Judul : Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak
link : Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak
Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak
Pembagian hasil lelang harta wajib pajak (WP) sering menimbulkan perselisihan ketika yang berkepentingan dengan hasil lelang tersebut terdiri dari banyak pihak, sementara hasil lelang tidak mencukupi untuk menutup semua kewajiban yang ada. Negara sering menjadi pihak yang merasa dirugikan dari pembagian hasil lelang tersebut karena hak mendahulu negara atas harta wajib pajak sering tidak dipenuhi sebagaimana mestinya.
Pelunasan utang pajak merupakan salah satu hak negara, sehingga hak mendahulu utang pajak merupakan salah satu hak mendahulu negara. Dalam Pasal 21 UU KUP (UU No. 28 Tahun 2007) dengan tegas dinyatakan bahwa negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, dilarang membagikan harta wajib pajak kepada pihak lain sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak penanggung pajak tersebut. Utang pajak dan biaya penangguhan pajak harus terlebih dahulu dilunasi sebelum utang-utang lainnya.
UU KUP mendudukkan negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Hak mendahulu utang pajak ini juga ditegaskan dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan dengan Surat Paksa (UU Penagihan).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut diakui sebagai hak istimewa (hak yang diberikan undang-undang). Menurut KUH Perdata, hak mendahulu yang melekat pada gadai dan hipotek pada dasarnya lebih tinggi kedudukan-nya daripada hak istimewa, kecuali undang-undang menyatakan sebaliknya, Mengingat UU KUP dan UU Penagihan sudah dengan tegas menyatakan bahwa hak mendahulu hutang pajak itu lebih tinggi kedudukannya daripada hak mendahulu lainnya, maka hak mendahulu tersebut lebih tinggi kedudukannya daripada hak mendahulu yang melekat pada gadai dan hipotek,
Penyampaian surat paksa
Tertib pelaksanaan hak mendahulu negara menurut KUH Perdata dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu, pelaksanaan hak mendahulu negara harus dilak-sanakan sesuai dengan ketentuan UU KUP dan UU Penagihan yang intinya, pembayaran kepada pihak lainnya baru dilakukan setelah utang pajak dan biaya penagihan pajak dilunasi.
Untuk menuntut pelaksanaan hak mendahulu utang pajak, juru sita perlu melakukan penagihan aktif dalam bentuk penyampaian surat paksa yang merupakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Surat paksa berkepala kata-kata "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi penyampaian surat paksa oleh juru sita sama dengan penyampaian putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena itu, penyampaiannya dilakukan dengan cara membacakan isi surat paksa dan menyerahkan salinannya,
Menurut PMK Nomor 85/PMK. 03/2010, dalam hal WP dinyatakan pailit, surat paksa disampaikan/diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan. Sedang dalam hal WP dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani/ditugaskan untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
Dalam hal pihak-pihak tersebut di atas menolak untuk menerima surat paksa, juru sita pajak mencatat penolakan tersebut dalam berita acara dan meninggalkan salinan surat paksa. Dengan demikian, surat paksa dianggap telah diberitahukan/disampaikan.
Pihak yang bertugas membagikan hasil pelelangan harta WP terikat untuk melaksanakan hak mendahulu negara (dalam bentuk pajak) atas pembagian harta tersebut mengingat kedudukan surat paksa yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pembagian hasil lelang memang sangat rawan kolusi dalam hal hasil lelang tidak mencukupi untuk menutup semua kewajiban debitur. Bukan tidak mungkin, ada kreditur yang berusaha melakukan pendekatan kepada juru bagi agar memprioritaskan pembayaran tagihannya. Dalam kondisi ini, posisi juru sita pajak agak lemah karena tidak mungkin menyuap.
Untuk mengurangi kemungkinan kolusi itu, juru sita pajak perlu juga mengingatkan kurator atau juru bagi lainnya akan sanksi pidana yang bisa diancamkan kepadanya apabila tidak mengindahkan surat paksa yang telah disampaikan oleh juru sita. Menurut ketentuan Pasal 41 A ayat (3) UU Penagihan, setiap orang yang dengan sengaja tidak menumti perintah yang dilakukan oleh juru sita pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Meskipun sanksi pidana tersebut tidak terlalu berat, tapi mungkin saja seorang kurator atau juru bagi lainnya itu lebih takut masuk penjara daripada hanya di- gugat secara perdata. Oleh karena itu, juru sita pajak perlu juga menggunakan ketentuan pidana tersebut dengan cara mengadukan pihak-pihak yang tidak melaksanakan ketentuan hak mendahulu hutang pajak tersebut kepada penegak hukum sebagai pelaku tindak pidana perpajakan.
Oleh : Almuden Situmorang,
Konsultan Pajak,
Bekas Pegawai di Ditjen Pajak (Kontan)
Pelunasan utang pajak merupakan salah satu hak negara, sehingga hak mendahulu utang pajak merupakan salah satu hak mendahulu negara. Dalam Pasal 21 UU KUP (UU No. 28 Tahun 2007) dengan tegas dinyatakan bahwa negara mempunyai hak mendahulu untuk utang pajak atas barang-barang milik penanggung pajak yang meliputi pokok pajak, sanksi administrasi berupa bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan pajak.
Dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit, bubar, atau dilikuidasi maka kurator, likuidator, atau orang atau badan yang ditugasi untuk melakukan pemberesan, dilarang membagikan harta wajib pajak kepada pihak lain sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak penanggung pajak tersebut. Utang pajak dan biaya penangguhan pajak harus terlebih dahulu dilunasi sebelum utang-utang lainnya.
UU KUP mendudukkan negara sebagai kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas barang-barang milik penanggung pajak melebihi segala hak mendahulu lainnya, kecuali terhadap: biaya perkara yang semata-mata disebabkan suatu penghukuman untuk melelang suatu barang bergerak dan atau barang tidak bergerak, biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan barang dimaksud dan biaya perkara yang semata-mata disebabkan pelelangan dan penyelesaian suatu warisan.
Hak mendahulu utang pajak ini juga ditegaskan dalam Pasal 19 UU No. 19 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 19 Tahun 2000 tentang Penagihan dengan Surat Paksa (UU Penagihan).
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesie) hak mendahulu negara atas utang pajak tersebut diakui sebagai hak istimewa (hak yang diberikan undang-undang). Menurut KUH Perdata, hak mendahulu yang melekat pada gadai dan hipotek pada dasarnya lebih tinggi kedudukan-nya daripada hak istimewa, kecuali undang-undang menyatakan sebaliknya, Mengingat UU KUP dan UU Penagihan sudah dengan tegas menyatakan bahwa hak mendahulu hutang pajak itu lebih tinggi kedudukannya daripada hak mendahulu lainnya, maka hak mendahulu tersebut lebih tinggi kedudukannya daripada hak mendahulu yang melekat pada gadai dan hipotek,
Penyampaian surat paksa
Tertib pelaksanaan hak mendahulu negara menurut KUH Perdata dilaksanakan sesuai dengan undang-undang yang mengaturnya. Oleh karena itu, pelaksanaan hak mendahulu negara harus dilak-sanakan sesuai dengan ketentuan UU KUP dan UU Penagihan yang intinya, pembayaran kepada pihak lainnya baru dilakukan setelah utang pajak dan biaya penagihan pajak dilunasi.
Untuk menuntut pelaksanaan hak mendahulu utang pajak, juru sita perlu melakukan penagihan aktif dalam bentuk penyampaian surat paksa yang merupakan surat perintah membayar utang pajak dan biaya penagihan pajak.
Surat paksa berkepala kata-kata "demi keadilan berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa" sehingga mempunyai kekuatan eksekutorial dan kedudukan hukum yang sama dengan grosse akte, yaitu putusan pengadilan perdata yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Jadi penyampaian surat paksa oleh juru sita sama dengan penyampaian putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Oleh karena itu, penyampaiannya dilakukan dengan cara membacakan isi surat paksa dan menyerahkan salinannya,
Menurut PMK Nomor 85/PMK. 03/2010, dalam hal WP dinyatakan pailit, surat paksa disampaikan/diberitahukan kepada kurator, hakim pengawas, atau balai harta peninggalan. Sedang dalam hal WP dinyatakan bubar atau dalam likuidasi, surat paksa diberitahukan kepada orang atau badan yang dibebani/ditugaskan untuk melakukan pemberesan atau likuidator.
Dalam hal pihak-pihak tersebut di atas menolak untuk menerima surat paksa, juru sita pajak mencatat penolakan tersebut dalam berita acara dan meninggalkan salinan surat paksa. Dengan demikian, surat paksa dianggap telah diberitahukan/disampaikan.
Pihak yang bertugas membagikan hasil pelelangan harta WP terikat untuk melaksanakan hak mendahulu negara (dalam bentuk pajak) atas pembagian harta tersebut mengingat kedudukan surat paksa yang sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.
Pembagian hasil lelang memang sangat rawan kolusi dalam hal hasil lelang tidak mencukupi untuk menutup semua kewajiban debitur. Bukan tidak mungkin, ada kreditur yang berusaha melakukan pendekatan kepada juru bagi agar memprioritaskan pembayaran tagihannya. Dalam kondisi ini, posisi juru sita pajak agak lemah karena tidak mungkin menyuap.
Untuk mengurangi kemungkinan kolusi itu, juru sita pajak perlu juga mengingatkan kurator atau juru bagi lainnya akan sanksi pidana yang bisa diancamkan kepadanya apabila tidak mengindahkan surat paksa yang telah disampaikan oleh juru sita. Menurut ketentuan Pasal 41 A ayat (3) UU Penagihan, setiap orang yang dengan sengaja tidak menumti perintah yang dilakukan oleh juru sita pajak, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan 2 (dua) minggu dan denda paling banyak Rp 10.000.000 (sepuluh juta rupiah). Meskipun sanksi pidana tersebut tidak terlalu berat, tapi mungkin saja seorang kurator atau juru bagi lainnya itu lebih takut masuk penjara daripada hanya di- gugat secara perdata. Oleh karena itu, juru sita pajak perlu juga menggunakan ketentuan pidana tersebut dengan cara mengadukan pihak-pihak yang tidak melaksanakan ketentuan hak mendahulu hutang pajak tersebut kepada penegak hukum sebagai pelaku tindak pidana perpajakan.
Oleh : Almuden Situmorang,
Konsultan Pajak,
Bekas Pegawai di Ditjen Pajak (Kontan)
Demikianlah Artikel Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak
Sekianlah artikel
Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/10/pelanggaran-mendahulukan-utang-pajak.html
0 Response to " Pelanggaran Mendahulukan Utang Pajak "
Posting Komentar