margin keuntungan perbankan juga sangat berlawanan dengan prinsip dunia usaha yang wajar. Apabila keuntungan perbankan akan dibatasi maka tentu para pemegang saham bank akan meminta perlakuan adil dengan meminta agar para pelaku usaha lain harus dibatasi pula.
Di samping itu bila keuntungan dibatasi maka bank akan kehilangan kemampuan untuk memupuk modal. Akibatnya mereka tidak akan mampu menyalurkan kredit yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Rencana membatasi margin keuntungan perbankan juga sangat berlawanan dengan prinsip dunia usaha yang wajar
Komponen terakhir yang membentuk bunga kredit ialah premi risiko. Biaya premi ini dikenakan kepada nasabah bank sesuai dengan risiko masing-masing. Premi risiko selain bergantung kepada profil risiko nasabah bank secara indidual, sebetulnya juga merupakan pencerminan dari tingginya risiko melakukan usaha di Indonesia.
Mengingat bahwa dengan mekanisme persaingan yang sehat bunga kredit korporasi dan kredit konsumen sudah rendah, marilah kita fokus kepada sektor usaha yang suku bunga kreditnya dianggap masih tinggi, yaitu sektor UMKM.
Dalam kenyataannya di tingkat perekonomian akar rumput, isu sentralnya ternyata bukan bunga kredit tinggi, melainkan akses ke perbankan atau lembaga pembiayaan.
Dari uraian di atas sepatutnya semua pihak menyadari bahwa persoalan “tingginya bunga kredit” tidak bisa hanya dibebankan kepada pundak Gubernur BI. Apalagi sudah terbukti selama ini kebijakan moneter melalui suku bunga acuan BI tidak selalu efektif menurunkan bunga kredit.
Di sisi lain, menuduh bank sebagai biang keladi tingginya suku bunga kredit juga tidak menyelesaikan masalah.
Namun demikian tidak berarti bahwa bunga kredit tidak bisa turun. Masih ada ruang untuk menurunkan bunga kredit dari tingkatan yang sekarang apabila Pemerintah berhasil menanggalkan stigma Indonesia sebagai negara dengan risiko berusaha tinggi dan BI berhasil mengendalikan inflasi.
Bunga kredit akan lebih cepat turun jika terjadi perubahan perilaku para penyimpan dana dan bank-bank bekerja lebih efisien. Sebagai mantan bankir, Gubernur BI Agus Martowardojo tentu lebih memahami karakteristik industri yang pernah membesarkannya. Menguat keyakinan para pelaku usaha bahwa ia akan mampu mencari solusi yang dapat diterima semua pihak, yaitu tingkat bunga kredit yang ideal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan semua golongan masyarakat.
Sumber : Bisnis Indonesia
Bunga kredit bank memang akan selalu menjadi isu yang memikat secara politis. Banyak kalangan yang menilai bahwa bunga kredit bank saat ini masih tinggi. Selama ini perbankan selalu menjadi tertuduh utama penyebab ‘tingginya bunga kredit’.
DPR, Kadin, dan Apindo menuding perbankan. Bahkan, BI pun pernah mengeluarkan pernyataan bahwa tingginya bunga kredit karena perbankan tidak efisien. Terakhir Komisi Pengawas Persaingan Usaha melempar wacana adanya dugaan praktik kartel di perbankan sehingga bunga sulit turun.
Jadi, mudah dipahami jika persetujuan DPR atas Agus D.W. Martowardojo untuk menjadi Gubernur BI periode 2013-2018, juga disertai dengan embel-embel catatan, sama seperti gubernur periode sebelumnya. Gubernur BI diminta untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Berkenaan dengan hal tersebut, agar akar persoalan dapat diurai dengan baik, mari kita lihat empat komponen pembentuk suku bunga kredit yaitu biaya dana, biaya operasi, margin keuntungan, dan premi risiko.
Gubernur BI diminta untuk menurunkan suku bunga kredit perbankan.
Secara matematika bunga kredit merupakan penjumlahan dari ke empat komponen tersebut. Jadi, bunga kredit akan turun jika salah satu komponen tersebut turun, atau kombinasi dari beberapa komponen turun atau bila semua komponen turun serentak.
BI dapat mempengaruhi tingkat suku bunga kredit dengan kebijakan moneter menaikkan atau menurunkan bunga acuan BI.
Namun, harus dipahami bahwa komponen pembentuk bunga kredit yang dapat dipengaruhi langsung oleh kebijakan BI melalui bunga acuan BI hanya satu, yaitu komponen biaya dana.
Dalam keadaan normal, penurunan bunga acuan BI seharusnya diikuti penurunan bunga deposito, tabungan dan giro. Setelah bunga simpanan turun maka bunga kredit baru bisa turun.
Dalam kenyataan, bunga simpanan sulit turun karena ada dua persoalan struktural mengenai perilaku penabung atau penyimpan dana di perbankan.
Pertama, masyarakat Indonesia menempatkan dananya di bank masih dengan motivasi investasi dan mengharapkan imbalan bunga tinggi.
Akibatnya, mereka akan terdorong pindah dari satu bank yang bunga deposito atau tabungan nya rendah ke bank yang memberikan bunga lebih tinggi.
Kedua, perilaku para pemegang kuasa dana publik atau APBN, yang ironisnya malah menjadi pemburu rente dan komisi. Perilaku para pengelola dana institusi seperti itulah yang menyandera bank (umumnya bank BUMN) untuk selalu memberikan imbalan bunga tinggi demi menghindari risiko perpindahan dana dalam jumlah besar ke bank lain.
Jadi, bunga kredit akan turun jika salah satu komponen tersebut turun, atau kombinasi dari beberapa komponen turun atau bila semua komponen turun serentak.
Penurunan bunga dana harus mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah. Harus ada perubahan cara berpikir dan motivasi menabung masyarakat bahwa menempatkan dana di bank itu untuk menabung atau untuk transaksi. Bukan untuk investasi dengan imbalan bunga tinggi.
Di samping itu, pemerintah harus tegas melarang kepada para pemegang kuasa pengelola dana APBN atau bendahara untuk tidak meminta imbalan bunga dari bank atas penempatan dana APBN di perbankan. Kinerja mereka sebaiknya jangan diukur berdasar keberhasilan mendapatkan bunga tinggi dari penempatan dana APBN tersebut.
KENDALI PERBANKAN
Berikutnya kita akan kupas biaya operasi dan margin keuntungan. Dua komponen pembentuk bunga kredit ini merupakan komponen yang ada dalam kendali perbankan.
Biaya operasi perbankan di Indonesia relatif tinggi karena biaya pembukaan dan pengelolaan jaringan seperti cabang, ATM dan sebagainya memang lebih tinggi akibat tingkat inflasi yang tinggi. Keadaan geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan menyebabkan biaya mobilisasi SDM dan aset juga lebih mahal. Selain itu fakta bahwa perbankan di Indonesia masih dalam fase pengembangan, mengakibatkan mereka perlu belanja modal untuk teknologi dalam jumlah sangat besar.
Margin keuntungan juga masih dimungkinkan turun apabila terjadi persaingan sehat di antara perbankan. Contoh yang paling nyata ialah bunga kredit korporasi dan kredit konsumen.
Saat ini bunga kredit korporasi dan kredit konsumen di bawah 10 %. Hal ini bisa terjadi karena persaingan yang ketat sehingga bank berebut nasabah di sektor itu.
Meski bunga sudah rendah dan bahkan paling rendah sejak Indonesia merdeka, mengapa masih dirasakan berat bagi pengusaha dan perorangan ?
Penurunan bunga dana harus mendapatkan dukungan dari masyarakat dan pemerintah.
Jawabannya karena sebelumnya para pengusaha menikmati listrik dan BBM yang bersubsidi. Ketika biaya bunga kredit turun ternyata beban biaya operasi lainnya meningkat akibat subsidi dicabut. Dari sisi rumah tangga perorangan juga sama.
Dulu kita hidup menikmati banyak subsidi dan tidak terasa berat ketika harus mencicil kredit rumah dan kendaraan bermotor dengan bunga di atas 20%, dan sisa gaji masih terasa longgar untuk biaya hidup lainnya.Ketika subsidi dicabut maka meskipun bunga kredit KPR dan KKB sudah turun di bawah 10% ternyata biaya hidup yang lain semakin tinggi.
Niatan sementara pihak untuk mengatur margin keuntungan bank sebaiknya dipikir ulang. Bila tidak hati-hati mengeluarkan kebijakan mengenai margin keun-tungan perbankan, bisa terjadi bank yang mendapatkan margin tinggi karena lebih efisien akan mendapatkan disinsentif dan bank yang margin keuntungan nya rendah karena kurang efisien justru akan mendapatkan insentif.
Rencana membatasi margin keuntungan perbankan juga sangat berlawanan dengan prinsip dunia usaha yang wajar. Apabila keuntungan perbankan akan dibatasi maka tentu para pemegang saham bank akan meminta perlakuan adil dengan meminta agar para pelaku usaha lain harus dibatasi pula.
Di samping itu bila keuntungan dibatasi maka bank akan kehilangan kemampuan untuk memupuk modal. Akibatnya mereka tidak akan mampu menyalurkan kredit yang diperlukan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Rencana membatasi margin keuntungan perbankan juga sangat berlawanan dengan prinsip dunia usaha yang wajar
Komponen terakhir yang membentuk bunga kredit ialah premi risiko. Biaya premi ini dikenakan kepada nasabah bank sesuai dengan risiko masing-masing. Premi risiko selain bergantung kepada profil risiko nasabah bank secara indidual, sebetulnya juga merupakan pencerminan dari tingginya risiko melakukan usaha di Indonesia.
Mengingat bahwa dengan mekanisme persaingan yang sehat bunga kredit korporasi dan kredit konsumen sudah rendah, marilah kita fokus kepada sektor usaha yang suku bunga kreditnya dianggap masih tinggi, yaitu sektor UMKM.
Dalam kenyataannya di tingkat perekonomian akar rumput, isu sentralnya ternyata bukan bunga kredit tinggi, melainkan akses ke perbankan atau lembaga pembiayaan.
Dari uraian di atas sepatutnya semua pihak menyadari bahwa persoalan “tingginya bunga kredit” tidak bisa hanya dibebankan kepada pundak Gubernur BI. Apalagi sudah terbukti selama ini kebijakan moneter melalui suku bunga acuan BI tidak selalu efektif menurunkan bunga kredit.
Di sisi lain, menuduh bank sebagai biang keladi tingginya suku bunga kredit juga tidak menyelesaikan masalah.
Namun demikian tidak berarti bahwa bunga kredit tidak bisa turun. Masih ada ruang untuk menurunkan bunga kredit dari tingkatan yang sekarang apabila Pemerintah berhasil menanggalkan stigma Indonesia sebagai negara dengan risiko berusaha tinggi dan BI berhasil mengendalikan inflasi.
Bunga kredit akan lebih cepat turun jika terjadi perubahan perilaku para penyimpan dana dan bank-bank bekerja lebih efisien. Sebagai mantan bankir, Gubernur BI Agus Martowardojo tentu lebih memahami karakteristik industri yang pernah membesarkannya. Menguat keyakinan para pelaku usaha bahwa ia akan mampu mencari solusi yang dapat diterima semua pihak, yaitu tingkat bunga kredit yang ideal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang menyejahterakan semua golongan masyarakat.
Demikianlah Artikel Menurunkan Bunga Kredit Bank
Sekianlah artikel
Menurunkan Bunga Kredit Bank
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Menurunkan Bunga Kredit Bank dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/04/menurunkan-bunga-kredit-bank.html
0 Response to " Menurunkan Bunga Kredit Bank "
Posting Komentar