Judul : Manajemen Modal Kerja
link : Manajemen Modal Kerja
Manajemen Modal Kerja
Manajemen Modal Kerja biasanya dimaksudkan sebagai pengaturan aktiva
lancar yaitu berupa kas dan efek, piutang dan persediaan, serta pengaturan
utang lancar (utang jangka pendek)
1. Pengelolaan Kas dan Efek
Tujuan dasar pengelolaan kas adalah untuk meminimumkan saldo kas dengan
tetap memperhatikan kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban keuangannya.
Oleh karena itu bahasan pengelolaan kas dibagi menjadi tiga yaitu :
1
Menentukan saldo kas yang memadai
2
Pengumpulan
dan pembayaran kas secara efisien
3
Menginvestasikan
kelebihan kas dalam efek.
Motif memiliki kas
John Maynard Keyness menyatakan bahwa ada tiga motif untuk memiliki kas
yaitu :
- Motif transaksi, berarti perusahaan menyediakan kas untuk membayar berbagai transaksi bisnisnya.
- Motif berjaga-jaga, dimaksudkan untuk mempertahankan saldo kas guna memenuhi permintaan kas yang sifatnya tidak terduga
- Motif spekulasi, dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan dari memiliki atau menginvestasikan kas dalam bentuk investasi yang sangat likuid.
Penentuan target saldo kas
Model Baumol
Baumol mengidentifikasikan bahwa
kebutuhan akan kas dalam suatu perusahaan mirip dengan pemakaian persediaan,
misal
Jumlah persediaan yang dibutuhkan (D), setiap kali pesan (Q) satuan,
jadi :
Frekuensi pesanan dalam satu tahun
= D/Q
Persediaan yang dimiliki oleh perusahaan akan berkisar dari 0 sampai
dengan Q satuan, jadi:
Rata-rata persediaan = (Q/2) satuan
Kalau biaya simpan persatuan dinyatakan sebagai i, maka
Biaya simpan per tahun = (Q/2) i
Kalau setiap kali memesan memerlukan biaya sebesar o, maka:
Biaya pemesanan dalam satu tahun
= (D/Q)o
Dengan demikian total biaya persediaan dalam satu tahun (Y) adalah,
Y = (Q/2)i + (D/Q)o
Biaya ini yang harus
diminimumkan, dengan menentukan Q yang paling ekonomis.
Q
= V 2oD/i
Pemikiran yang sama dapat
diterapkan untuk pengelolaan kas. Apabila pada awal suatu periode jumlah kas = Q, maka sedikit demi sedikit
saldo kas akan mencapai nol, perusahaan perlu merubah aktiva lain (sekuritas)
menjadi kas sebesar Q. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah berapa jumlah
sekuritas yang harus diubah menjadi kas setiap kali diperlukan yang akan
meminimumkan biaya karena memiliki kas, dan biaya karena mengubah sekuritas
menjadi kas.
Misal kebutuhan kas setiap
tahun adalah Rp 1.200 juta, dan pemakiannya per hari konstan. Biaya transaksi setiap
kali mengubah sekuritas menjadi kas adalah Rp 50.000. Tingkat bunga yang
diperoleh karena memiliki sekuritas adalah 12% per tahun.
Q =V 2(50.000)(1.200 juta)/0,12 = 31,623 juta.
Ini berati bahwa perusahaan perlu menjual
sekuritas senilai Rp 31.623 juta setiap kali saldo kasnya mencapai nol. Dengan
cara tersebut perusahaan akan meminimumkan biaya karena kehilangan kesempatan
untuk menanamkan dana pada sekuritas dan biaya transaksi. Biaya-biaya tersebut
adalah :
Biaya kehilangan kesempatan =
(Rp 31.623
juta/2 x
0,12 = Rp 1.897
juta
Biaya
transaksi =
(Rp 1.200/31.623) x Rp 50.000 = Rp
1.897 juta
Total Biaya Rp
3.794 juta
Perhatikan bahwa
pada biaya minimum, biaya simpan sama dengan biaya pemesanan.
Keterbatasan model
Buamol
- Model tersebut mengasumsikan penggunaan kas yang konstan setiap periodenya.
- Model tersebut mengasumsikan bahwa selama interval waktu tidak terdapat adanya kas masuk.
- Tidak mempertimbangkan kemungkinan disediakannya persediaan untuk keamanan.
Model Miller dan Orr.
Bagaimana kalau penggunaan kas per harinya tidak
konstan ? Miller dan Orr merumuskan model sebagai berikut :
Dalam keadaan penggunaan dan pemasukan kas
perusahaan perlu menetapkan batas atas dan batas bawah saldo kas. Apabila saldo
kas mencapai batas atas, perusahaan perlu merubah sejumlah tertentu jumlah kas,
agar saldo kas kembali ke jumlah yang diinginkan. Sebaliknya apabila saldo kas
menurun dan mencapai batas bawah, perusahaan perlu menjual sekuritas agar saldo
kas naik kembali ke jumlah yang diinginkan.
Batas atas dalam gambar ditunjukan oleh garis h,
dan batas bawah (diberi notasi L) oleh titik 0, jumlah kas yang diinginkan
perusahaan (z).
z = {(3o/ 4i }+ L
Dalam hal ini o
= biaya tetap untuk melakukan
transaksi
= variance arus kas masuk bersih harian (suatu
ukuran penyebaran arus kas).
i =
bunga harian untuk investasi.
Nilai h yang
optimal adalah (3z – 2L). Rata-rata saldo kas tidak bisa ditentukan terlebih
dahulu, tetapi kira-kira sebesar (4z – L)/3.
Misalkan o
= Rp 50.000,00
= (Rp 2,3 juta)
i = 12%
per tahun, atau kira-kira (0,12/365)
per hari.
Batas bawah ditentukan Rp 0
Dengan demikian
maka,
z = {(3o)/4i }+ L
= { (3 x Rp 50.000 x Rp 2,3 juta)}/4(0,12/365)
+ Rp 0
= Rp 8,45
juta
Nilai batas atas
(h) adalah (3z – 2L) =
3(
Rp 8,45 juta) – 2 (Rp 0)
= Rp 25,35 juta
Nilai batas atas
adalah Rp 25,35 juta. Pada saat saldo kas mencapai Rp 25,35 juta perusahaan
harus mengubah Rp 16,90 juta menjadi sekuritas agar saldo kas kembali ke Rp
8,45 juta. Sebaliknya pada saat saldo kas mencapai Rp 0,00 perusahaan harus
menjual sekuritas senilai Rp 8,45 juta.
Jumlah saldo kas
rata-rata=
{4(Rp 8,45 juta)-
(Rp 0)}/3 = Rp 11,27 juta
Apabila perusahaan
menentukan batas bawah sebesar Rp 1 juta maka,
z
= Rp 8,45 juta + Rp 1 juta
=
Rp 9,45 juta
h
= 3(Rp 9,45 juta – 2(Rp 1 juta)
= Rp 26,35 juta
Saldo kas
rata-rata = { 4( Rp 9,45 juta) – Rp 1
juta} = Rp 12,27 juta.
Jumlah saldo kas
rata-rata miningkat sebesar Rp 1 juta karena perusahaan menentukan saldo kas Rp
1 juta.
Sistem Pengumpulan dan Pembayaran Kas
Ide dasar manajemen kas
adalah mempercepat pengumpulan (dan memanfaatkan) kas dan memperlambat
pengeluaran kas. Dengan pembayaran transaksi menggunakan cek, tidak segera
mengurangi saldo kas di bank sehingga timbul float (selisih saldo menurut
catatan bank dengan saldo sebenarnya).
Portofolio Investasi.
Akhirnya kelebihan kas dalam
jangka pendek dapat pula diinvestasikan pada berbagai instrumen keuangan yang
likuid, tetapi diharapkan akan memberikan keuntungan yang lebih besar dari pada
Pengelolaan Piutang.
Piutang tercipta pada saat
perusahaan melakukan penjualan secara kredit. Penjualan kredit dilakukan dalam
upaya meningkatkan penjualan. Dengan penjualan yang semakin meningkat
diharapkan laba juga semakin meningkat. Sayangnya memiliki piutang juga menimbulkan
berbagai biaya bagi perusahaan. Untuk itu perusahaan perlu melakukan analisis
ekonomi tentang piutang. Tujuan analisis ekonomi tentang piutang untuk menilai
apakah manfaat memiliki piutang lebih besar ataukah lebih kecil dari biayanya.
Analisis tersebut merupakan salah satu bagian dari pengelolaan piutang
(manajemen piutang). Masalah lain pengendalian piutang.
Untuk mengendalikan piutang,
perusahaan perlu menetapkan kebijaksanaan kredit, yang berfungsi sebagai
standar. Apabila pelaksanaan penjualan kredit dan pengumpulan piutang tidak
sesaui dengan standar, maka perusahaan melakukan perbaikan.
Analisis ekonomi terhadap piutang.
Setiap analisis ekonomi
menyangkut perbandingan antara manfaat dan pengorbanan. Sejauh manfaat
diharapkan lebih besar dari pengorbanan, suatu keputusan dibenarkan secara
ekonomi.
Penjualan Kredit Tanpa Diskon.
Misal, suatu perusahaan semula melakukan penjualan secara tunai.
Penjualan yang tercapai setiap tahun rata-rata sebesar Rp 800 juta. Perusahaan
kemudian merencanakan akan menawarkan syarat penjualan n/60. Diperkirakan
dengan syarata penjualan tersebut perusahaan akan bias meningkatkan penjualan
sampai dengan Rp 1.050 juta. Profit margin yang diperoleh 15%. Apakah perusahaan
perlu beralih ke penjualan kredit. Diketahui pula bahwa biaya dana sebesar 16%.
Analisis penjualan
kredit tanpa diskon dengan penjualan tunai.
Manfaat :
Tambahan laba
karena tambahan penjualan
(Rp 1.050 juta – Rp 800 juta) x 15% = Rp 37,50 juta
Pengorbanan:
Perputaran piutang 360/60 =
6 kali/tahun
Rata-rata piutang Rp 1.050 juta/6= Rp 175 juta
Dana yang diperlukan untuk membiayai piutang
:
0,85 x
Rp 175 juta = Rp 148,75 juta.
Biaya dana yang harus ditanggung
16% x Rp 148,75 juta = Rp
23,80juta
Tambahan manfaat bersih Rp 13,70
juta
Analisis tersebut menunjukan
bahwa manfaat lebih besar dari pengorbanan, ini berarti bahwa rencana untuk
menjual secara kredit diharapkan memberikan hasil yang menguntungkan.
Menjual secara
kredit dengan diskon
Analisis penjualan kredit dengan diskon
dibandingkan dengan tanpa diskon
Manfaat :
Rata-rata periode
pembayaran piutang 0,5 (20) + 0,5 (60)= 40h
Perputaran
piutang 360/40 = 8 kali
Rata-rata piutang
Rp 1.050 juta/8 = Rp 131,25 juta
Dana untuk
membiayai piutang
0,85 x Rp 131,25 = Rp 111,56 juta
Penurunan biaya
dana ( Rp 131,25 juta – Rp 111,56 juta) 16% =
(a) Rp 3,15 juta
Pengorbanan :
Diskon yang diberikan 2% x 50% x Rp 1.050 juta
(b) Rp
10,50 juta
Manfaat bersih (a)
– (b)
Rp ( 7,35 juta )
Analisis tersebut menunjukan bahwa diskon yang
diberikan lebih besar dari pada penghematan biaya. Dengan demikian rencana
pemberian diskon tidak menguntungkan.
Penjualan Kredit Dengan Kemungkinan Piutang Tidak Dapat
Ditagih.
Misal dari penjualan dengan syarat n/60 seperti
contoh diatas, diperkirakan 1% tidak dibayar. Apakah perusahaan sebaiknya
menjual secara kredit ataukah tetap tunai ?
Analisis penjualan kredit tanpa diskon dengan
penjualan tunai dengan memperhatikan kemungkinan piutang tidak tertagih.
Manfaat :
Tamb keuntungan karena tambahan penjualan,
(Rp 1.050 juta – Rp 800 juta) x 15% = Rp
37,50 juta
Pengorbanan :
Perputaran piutang
360 hari/60 hari = 6 x
Rata-rata piutang
Rp 1.050 jt/6 = Rp 175 jt
Dana u/ mebiayai
piut 0,85 x Rp 175 juta = Rp 148,75 jt
Biaya dana piutang
0,16 x Rp 148,75 jt = Rp 23,80 jt
Rugi krn piutang
tdk dibayar :
1% x Rp 1.050
jt = Rp 10,50 jt
Total tambahan
biaya
Rp 34,30 juta
Tambahan manfaat
bersih
Rp 3,20 juta
Analisis tersebut
menunjukan bahwa dengan mempertimbangkan kemungkinan piutang tidak dibayar,
penjualan kredit diharapkan masih menguntungkan apabila dibandingkan dengan
penjualan tunai
Macetnya piutang
disebabkan :
- Pemberian kredit tidak dilakukan secara ketat sesuai dengan standar kredit. Standar kredit menunjukan siapa yang diizinkan membeli secara kredit.
- Kegiatan bagian kredit tidak baik.
Karena itu apabila
perusahaan daoat mempercepat pengumpulan piutang misalnya dengan menambah
jumlah karyawan bagian penagihan dan memelukan biaya kurang dari Rp 135 jt
dalam satu tahun, maka penambahan karyawan dapat dibenarkan.
Analisis terhadap
Calon Pembeli.
Permohonan
pembelian kredit dikabulkan bila expected profit >0
Expected profit =prob akan membayar – prob tidak membayar
Mis, seorang
pembeli akan membeli secara kredit dengan harga Rp 100 jt. Harga Pokok barang
Rp 80 jt, dan diperkirakan probabilitas pembeli tersebut akan melunasi
pembeliannya adalah 0,95. Apakah permohonan tersebut sebaiknya dikabulkan ?
Expected profit =
prob akan membayar – prob tidak membayar
=
0,95 (Rp 100 jt – 80 jt) – 0,05 ( Rp 80 jt)
= 19 – 4
= 15
Karena expected
profit > 0 maka permohonan tersebut dikabulkan.
Cara menentukan
Probabilitas pembeli
0 = p(100jt – 80jt)
– (1 – p)(80jt)
= 20p – 80 + 80p
p = 0,80
Apabila probilitas
pembeli akan membayar masih diatas 80%, maka permohonan tersebut sebaiknya
dikabulkan.
Dasar pemikiran
yang sama dapat diterapkan untuk persoalan berikut. Mis, data historis
menunjukan bahwa kelompok pembeli yang “baik” mempunyai rata-rata periode
pengumpulan piutang 30 hari. Rata-rata biaya pengumpulan Rp 100 dan
probabilitas tidak terbayar 2%. Biaya
variabel (biaya marginal) Rp 1.800 dan laba marginal (tambahan laba yang
diperoleh dari setiap tambahan satu unit penjualan) Rp 1.200, tingkat keuntungan
yang disyaratkan 18%.
Permohonan
pembelian kredit dikabulkan kalau biaya penerimaan lebih kecil daripada biaya
penolakan.
Biaya Penerimaan =
Prob tdk membayar ( biaya variabel unit
yang dibeli) + tingkat keuntungan yang disyaratkan(periode pengumpulan/360)(biaya
variabel unit yang dibeli)+biaya pengumpulan.
Biaya Penolakan =
(1 – Prob tdk dibayar)(laba marginal unit yang dibeli)
Apabila X adalah
unit yang dibeli maka untuk kelompok baik biaya penerimaan dan penolakan yang
diharapkan adalah :
Biaya Penerimaan =
0,02(1.800X)+0,18(30/360)1800X+100
= 36X + 27X + 100
= 63X + 100
Biaya Penolakan = (1 – 0,02)1.200X
= 1.176X
Apabila X membeli
3.000 unit maka,
Biaya
Penerimaan = 63(3.000) + 100
= Rp 189.100
Biaya
penolakan = 1.176 (3.000)
= Rp 3.528.000
Analisis tersebut
menunjukan biaya penerimaan lebih kecil dari biaya penolakan, maka permohonan
pembelian dikabulkan.
Dari analisis
diatas, semakin lama jangka waktu pelunasan kredit semakin besar dana yang diperlukan untuk membiayainya.
Apabila perusahaan
menentukan term of sales yaitu 2/20; net 60%, maka tidak seharusnya perusahaan mempunyai
average collection period (ACP) lebih
dari 60 hari.
Apabila
diperkirakan 80% pembeli akan memanfaat diskon dan 20% tidak, maka
Avarage collection
periodnya =0,8 x 20 hari + 0,2
x 60 hari = 28 hari
ACP juga dapat
dihitung dengan menggunakan angka-angka yang terdapat dalam laporan keuangan.
Mis Dalam Laporan Rugi Laba diketahui
Penjualan dalam satu tahun Rp 36 milyar, maka rata-rata penjualan per
hari
Rp 36 milyar/360 = Rp 100 juta
Dari Neraca
diketahui saldo Piutang Dagang Rp2,9 milyar, maka
ACP =
Piutang/Penjualan per hari
Rp 2,9 milyar/ Rp 100 juta = 29
hari
Persediaan yang
besar akan menimbulkan keluwesan yang lebih besar bagi perusahaan, tetapi akan
menimbulkan biaya yang besar pula
Sebaliknya persediaan
yang kecil akan menghemat biaya, tetapi dapat menimbulkan gangguan produksi dan
penjualan. Karena itu muncul konsep “persediaan hanya apabila diperlukan”. Jadi harus dapat
ditentukan biaya persediaan yang optimal
Economic Order Quantity
Model ini
mendasarkan pada pemikiran bahwa :
- Kalau rata-rata persediaan besar maka biaya penyimpanan tinggi, tetapi perusahaan tidak perlu melakukan pemesanan yang terlalu sering sehingga dapat menghemat biaya pemesanan
- Kalau rata-rata persediaan kecil biaya penyimpanan rendah dan biaya pemesanan cukup tinggi. Jadi harus kita tentukan biaya persediaan yang paling ekonomis
Model yang
digunakan untuk menetapkan jumlah persediaan yang ekonomis adalah sbb :
Dalam hal ini :
Q = Jumlah
pemesanan yang ekonomis
i =
Biaya simpan per satuan per tahun
o = Biaya pesan setiap kali pemesanan
D= Kebutuhan bahan baku dalam satu tahun
Mis, Kebutuhan bahan baku dalam satu tahun
3.600 unit dengan harga Rp 50.000,- harga Rp 50.000,- unit. Kebiasaan perusahaan
melakukan pembelian setiap bulan sekali, biaya simpan (biaya modal) berkisar
18% per tahun, biaya setiap kali memesan Rp 200.000,-. Berdasarkan kebiasaan
tersebut , maka baiay persediaan adalah :
Jml
yg dipesan per bulan =
3.600unit/12 = 300 unit
N rata-rata persed 300xRp 50.000/2 = Rp 7,50 jt
========
Biaya simpan/th Rp 7,50 jt x 0,18 = Rp 1,35 jt
Biaya pesan/th Rp 200.000 x 12 = Rp 2,40 jt
Total Biaya Persediaan Rp 3,75 jt
Dengan menerapkan
model EOQ, perusahaan akan dapat menekan biaya persediaan
= 400
unit
Maka,
Biaya pesan =
(3.600/400) x Rp 200.000 = Rp 1,80 jt
Biaya simp ={(400xRp
50.000)/2} x 0,18= Rp 1,80 jt
Total Biaya
Persediaan
Rp 3,60 jt
Perusahaan dapat
menghemat biaya = (Rp 3,75 jt – Rp
3,60 jt ) = Rp 150.000,-
Apabila waktu yang
diperlukan sejak saat bahan dipesan sampai dengan bahan sampai di perusahaan
adalah setengah bulan disebut lead time, maka perusahaan harus memesan pada
saat bahan baku mencapai D/24. Tingkat persediaan ini disebut sebagai titik
pemesanan kembali (reorder point).
Reorder point =
3.600 unit/24 = 150 unit
Demikianlah Artikel Manajemen Modal Kerja
Sekianlah artikel
Manajemen Modal Kerja
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Manajemen Modal Kerja dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2013/09/manajemen-modal-kerja.html
0 Response to " Manajemen Modal Kerja "
Posting Komentar