Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan | Magister Akuntansi

Labels

Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan

Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Akuntansi , Artikel Akuntansi Keuangan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan
link : Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan

Baca juga


Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan

Akuntansi pendapatan sekilas nampak sederhana, tetapi menjadi makin rumit ketika didalami. Dalam menetukan kapan pendapatan (revenue) bisa diakui, meskipun PSAK telah mengikuti IFRS, pada kenyataannya masih banyak perusahaan yang betah menggunakan panduan PSAK-lama yang berkiblat ke US-GAAP. Apakah itu salah? Nanti kita jawab. Yang ingin saya bahas dalam tulisan ini adalah ketentuan dasar pengakuan pendapatan.



Mengapa Pengakuan Pendapatan Perlu Diatur?
Secara umum, prinsip dan prosedur dalam akuntansi—yang kemudian dijabarkan dalam standar-standar, dibuat agar laporan keuangan perusahaan menjadi “adil/fair” bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders).


‘Fair’ dalam hal ini mengandung makna: tidak ‘diakali’. Apa ya kata yang lebih tepat? Ya intinya tidak dimanipulasi. Kesannya koq jadi negative ya? Sebenarnya saya ingin menghaluskannya, tetapi itulah kata yang paling tepat menurut saya.

Mau disampaikan secara halus (dengan bahasa normative yang cederung bersayap dan membingugka) atau disampikan secara vulgar (versi saya), pada kenyataanya ketentuan mengenai pengakuan pendapatan lebih banyak dimaksudkan untuk mengurangi potensi manipulasi (abuse).

Manipulasi seperti apa?

  • Pendapatan diakui lebih besar dibandingkan kenyataannya—agar perusahaan kelihatan lebih profitable (ini tidak fair bagi investor dan kreditor)
  • Pendapatan diakui lebih kecil dari kenyataannya—agar perusahaan kelihatan tidak profitable (ini tidak fair bagi pemerintah yang diwakili oleh Ditjen Pajak).
  • Pendapatan diakui lebih awal—untuk tujuan yang sama seperti yang pertama
  • Pendapatan diakui lebih belakangan—untuk tujuan yang sama seperti yang kedua
  • Dan tindakan-tindakan manupulatif lainnya, termasuk tindakan manajemen yang memanipulasi pengakuan pendapatan untuk memperoleh penilian kinerja tinggi dari pemegang saham sehingga menerima bonus atau bentuk reward lainnya.


Itulah yang ingin dicegah oleh regulator dan pembuat standar, sehingga perlu dibuatkan ketentuan pasti mengenai pengakuan pendapatan.



Hal Mendasar Apa Yang Perlu Diperhatikan Sehubungan Dengan Pengakuan Pendapatan?
Sejak dahulu, akuntansi telah menentukan prinsip-prinsip yang harus diperhatikan ketika menjalankan proses akuntansi, termasuk pengakuan pendapatan.

Dalam Prinsip-prinsip Akuntansi Berterima Umum (PABU) atau GAAP misalnya, pengakuan pendapatan hendaknya mempertimbangkan “prinsip kehati-hatian” (conservatism principle). Prinsip ini mensyaratkan agar:

Tidak mengakui pendapatan yang belum pasti atau masih berupa potensi, di satu sisinya; dan
Mengakui biaya meskipun masih belum pasti atau masih berupa potensi, di sisi lainnya.
Mengapa perlu memperhatikan prinsip kehati-hatian? Ya untuk mencegah manipulasi-manipulasi tadi itu.

Seiring perkembangan waktu, prinsip kehati-hatian dianggap sudah usang, sudah tidak relevan lagi, sehingga oleh IFRS diperkenalkan prinsip baru yang disebut dengan “prudent”—sebagai pengganti “conservatism principle.” Kata ‘prudence’ (benda) atau “prudent” (sifat) bukan perbendaharaan baru dalam kosa-kata bahasa Inggris. Secara harfiah, prudent mengandung makna “bijak” dan prudence artinya kebijaksanaan.

Apa yang dimaksud dengan “bijak” alias prudent dalam IFRS—terutama sehubungan dengan pengakuan pendapatan?

Ada yang mengatakan prudent artinya: “pendapatan boleh diakui meskipun masih berupa potensi, sepanjang memenuhi ketentuan pengakuan pendapatan (revenue recognition) dalam IFRS”.

Seperti apa ketentuan IFRS mengenai pengakuan pendapatan? Benarkah prudence? Benarkah lebih bijak jika dibandingkan dengan prinsip kehati-hatian (conservatism principle)? Mari kita lihat sama-sama….



Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan (Revenue), Menurut IFRS
Secara garis besar, Kerangka Kerja IASB (cikal-bakalnya IFRS) mengikutsertakan “gain” dan “revenue” sebagai bagian dari “income”.

Dalam IAS 18, revenue itu sendiri didefinisikan sebagi pendapatan yang timbul dari aktivitas normal suatu entitas—baik perseorang atau badan usaha yang melakukan aktivitas usaha—dalam berbagai varian, mungkin disebut:

Penjualan;
Fee;
Bunga;
Dividend;
Royalti
Mengenai besarnya pendapatan yang diakui, IAS 18 menyatakan bahwa, pendaatan diukur pada nilai wajar piutang atau kemungkinan pendapatan yang diterima, setelah dikurangi diskon maupun potongan (rebate) yang diberikan kepada pembeli atau pelanggan.

Kapan pengakuan pendapatan dilakukan, menurut IFRS? Menurut IAS 18, pendaptan diakui saat risiko yang melekat pada barang/jasa (yang diperjualbelikan) berpindah ke pembeli atau pengguna jasa.

Lebih rinci, mengenai saat pengkuan pendapatan, IFRS memberikan 2 ketentuan utama dan beberapa ketentuan tambahan, sebagai berikut:

1. Pengakuan Pada Titik Penyerahan (at point of delivery) – Perusahaan atau seseorang hanya mengakui pendapatan ketika barang/jasa diserahkan ke pembeli atau pelanggan. Misalnya:

Pedangan eceran (retail) mengakui pendapatan saat barang diserahkan ke pembeli yang biasanya bersamaan dengan proses pembayaran di kasir—sebab, jika barang itu rusak atau hilang setelah pembeli pergi dari kasir, risiko tersebut sudah menjadi tanggungjawab pembeli itu sendiri.
Perusahaan eksportir yang menggunakan kondisi FOB, mengakui pendapatan ketika barang sudah berada di atas kapal laut atau pesawat udara pengangkut barang—sebab, dalam kondisi ‘Free on Board (FOB), tanggungjawab eksportir berakhir hanya sampai barang berada di atas kapal/pesawat. Jika ada kehilangan atau kerusakan setelahnya, sudah menjadi risiko pembeli.
2. Pengkuan Pada Saat Pembayaran (at time of payment) – Bisa dibilang prosedur yang kedua ini merupakan penyempurna prosedur yang pertama di atas. Di sini disebutkan bahwa: meskipun barang/jasa telah diserahkan secara penuh (dan risiko yang melekat pada barang/jasa telah berpindah ke pembeli), jika kepastian pembayaran belum diperoleh, maka pendapatan belum bisa diakui.

Misalnya:

Sebuah perusahaan batako menngirimkan batako ke pelanggannya (sebuah toko bahan bangunan.) Jika si perusahaan batako tidak memperoleh keyakinan mengenai pembayaran yang akan diterima, maka perusahaan itu tidak bisa mengakui penyerahan tersebut sebagai pendapatan—meskipun barangnya telah berpindah tangan.

Menurut saya, ini agak membingungkan. Penjualan kredit macam apapun, tidak mengandung keyakinan seratus persen mengenai kepastian pembayaran yang akan diterima. Jika salah diartikan, aturan yang kedua ini ‘seolah-olah’ tidak mengijinkan adanya pengakuan pendapatan untuk penjualan kredit, seolah-olah sistim akuntansi akrual sudah tidak berlaku lagi—digantikan oleh cash-basis.

TETAPI saya yakin maksudnya tidak demikian. Sayangnya, sampai saat ini saya belum menemukan penjelasan mengenai batasan pasti sehubungan dengan prosedur pengakuan pendapatan yang kedua (at time of payment) ini.

Dibandingkan menggunakan istilah “saat pembayaran” (at time of payment)—yang cenderung disalahartikan sebagai penerimaan kas, saya lebih suka menggunakan istilah “saat komitmen pembayaran” (at time of pay-commitment)—yang disatu sisinya tetap menekankan pentingnya kepastian (melalui komitmen yang jelas) tanpa potensi bias makna di sisi lainnya.

Dalam kasus pedagang batako tadi misalnya; tanpa dipesan dan tanpa komitmen (janji membayar) dari toko bangunan, saya rasa si perusahaan batako tak akan mengirimkan barangnya begitu saja. Atau untuk skala yang lebih besar, perusahaan eksportir tidak mungkin mengirimkan barang ke pelanggannya di luar negeri sana, tanpa komitmen membayar yang pasti.

Disamping 2 ketentuan utama tadi, IFRS juga menyertakan beberapa ketentuan tambahan—yang mungkin membuat ketetuan pengakuan pendapatan versi IFRS ini menjadi lebih gamblang. Dalam ketentuan tambahan, pendapatan dapat diakui oleh seorag penjual barang/jasa bila:

1. Tidak Ada Kewajiban Membantu Pembeli Untuk Menjual – Penjual bisa mengakui pendapatan bila tidak memiliki kewajiban untuk membantu pembelinya dalam menjual kembali barangnya kepada pihak ketiga. Dengan kata lain, kewajiban berakhir saat barang diserahkan ke pembeli. Dalam kasus konsinyasi misalnya, suatu perusahaan belum bisa mengakui pendapatan pada saat mengirimkan barangnya ke toko, melainkan masih harus menunggu hingga pihak tokonya berhasil menjual barang tersebut kepada konsumen akhir.

2. Kerusakan Barang Tidak Mempengaruhi Komitmen Pembayaran – Penjual bisa mengakui pendapatan bila kerusakan setelah penyerahan tidak mempengaruhi komitmen pembeli untuk membayar secara penuh. Dalam kasus penjualan barang bergaransi, penjual bisa memilih salah satau cara berikut ini:

(a) Pendapatan diakui ketika barang diserahkan, asalkan porsi ‘potensi-beban-atas-garansi’ sudah dialokasikan ke dalam harga jual dan mengakui kewajiban garansi (secara terpisah) saat pengakuan pendapatan dilakukan. Saya pikir, ini bisa dilakukan dengan memasukan jurnal:

[Debit]. Piutang = 5,000,000
[Kredit]. Penjualan = 5,000,000

[Debit]. Harga Pokok Penjualan = 3,000,000
[Debit]. Biaya Sparepart Diakrualkan = 500,000 (karena belum pasti ada klaim garansi)
[Kredit]. Persediaan = 3,000,000
[Kredit]. Kewajiban Kontinjensi – Garansi = 500,000 (cadangan kewajiban bila garansi di klain)

Atau

(b) Pendapatan diakui setelah masa garansi berakhir, sehingga ketahuan berapa porsi garansi yang harus dibebankan.

3. Transaksi Jual-beli Harus Dengan Entitas Lain – Dalam pengertian tidak memiliki hubungan istimewa (misal: perusahaan induk dengan cabang). Transaksi jual-beli antara perusahaan induk dengn cabang dianggap perdangan dalam perusahaan (inter-company) dan harus dieliminasi dari laporan keuangan.

Nah, bagaimana menurut anda, apakah ketentuan IFRS ini bisa disebut ‘prudent’? Apakah lebih bijak jika dibandingkan prinsip kehati-hatiannya GAAP?

Sambil menunggu pertimbangan anda, saya sangat tertarik terhadap ketentuan pengakuan pendapatan yang diterapkan di Amerika Serikat, terutama sekali klausul pengakuan “Recognition When Customer Acceptance is Secured” sebagai bentuk konkret penerapan prinsip kehati-hatian di AS sana.



Pengakuan Pendapatan Ketika Penerimaan Dari Pembeli Sudah Aman
Security Exchange Commission (SEC)—Bappepam-nya AS—menerbitakan “Staff Accounting Bulletin” (SAB) No. 101 untuk mencegah potensi manipulasi sehubungan dengan pengakuan pendapatan oleh perusahaan publik di negara tersebut.

Di bawah ketentuan SAB 101, transaksi penjualam yang mengandung klausul konfirmasi penerimaan (approval) baru boleh diakui sebagai pendapatan setelah konfirmasi penerimaan di peroleh.

Misalnya: Sebuah perusahaan di Chicago mengirimkan barang ke salah satu pelanggannya di Indonesia dengan ketentuan: pelanggan akan melakukan inspeksi terhadap kwalitas barang ketika tiba di pelabuhan—bila tidak sesuai kesepakatan maka barang akan dikembalikan.

Dengan klausul tersebut, penjual barang yang ada di Chicago baru boleh mengakui pendapatan setelah perusahaan di Indonesia selesai melakukan inspeksi dan menyatakan menerima pengiriman barang tersebut.

Intinya, sama saja: KOMITMEN

Sekalilagi, menurut anda apakah ketentuan IFRS di atas bisa dibilang prudent (lebih bijak) jika dibandingkan prinsip kehati-hatinnya GAAP? (silahkan sampaikan pendapatnya via ruang komentar du ujung halaman ini)



Menggunakan ‘HAK’ Sebagai Patokan Pengakuan Pendapatan (Alternative)
Di luar prudent atau tidak, daripada menggunakan aturan ‘mbulet-njlimet’ yang membingungkan, saya lebih suka menggunakan “HAK” sebagai patokan dasar:

Pendapatan diakui bila sudah menjadi ‘HAK’.
Kapan menjadi HAK?

Pendapatan Menjadi HAK ketika kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan dan komitmen pembayaran telah diperoleh sesuai kesepakatan.
Menurut saya itu saja. Jauh lebih sederhana tanpa menimbulkan kebingungan.

Bagaimanapun juga, ketika terjadi sengketa—dimana pembeli melakukan wan-prestasi (mengingkari janjinya untuk membayar), yang menjadi acuan dasar penyelesaian tetap saja komitmen yang sah menurut peraturan dan perundang-undangan, bukan parameter-parameter di luar itu. Dalam pengertian, hukumlah yang menjamin ‘hak’ itu mendekati pasti akan diterima—sepanjang kewajiban menyerahkan barang/jasa telah ditunaikan.

“Lalu mana yang benar? Mana yang diikuti?” Mungkin ada yang berpikir demikian.

Tidak ada yang salah atau benar dalam akuntansi—termasuk perlakuan pendapatan.

Untuk perusahaan-perusahaan yang berstatus publik (terbuka) atau skalanya sudah besar—apalagi yang membuka diri untuk investor atau partner bisnis antar-negara, tentu mengikuti ketentuan IFRS menjadi krusial, sehingga keterterimaan di kancah global menjadi lebih tinggi.
Sedangkan untuk perusahaan berstatus non-publik dengan skala kecil hingga menengah, saya selalu menyarankan agar tidak usah terlalu ambil-pusing mengenai perlakuan akuntansi (termasuk akuntansi pendapatan)—apakah perlu mengikuti IFRS atau tidak.


Situasi yang paling sering dihadapi oleh akuntan yang bekerja di dalam perusahaan yaitu: terjebak dalam situasi antara memilih mengikuti setiap perkembangan standar akutansi (yang berubah dari waktu-ke-waktu) DAN efektifitas fungsi akuntansi (yang mestinya menjadi alat yang mempermudah operasional perusahaan, bukan menjadi beban apalagi menghambat.) Mengikuti perkembangan standar itu penting, tetapi jangan sampai tenaga dan sumberdaya habis terkuras untuk hal-hal yang sifatnya tidak incremental.

Jalan tengah paling bijak, menurut saya, adalah mengikuti yang dirasa bisa diikuti, bersifat penting, memberi nilai tambah, dan bisa menjadi piranti untuk meningkatkan profitabilitas perusahaan yang se-real-realnya. Buat saya pibadi, yang terpenting masih patuh terhadap prinsip dan aturan dasar akuntansi, rasional, mudah dipahami, serta tidak dimaksudkan untuk memanipulasi atau mengelabui pihak lain. Selebihnya, saya memilih fokus pada usaha-usaha untuk membuat nilai tambah, membuat perusahaan menjadi lebih profitable, buka peluang kerja yang lebih banyak dan sejahterakan orang-orang yang terlibat di dalamnya.






Demikianlah Artikel Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan

Sekianlah artikel Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/06/akuntansi-pendapatan-ketentuan-dasar.html

1 Response to " Akuntansi Pendapatan : Ketentuan Dasar Pengakuan Pendapatan "

Ihsanto mengatakan...

Kalau ragu dengan calon nasabah sebaiknya tidak diberi kredit