Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 Manajemen Modal Kerja | Magister Akuntansi

Labels

Manajemen Modal Kerja

Manajemen Modal Kerja - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul Manajemen Modal Kerja , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Manajemen Keuangan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : Manajemen Modal Kerja
link : Manajemen Modal Kerja

Baca juga


Manajemen Modal Kerja

Manajemen Modal Kerja biasanya dimaksudkan sebagai pengaturan aktiva lancar yaitu berupa kas dan efek, piutang dan persediaan, serta pengaturan utang lancar (utang jangka pendek) 

1. Pengelolaan Kas dan Efek
Tujuan dasar pengelolaan kas adalah untuk meminimumkan saldo kas dengan tetap memperhatikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya. Oleh karena itu bahasan pengelolaan kas dibagi menjadi tiga yaitu :
1         Menentukan saldo kas yang memadai
2         Pengumpulan dan pembayaran kas secara efisien
3         Menginvestasikan kelebihan kas dalam efek.


Motif memiliki kas
John Maynard Keyness menyatakan bahwa ada tiga motif untuk memiliki kas yaitu : 
  1. Motif transaksi, berarti perusahaan menyediakan kas untuk membayar berbagai transaksi bisnisnya.
  2. Motif berjaga-jaga, dimaksudkan untuk mempertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas yang sifatnya tidak terduga
  3. Motif spekulasi, dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari memiliki atau menginvestasikan kas dalam bentuk investasi yang sangat likuid.

Penentuan target saldo kas
Model Baumol
Baumol  mengidentifikasikan bahwa kebutuhan akan kas dalam suatu perusahaan mirip dengan pemakaian persediaan, misal

Jumlah persediaan yang dibutuhkan (D), setiap kali pesan (Q) satuan, jadi :
Frekuensi pesanan dalam satu tahun   = D/Q

Persediaan yang dimiliki oleh perusahaan akan berkisar dari 0 sampai dengan Q satuan, jadi:
Rata-rata persediaan  =  (Q/2) satuan

Kalau biaya simpan persatuan dinyatakan sebagai  i, maka
Biaya  simpan per tahun = (Q/2) i

Kalau setiap kali memesan memerlukan biaya sebesar o, maka:
Biaya pemesanan dalam satu tahun  = (D/Q)o

Dengan demikian total biaya persediaan dalam satu tahun (Y) adalah,
                                        Y  = (Q/2)i + (D/Q)o

Biaya ini yang harus diminimumkan, dengan menentukan Q yang paling ekonomis.
                                        Q =   V 2oD/i

Pemikiran yang sama dapat diterapkan untuk pengelolaan kas. Apabila pada awal suatu periode  jumlah kas = Q, maka sedikit demi sedikit saldo kas akan mencapai nol, perusahaan perlu merubah aktiva lain (sekuritas) menjadi kas sebesar Q. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah berapa jumlah sekuritas yang harus diubah menjadi kas setiap kali diperlukan yang akan meminimumkan biaya karena memiliki kas, dan biaya karena mengubah sekuritas menjadi kas.

Misal kebutuhan kas setiap tahun adalah Rp 1.200 juta, dan pemakiannya per hari konstan. Biaya transaksi setiap kali mengubah sekuritas menjadi kas adalah Rp 50.000. Tingkat bunga yang diperoleh karena memiliki sekuritas adalah 12% per tahun.

Q =V 2(50.000)(1.200 juta)/0,12  = 31,623 juta.

Ini berati bahwa perusahaan perlu menjual sekuritas senilai Rp 31.623 juta setiap kali saldo kasnya mencapai nol. Dengan cara tersebut perusahaan akan meminimumkan biaya karena kehilangan kesempatan untuk menanamkan dana pada sekuritas dan biaya transaksi. Biaya-biaya tersebut adalah :

Biaya kehilangan kesempatan =
 (Rp 31.623 juta/2  x  0,12                 = Rp 1.897 juta
Biaya transaksi                        =
(Rp 1.200/31.623) x Rp 50.000 = Rp 1.897 juta

Total Biaya                                             Rp 3.794 juta      

Perhatikan bahwa pada biaya minimum, biaya simpan sama dengan biaya pemesanan.

Keterbatasan model Buamol
  1. Model tersebut mengasumsikan penggunaan kas yang konstan setiap periodenya.
  2. Model tersebut mengasumsikan bahwa selama interval waktu tidak terdapat adanya kas masuk.
  3. Tidak mempertimbangkan kemungkinan disediakannya persediaan untuk keamanan.

Model Miller dan Orr.

Bagaimana kalau penggunaan kas per harinya tidak konstan ? Miller dan Orr merumuskan model sebagai berikut :

Dalam keadaan penggunaan dan pemasukan kas perusahaan perlu menetapkan batas atas dan batas bawah saldo kas. Apabila saldo kas mencapai batas atas, perusahaan perlu merubah sejumlah tertentu jumlah kas, agar saldo kas kembali ke jumlah yang diinginkan. Sebaliknya apabila saldo kas menurun dan mencapai batas bawah, perusahaan perlu menjual sekuritas agar saldo kas naik kembali ke jumlah yang diinginkan.


Batas atas dalam gambar ditunjukan oleh garis h, dan batas bawah (diberi notasi L) oleh titik 0, jumlah kas yang diinginkan perusahaan (z).

        z  = {(3o/ 4i }+ L

Dalam hal ini o   =   biaya tetap untuk melakukan transaksi
                           =   variance arus kas masuk bersih harian (suatu ukuran penyebaran arus kas).
                       i    =   bunga harian untuk investasi.

Nilai h yang optimal adalah (3z – 2L). Rata-rata saldo kas tidak bisa ditentukan terlebih dahulu, tetapi kira-kira sebesar (4z – L)/3.

Misalkan o  = Rp 50.000,00
                   = (Rp 2,3 juta)
                i  =  12% per tahun, atau kira-kira (0,12/365)
                        per hari.

                Batas bawah ditentukan Rp 0

Dengan demikian maka,
z   = {(3o)/4i }+ L
=  { (3 x Rp 50.000 x Rp 2,3 juta)}/4(0,12/365) + Rp 0
=   Rp 8,45 juta
Nilai batas atas (h) adalah (3z – 2L) =
                                             3( Rp 8,45 juta) – 2 (Rp 0)
                                                       = Rp 25,35 juta

Nilai batas atas adalah Rp 25,35 juta. Pada saat saldo kas mencapai Rp 25,35 juta perusahaan harus mengubah Rp 16,90 juta menjadi sekuritas agar saldo kas kembali ke Rp 8,45 juta. Sebaliknya pada saat saldo kas mencapai Rp 0,00 perusahaan harus menjual sekuritas senilai Rp 8,45 juta.

Jumlah saldo kas rata-rata=
{4(Rp 8,45 juta)- (Rp 0)}/3 = Rp 11,27 juta

Apabila perusahaan menentukan batas bawah sebesar Rp 1 juta maka,
    z    = Rp 8,45 juta + Rp 1 juta
           =  Rp 9,45 juta
     h    = 3(Rp 9,45 juta – 2(Rp 1 juta)
           = Rp 26,35 juta

Saldo kas rata-rata  = { 4( Rp 9,45 juta) – Rp 1 juta} = Rp 12,27 juta.
Jumlah saldo kas rata-rata miningkat sebesar Rp 1 juta karena perusahaan menentukan saldo kas Rp 1 juta.

Sistem Pengumpulan dan Pembayaran Kas   
Ide dasar manajemen kas adalah mempercepat pengumpulan (dan memanfaatkan) kas dan memperlambat pengeluaran kas. Dengan pembayaran transaksi menggunakan cek, tidak segera mengurangi saldo kas di bank sehingga timbul float (selisih saldo menurut catatan bank dengan saldo sebenarnya).

Portofolio Investasi.
Akhirnya kelebihan kas dalam jangka pendek dapat pula diinvestasikan pada berbagai instrumen keuangan yang likuid, tetapi diharapkan akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada

Pengelolaan Piutang.
Piutang tercipta pada saat perusahaan melakukan penjualan secara kredit. Penjualan kredit dilakukan dalam upaya meningkatkan penjualan. Dengan penjualan yang semakin meningkat diharapkan laba juga semakin meningkat. Sayangnya memiliki piutang juga menimbulkan berbagai biaya bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan perlu melakukan analisis ekonomi tentang piutang. Tujuan analisis ekonomi tentang piutang untuk menilai apakah manfaat memiliki piutang lebih besar ataukah lebih kecil dari biayanya. Analisis tersebut merupakan salah satu bagian dari pengelolaan piutang (manajemen piutang). Masalah lain pengendalian piutang.  
       
Untuk mengendalikan piutang, perusahaan perlu menetapkan kebijaksanaan kredit, yang berfungsi sebagai standar. Apabila pelaksanaan penjualan kredit dan pengumpulan piutang tidak sesaui dengan standar, maka perusahaan melakukan perbaikan.

Analisis ekonomi terhadap piutang.
Setiap analisis ekonomi menyangkut perbandingan antara manfaat dan pengorbanan. Sejauh manfaat diharapkan lebih besar dari pengorbanan, suatu keputusan dibenarkan secara ekonomi.

Penjualan Kredit Tanpa Diskon.
Misal, suatu perusahaan semula melakukan penjualan secara tunai. Penjualan yang tercapai setiap tahun rata-rata sebesar Rp 800 juta. Perusahaan kemudian merencanakan akan menawarkan syarat penjualan n/60. Diperkirakan dengan syarata penjualan tersebut perusahaan akan bias meningkatkan penjualan sampai dengan Rp 1.050 juta. Profit margin yang diperoleh 15%. Apakah perusahaan perlu beralih ke penjualan kredit. Diketahui pula bahwa biaya dana sebesar 16%.

Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai.

Manfaat :
Tambahan laba karena tambahan penjualan 

(Rp 1.050 juta – Rp 800 juta) x 15%              = Rp 37,50 juta

Pengorbanan:

Perputaran piutang  360/60 =  6 kali/tahun
Rata-rata piutang  Rp 1.050 juta/6= Rp 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang :
   0,85 x  Rp 175 juta = Rp 148,75 juta.

Biaya dana yang harus ditanggung
  16% x Rp 148,75 juta                          = Rp 23,80juta                                                                       
Tambahan manfaat bersih                        Rp 13,70 juta   

Analisis tersebut menunjukan bahwa manfaat lebih besar dari pengorbanan, ini berarti bahwa rencana untuk menjual secara kredit diharapkan memberikan hasil yang menguntungkan.                                                       

Menjual secara kredit dengan diskon
 Sering perusahaan mengintrodusir diskon dengan maksud agar para pembeli mempercepat pembayaran mereka, dengan demikian dapat ditekan keperluan dana karena adanya piutang. Misal perusahaan menawarkan syarat penjualan 2/20; n/60. Ini berarti bahwa kalau pembeli melunasi pembeliannya pada hari ke 20 atau sebelumnya mereka akan memperoleh diskon 2%. Tetapi kalau lebih dari hari ke 20 harus membayar dengan harga penuh. Diperkirakan 50% akan memanfaatkan diskon dan sisanya membayar pada hari ke 60. Apakah perusahaan sebaiknya mengintrodusir diskon atau menjual kredit tanpa diskon ?

Analisis penjualan kredit dengan diskon dibandingkan dengan tanpa diskon
Manfaat  :
Rata-rata periode pembayaran piutang 0,5 (20) + 0,5 (60)= 40h                                
Perputaran piutang  360/40  = 8 kali                                                                                 
Rata-rata piutang Rp 1.050 juta/8                 =   Rp 131,25 juta

Dana untuk membiayai piutang
     0,85 x Rp 131,25                                     =    Rp 111,56 juta
Penurunan biaya dana ( Rp 131,25 juta – Rp 111,56 juta) 16% =
                                                             (a)          Rp     3,15 juta   
Pengorbanan :
Diskon yang diberikan 2% x 50% x Rp 1.050 juta
                                                              (b)          Rp  10,50 juta              
Manfaat bersih (a) – (b)                                       Rp ( 7,35 juta )                                                                               
Analisis tersebut menunjukan bahwa diskon yang diberikan lebih besar dari pada penghematan biaya. Dengan demikian rencana pemberian diskon tidak menguntungkan.

Penjualan Kredit Dengan Kemungkinan Piutang Tidak Dapat Ditagih.
Misal dari penjualan dengan syarat n/60 seperti contoh diatas, diperkirakan 1% tidak dibayar. Apakah perusahaan sebaiknya menjual secara kredit ataukah tetap tunai ?
Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai dengan memperhatikan kemungkinan piutang tidak tertagih.    

Manfaat :
Tamb keuntungan karena tambahan penjualan,
(Rp 1.050 juta – Rp 800 juta) x 15%               =   Rp  37,50 juta                                                         

Pengorbanan :
Perputaran  piutang   360 hari/60 hari = 6 x
Rata-rata piutang Rp 1.050 jt/6 = Rp 175 jt
Dana u/ mebiayai piut 0,85 x Rp 175 juta = Rp 148,75 jt
Biaya dana piutang 0,16 x Rp 148,75 jt      = Rp 23,80 jt
Rugi krn piutang tdk dibayar :
1% x Rp 1.050 jt         = Rp 10,50 jt 
Total tambahan biaya                                                   Rp 34,30 juta
Tambahan manfaat bersih                                            Rp   3,20 juta                                    

Analisis tersebut menunjukan bahwa dengan mempertimbangkan kemungkinan piutang tidak dibayar, penjualan kredit diharapkan masih menguntungkan apabila dibandingkan dengan penjualan tunai

Macetnya piutang disebabkan :
  1. Pemberian kredit tidak dilakukan secara ketat sesuai dengan standar kredit. Standar kredit menunjukan siapa yang diizinkan membeli secara kredit.
  2. Kegiatan bagian kredit tidak baik. 

 Kemacetan piutang akan menambah biaya dana untuk piutang. Mis : Menurut standar pengumpulan piutang seharusnya Rp 3.000 juta bukannya Rp 2.000 juta Apabila profit margin sebesar 10%, maka perusahaan memerlukan tambahan dana (karena keterlambatan pengumpulan piutang ) sebesar 90% x (Rp 3.000 jt – Rp 2.000 jt) = Rp 9.00 jt. Apabila biaya dana 15% maka kerugian karena tertundanya pengumpulan piutang 0,15 xRp 900 jt.

Karena itu apabila perusahaan daoat mempercepat pengumpulan piutang misalnya dengan menambah jumlah karyawan bagian penagihan dan memelukan biaya kurang dari Rp 135 jt dalam satu tahun, maka penambahan karyawan dapat dibenarkan.

Analisis terhadap Calon Pembeli.
Permohonan pembelian kredit dikabulkan bila expected profit >0

Expected profit =prob akan membayar – prob tidak membayar

Mis, seorang pembeli akan membeli secara kredit dengan harga Rp 100 jt. Harga Pokok barang Rp 80 jt, dan diperkirakan probabilitas pembeli tersebut akan melunasi pembeliannya adalah 0,95. Apakah permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan ?
Expected profit =
   prob akan membayar – prob tidak membayar
    = 0,95 (Rp 100 jt – 80 jt) – 0,05 ( Rp 80 jt)
    = 19 – 4
    = 15

Karena expected profit > 0 maka permohonan tersebut dikabulkan.
Cara menentukan Probabilitas pembeli
0 = p(100jt – 80jt) – (1 – p)(80jt)
   = 20p – 80 + 80p
p = 0,80

Apabila probilitas pembeli akan membayar masih diatas 80%, maka permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan.

Dasar pemikiran yang sama dapat diterapkan untuk persoalan berikut. Mis, data historis menunjukan bahwa kelompok pembeli yang “baik” mempunyai rata-rata periode pengumpulan piutang 30 hari. Rata-rata biaya pengumpulan Rp 100 dan probabilitas tidak terbayar  2%. Biaya variabel (biaya marginal) Rp 1.800 dan laba marginal (tambahan laba yang diperoleh dari setiap tambahan satu unit penjualan) Rp 1.200, tingkat keuntungan yang disyaratkan 18%. 
Permohonan pembelian kredit dikabulkan kalau biaya penerimaan lebih kecil daripada biaya penolakan.

Biaya Penerimaan = Prob tdk membayar ( biaya variabel  unit yang dibeli) + tingkat keuntungan yang disyaratkan(periode pengumpulan/360)(biaya variabel unit yang dibeli)+biaya pengumpulan.

Biaya Penolakan = (1 – Prob tdk dibayar)(laba marginal unit yang dibeli)

Apabila X adalah unit yang dibeli maka untuk kelompok baik biaya penerimaan dan penolakan yang diharapkan adalah :

Biaya Penerimaan = 0,02(1.800X)+0,18(30/360)1800X+100
                             = 36X + 27X + 100
                             = 63X + 100

Biaya Penolakan  = (1 – 0,02)1.200X
                             = 1.176X
Apabila X membeli 3.000 unit maka,

Biaya Penerimaan  = 63(3.000) + 100
                              = Rp 189.100

Biaya penolakan     = 1.176 (3.000)
                               = Rp 3.528.000

Analisis tersebut menunjukan biaya penerimaan lebih kecil dari biaya penolakan, maka permohonan pembelian dikabulkan.

Dari analisis diatas, semakin lama jangka waktu pelunasan kredit semakin besar  dana yang diperlukan untuk membiayainya.

Apabila perusahaan menentukan term of sales yaitu 2/20; net 60%, maka tidak seharusnya perusahaan mempunyai average collection period  (ACP) lebih dari 60 hari.

Apabila diperkirakan 80% pembeli akan memanfaat diskon dan 20% tidak, maka
Avarage collection periodnya =0,8 x 20 hari + 0,2 x 60 hari = 28 hari

ACP juga dapat dihitung dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan. Mis Dalam Laporan Rugi Laba diketahui  Penjualan dalam satu tahun Rp 36 milyar, maka rata-rata penjualan per hari

    Rp 36 milyar/360  = Rp 100 juta

Dari Neraca diketahui saldo Piutang Dagang Rp2,9 milyar, maka
ACP = Piutang/Penjualan per hari
             Rp 2,9 milyar/ Rp 100 juta = 29 hari

Persediaan yang besar akan menimbulkan keluwesan yang lebih besar bagi perusahaan, tetapi akan menimbulkan biaya yang besar pula

Sebaliknya persediaan yang kecil akan menghemat biaya, tetapi dapat menimbulkan gangguan produksi dan penjualan. Karena itu muncul konsep “persediaan hanya apabila diperlukan”. Jadi harus dapat ditentukan biaya persediaan yang optimal

Economic Order Quantity
Model ini mendasarkan pada pemikiran bahwa :
  1. Kalau rata-rata persediaan besar maka biaya penyimpanan tinggi, tetapi perusahaan tidak perlu melakukan pemesanan yang terlalu sering sehingga dapat menghemat biaya pemesanan
  2. Kalau rata-rata persediaan kecil biaya penyimpanan rendah dan biaya pemesanan cukup tinggi. Jadi harus kita tentukan biaya persediaan yang paling ekonomis 


Model yang digunakan untuk menetapkan jumlah persediaan yang ekonomis adalah sbb :


Dalam hal ini :
Q = Jumlah pemesanan yang ekonomis
 i  = Biaya simpan per satuan per tahun
 o = Biaya pesan setiap kali pemesanan
 D= Kebutuhan bahan baku dalam satu tahun

 Mis, Kebutuhan bahan baku dalam satu tahun 3.600 unit dengan harga Rp 50.000,- harga Rp 50.000,- unit. Kebiasaan perusahaan melakukan pembelian setiap bulan sekali, biaya simpan (biaya modal) berkisar 18% per tahun, biaya setiap kali memesan Rp 200.000,-. Berdasarkan kebiasaan tersebut , maka baiay persediaan adalah :

    Jml  yg dipesan per bulan =  3.600unit/12 = 300 unit
    N rata-rata persed     300xRp 50.000/2   = Rp 7,50 jt
                                                                        ========
    Biaya simpan/th   Rp 7,50 jt x 0,18         = Rp 1,35 jt
    Biaya pesan/th      Rp 200.000 x 12         = Rp 2,40 jt 
    Total Biaya Persediaan                               Rp 3,75 jt

Dengan menerapkan model EOQ, perusahaan akan dapat menekan biaya persediaan


 =  400 unit

Maka,
Biaya pesan = (3.600/400) x Rp 200.000 = Rp 1,80 jt
Biaya simp ={(400xRp 50.000)/2} x 0,18= Rp 1,80 jt
Total Biaya Persediaan                                 Rp 3,60 jt

Perusahaan dapat menghemat biaya = (Rp 3,75 jt – Rp 3,60 jt ) = Rp 150.000,-

Apabila waktu yang diperlukan sejak saat bahan dipesan sampai dengan bahan sampai di perusahaan adalah setengah bulan disebut lead time, maka perusahaan harus memesan pada saat bahan baku mencapai D/24. Tingkat persediaan ini disebut sebagai titik pemesanan kembali (reorder point).
 
Reorder point = 3.600 unit/24 = 150 unit




Demikianlah Artikel Manajemen Modal Kerja

Sekianlah artikel Manajemen Modal Kerja kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel Manajemen Modal Kerja dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/09/manajemen-modal-kerja.html

0 Response to " Manajemen Modal Kerja "