Judul : Perppu dan Era Baru Perpajakan
link : Perppu dan Era Baru Perpajakan
Perppu dan Era Baru Perpajakan
Pemerintah baru saja menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti UU Nomor 1 Tahun 2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Bagi sebagian orang, terbitnya peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) seperti petir di siang bolong yang mengagetkan. Sebagian lain dapat memaklumi karena ini sudah jauh hari diwacanakan. Namun, tetap saja lahirnya perppu ini seperti sebuah revolusi yang hadir begitu cepat, tiba-tiba, dan semua hanya dapat mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Apa sebenarnya konteks, maksud, dan isi perppu, serta langkah strategis yang harus diambil DPR dan pemerintah?
Seharusnya tidak sekarang, kita belum siap! Ucapan ini kerap kita dengar saat ide keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan diwacanakan beberapa tahun silam. Sejatinya kita tak akan pernah siap karena telah berada di zona nyaman yang amat nikmat. Rezim kerahasiaan (secrecy) telah bertahun-tahun mewarnai kehidupan kita dan berlindung di balik klaim penghormatan hak milik pribadi (privacy). Berbagai alasan yang disodorkan pun benar belaka: ketidaksiapan regulasi dan infrastruktur, mentalitas aparatur negara yang rawan penyimpangan, pelarian uang ke luar negeri, mengurangi daya saing investasi. Namun, dari perjalanan politik bangsa ini kita melihat, bahkan ide sepenting dan semendesak nomor identitas tunggal pun segera dibelokkan menjadi proyek KTP-el yang cacat dan menjadi bancakan menjijikkan.
Data amnesti pajak mengonfirmasi kemendesakan itu. Tak kurang Rp 2.900 triliun aset keuangan dideklarasikan selama program berlangsung, mencapai 56 persen dari total deklarasi harta, dan Rp 2.100 triliun di antaranya ditempatkan di dalam negeri. Ini mengonfirmasi stagnasi rasio pajak dan rendahnya pencapaian target penerimaan, yakni keterbatasan akses Ditjen Pajak ke data/informasi keuangan. Alih-alih menangkal praktik penghindaran pajak dengan mengejar data/informasi harta di luar negeri, yang di depan mata saja tak dapat dijangkau/disentuh. Hingga saat ini, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur akses data melalui permintaan (by request) dan hanya mencakup tujuan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Justru di sini letak persoalannya, ketiadaan data awal akurat membuat pemeriksaan pajak tak efektif dan rawan menimbulkan sengketa yang berliku tanpa ujung. Efektivitas pemungutan pajak harus ditopang strategi mengawinkan identitas (siapa) dengan aktivitas (melakukan dan memiliki apa).
Angin segar berembus saat negara-negara yang tergabung dalam OECD berketetapan hati mengejar pelaku aggressive tax avoidance yang modusnya kian canggih dan jangkauannya melampaui batas-batas negara. Pada 2013, Base Erosion and Profit Shifting Action Plan, salah satunya tentang pertukaran informasi keuangan otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI), mulai dirintis dan kini berbuah. Indonesia, bersama ratusan negara lain, sepakat berpartisipasi dalam inisiatif global ini. Tentu kita pun harus tunduk pada standar yang telah ditetapkan agar sepenuhnya masuk kategori patuh (compliant), salah satunya meniadakan aturan kerahasiaan untuk kepentingan perpajakan. Perppu lahir dalam kemendesakan itu karena kita harus memenuhi tenggat 30 Juni 2017 agar tak dianggap cedera janji/dicap tak kooperatif.
Isi perppu dan tindak lanjut
Dalam konteks di atas, perppu ini memenuhi persyaratan dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time. Kita menghadapi tuntutan komitmen di tingkat global dan kebutuhan peningkatan penerimaan pajak untuk pembangunan.
Perppu ini setidaknya mengatur (i) kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik) dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan, (ii) Lembaga jasa keuangan–meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain yang dikategorikan lembaga keuangan–melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara berkala wajib menyampaikan laporan berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait rekening keuangan, (iii) perlindungan hukum bagi pejabat maupun para pihak yang melaksanakan kewajiban, dan sanksi bagi lembaga jasa keuangan dan para pihak yang tak memenuhi kewajiban, (iv) pencabutan pasal-pasal kerahasiaan di UU KUP, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Perdagangan Berjangka Komoditi, dan UU Perbankan Syariah.
Tentu saja, perppu ini baru mengatur hal-hal normatif, khususnya kewenangan akses Ditjen Pajak terhadap informasi/data keuangan melalui peniadaan pasal-pasal kerahasiaan. Langkah strategis perlu segera diambil. Pertama, DPR perlu segera memberikan dukungan pada penuntasan reformasi perpajakan dengan mengesahkan perppu menjadi UU dan bersama pemerintah menyelesaikan revisi UU KUP dan UU Perbankan, termasuk segera menyetujui RUU Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, kewenangan yang besar dan tuntutan transparansi ini harus diimbangi akuntabilitas, yaitu perlindungan data nasabah/WP (confidentiality and data safeguard) dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition) dan pertanggungjawaban pemanfaatan data keuangan. Harus diakui, keragu-raguan publik terhadap integritas aparatur negara sangat beralasan sehingga perlu segera dibuat regulasi yang secara eksplisit mengatur perlindungan data, sistem administrasi yang transparan dan akuntabel dalam mengawasi pemanfaatan data, serta formulasi sanksi yang berat bagi pihak yang menyalahgunakan kewenangan.
Ketiga, Kementerian Keuangan segera menerbitkan aturan pelaksanaan yang memberi kepastian. Lalu, bersama-sama BI dan OJK segera melakukan sosialisasi yang masif dan menjangkau masyarakat luas agar kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi dan moneter tak terganggu. Di sisi lain, aturan ini menjadi peluang baru bagi pemerintah untuk menarik dana yang selama ini disimpan di luar negeri, atau dana di dalam negeri yang akan disalurkan di sektor produktif. Maka, reformasi sistem keuangan agar lebih kredibel, akuntabel, dan kompetitif melalui perbaikan skema insentif, kepastian hukum, penyederhanaan administrasi mutlak diperlukan.
Keempat, masyarakat–baik sebagai nasabah maupun WP–tak perlu khawatir berlebihan. Era keterbukaan ini fajar yang menyingsing dan menerangi seluruh belahan dunia. Maka, respons yang tepat bukan bersiasat untuk mempertahankan zona nyaman kerahasiaan (secrecy), melainkan ikut merawat perlindungan data pribadi (privacy). Kebijakan ini justru meneguhkan semangat pengampunan pajak. Jika WP selama sembilan bulan telah diberi kesempatan melaporkan harta yang belum diungkap dan diampuni, maka kini tak ada alasan dan cara lain, kecuali melakukan penegakan hukum yang adil.
Kunci pembuka
Dari sudut pandang stick and carrot, inisiatif ini merupakan keadilan dan fairness bagi para WP yang telah mengikuti program amnesti mau pembetulan SPT dengan jujur, dan sebaliknya menjadi disinsentif atau hukuman bagi mereka yang memilih tak jujur. Apalagi, mengiringi perppu ini Ditjen Pajak akan mengimplementasikan compliance risk management yang akan memanfaatkan informasi keuangan ini sebagai data awal untuk keperluan profiling kepatuhan WP. Bagi yang profilnya sudah sesuai akan termasuk klasifikasi patuh dan tanpa risiko, justru berhak mendapatkan layanan prima. Bagi yang tak patuh dan berisiko tinggi, ini akan menjadi petunjuk untuk pemeriksaan pajak dengan meminta pembukaan rekening ke OJK. Bukankah ini yang memenuhi rasa keadilan dan memberikan kelegaan?
Di balik semua ikhtiar ini, terselip satu prasyarat bahwa seluruh proses penting ini dipandu kepemimpinan yang baik. Pemerintah perlu segera membuat peta jalan reformasi perpajakan dan keuangan yang menyeluruh, terukur, dan terarah. Kepastian hukum, transparansi, administrasi yang sederhana, aparatur negara yang kompeten dan berintegritas–tidak boleh lagi menjadi barang mewah di negara ini. Maka, alih-alih berpuas diri, perppu ini baru kunci pembuka sebuah era baru yang keberhasilannya perlu dibuktikan dalam implementasi. Kita semua diundang untuk menjadi pemain di lapangan terbuka, bukan sekadar penonton yang bersorak di tepian, apalagi penumpang gelap yang mendompleng manfaat uang pajak yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Yustinus Prastowo,
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Jakarta (Kompas)
Bagi sebagian orang, terbitnya peraturan pemerintah pengganti UU (perppu) seperti petir di siang bolong yang mengagetkan. Sebagian lain dapat memaklumi karena ini sudah jauh hari diwacanakan. Namun, tetap saja lahirnya perppu ini seperti sebuah revolusi yang hadir begitu cepat, tiba-tiba, dan semua hanya dapat mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Apa sebenarnya konteks, maksud, dan isi perppu, serta langkah strategis yang harus diambil DPR dan pemerintah?
Seharusnya tidak sekarang, kita belum siap! Ucapan ini kerap kita dengar saat ide keterbukaan informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan diwacanakan beberapa tahun silam. Sejatinya kita tak akan pernah siap karena telah berada di zona nyaman yang amat nikmat. Rezim kerahasiaan (secrecy) telah bertahun-tahun mewarnai kehidupan kita dan berlindung di balik klaim penghormatan hak milik pribadi (privacy). Berbagai alasan yang disodorkan pun benar belaka: ketidaksiapan regulasi dan infrastruktur, mentalitas aparatur negara yang rawan penyimpangan, pelarian uang ke luar negeri, mengurangi daya saing investasi. Namun, dari perjalanan politik bangsa ini kita melihat, bahkan ide sepenting dan semendesak nomor identitas tunggal pun segera dibelokkan menjadi proyek KTP-el yang cacat dan menjadi bancakan menjijikkan.
Data amnesti pajak mengonfirmasi kemendesakan itu. Tak kurang Rp 2.900 triliun aset keuangan dideklarasikan selama program berlangsung, mencapai 56 persen dari total deklarasi harta, dan Rp 2.100 triliun di antaranya ditempatkan di dalam negeri. Ini mengonfirmasi stagnasi rasio pajak dan rendahnya pencapaian target penerimaan, yakni keterbatasan akses Ditjen Pajak ke data/informasi keuangan. Alih-alih menangkal praktik penghindaran pajak dengan mengejar data/informasi harta di luar negeri, yang di depan mata saja tak dapat dijangkau/disentuh. Hingga saat ini, UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) mengatur akses data melalui permintaan (by request) dan hanya mencakup tujuan pemeriksaan, penyidikan, dan penagihan pajak. Justru di sini letak persoalannya, ketiadaan data awal akurat membuat pemeriksaan pajak tak efektif dan rawan menimbulkan sengketa yang berliku tanpa ujung. Efektivitas pemungutan pajak harus ditopang strategi mengawinkan identitas (siapa) dengan aktivitas (melakukan dan memiliki apa).
Angin segar berembus saat negara-negara yang tergabung dalam OECD berketetapan hati mengejar pelaku aggressive tax avoidance yang modusnya kian canggih dan jangkauannya melampaui batas-batas negara. Pada 2013, Base Erosion and Profit Shifting Action Plan, salah satunya tentang pertukaran informasi keuangan otomatis (Automatic Exchange of Information/AEOI), mulai dirintis dan kini berbuah. Indonesia, bersama ratusan negara lain, sepakat berpartisipasi dalam inisiatif global ini. Tentu kita pun harus tunduk pada standar yang telah ditetapkan agar sepenuhnya masuk kategori patuh (compliant), salah satunya meniadakan aturan kerahasiaan untuk kepentingan perpajakan. Perppu lahir dalam kemendesakan itu karena kita harus memenuhi tenggat 30 Juni 2017 agar tak dianggap cedera janji/dicap tak kooperatif.
Isi perppu dan tindak lanjut
Dalam konteks di atas, perppu ini memenuhi persyaratan dangerous threat, reasonable necessity, dan limited time. Kita menghadapi tuntutan komitmen di tingkat global dan kebutuhan peningkatan penerimaan pajak untuk pembangunan.
Perppu ini setidaknya mengatur (i) kewenangan Ditjen Pajak mendapatkan akses untuk menerima dan memperoleh informasi keuangan dalam rangka pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan (kebutuhan domestik) dan pelaksanaan perjanjian internasional di bidang perpajakan, (ii) Lembaga jasa keuangan–meliputi perbankan, pasar modal, perasuransian, lembaga jasa keuangan/entitas lain yang dikategorikan lembaga keuangan–melalui Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara berkala wajib menyampaikan laporan berisi identitas pemegang rekening keuangan, nomor rekening keuangan, identitas lembaga jasa keuangan, saldo atau nilai rekening keuangan, dan penghasilan yang terkait rekening keuangan, (iii) perlindungan hukum bagi pejabat maupun para pihak yang melaksanakan kewajiban, dan sanksi bagi lembaga jasa keuangan dan para pihak yang tak memenuhi kewajiban, (iv) pencabutan pasal-pasal kerahasiaan di UU KUP, UU Perbankan, UU Pasar Modal, UU Perdagangan Berjangka Komoditi, dan UU Perbankan Syariah.
Tentu saja, perppu ini baru mengatur hal-hal normatif, khususnya kewenangan akses Ditjen Pajak terhadap informasi/data keuangan melalui peniadaan pasal-pasal kerahasiaan. Langkah strategis perlu segera diambil. Pertama, DPR perlu segera memberikan dukungan pada penuntasan reformasi perpajakan dengan mengesahkan perppu menjadi UU dan bersama pemerintah menyelesaikan revisi UU KUP dan UU Perbankan, termasuk segera menyetujui RUU Perlindungan Data Pribadi.
Kedua, kewenangan yang besar dan tuntutan transparansi ini harus diimbangi akuntabilitas, yaitu perlindungan data nasabah/WP (confidentiality and data safeguard) dari penyalahgunaan di luar kepentingan perpajakan (fishing expedition) dan pertanggungjawaban pemanfaatan data keuangan. Harus diakui, keragu-raguan publik terhadap integritas aparatur negara sangat beralasan sehingga perlu segera dibuat regulasi yang secara eksplisit mengatur perlindungan data, sistem administrasi yang transparan dan akuntabel dalam mengawasi pemanfaatan data, serta formulasi sanksi yang berat bagi pihak yang menyalahgunakan kewenangan.
Ketiga, Kementerian Keuangan segera menerbitkan aturan pelaksanaan yang memberi kepastian. Lalu, bersama-sama BI dan OJK segera melakukan sosialisasi yang masif dan menjangkau masyarakat luas agar kepercayaan publik dan stabilitas ekonomi dan moneter tak terganggu. Di sisi lain, aturan ini menjadi peluang baru bagi pemerintah untuk menarik dana yang selama ini disimpan di luar negeri, atau dana di dalam negeri yang akan disalurkan di sektor produktif. Maka, reformasi sistem keuangan agar lebih kredibel, akuntabel, dan kompetitif melalui perbaikan skema insentif, kepastian hukum, penyederhanaan administrasi mutlak diperlukan.
Keempat, masyarakat–baik sebagai nasabah maupun WP–tak perlu khawatir berlebihan. Era keterbukaan ini fajar yang menyingsing dan menerangi seluruh belahan dunia. Maka, respons yang tepat bukan bersiasat untuk mempertahankan zona nyaman kerahasiaan (secrecy), melainkan ikut merawat perlindungan data pribadi (privacy). Kebijakan ini justru meneguhkan semangat pengampunan pajak. Jika WP selama sembilan bulan telah diberi kesempatan melaporkan harta yang belum diungkap dan diampuni, maka kini tak ada alasan dan cara lain, kecuali melakukan penegakan hukum yang adil.
Kunci pembuka
Dari sudut pandang stick and carrot, inisiatif ini merupakan keadilan dan fairness bagi para WP yang telah mengikuti program amnesti mau pembetulan SPT dengan jujur, dan sebaliknya menjadi disinsentif atau hukuman bagi mereka yang memilih tak jujur. Apalagi, mengiringi perppu ini Ditjen Pajak akan mengimplementasikan compliance risk management yang akan memanfaatkan informasi keuangan ini sebagai data awal untuk keperluan profiling kepatuhan WP. Bagi yang profilnya sudah sesuai akan termasuk klasifikasi patuh dan tanpa risiko, justru berhak mendapatkan layanan prima. Bagi yang tak patuh dan berisiko tinggi, ini akan menjadi petunjuk untuk pemeriksaan pajak dengan meminta pembukaan rekening ke OJK. Bukankah ini yang memenuhi rasa keadilan dan memberikan kelegaan?
Di balik semua ikhtiar ini, terselip satu prasyarat bahwa seluruh proses penting ini dipandu kepemimpinan yang baik. Pemerintah perlu segera membuat peta jalan reformasi perpajakan dan keuangan yang menyeluruh, terukur, dan terarah. Kepastian hukum, transparansi, administrasi yang sederhana, aparatur negara yang kompeten dan berintegritas–tidak boleh lagi menjadi barang mewah di negara ini. Maka, alih-alih berpuas diri, perppu ini baru kunci pembuka sebuah era baru yang keberhasilannya perlu dibuktikan dalam implementasi. Kita semua diundang untuk menjadi pemain di lapangan terbuka, bukan sekadar penonton yang bersorak di tepian, apalagi penumpang gelap yang mendompleng manfaat uang pajak yang diperuntukkan bagi kesejahteraan rakyat.
Yustinus Prastowo,
Direktur Eksekutif CITA (Center for Indonesia Taxation Analysis) Jakarta (Kompas)
Demikianlah Artikel Perppu dan Era Baru Perpajakan
Sekianlah artikel
Perppu dan Era Baru Perpajakan
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Perppu dan Era Baru Perpajakan dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2017/06/perppu-dan-era-baru-perpajakan.html
0 Response to " Perppu dan Era Baru Perpajakan "
Posting Komentar