Judul : Redenomisasi vs Sanering
link : Redenomisasi vs Sanering
Redenomisasi vs Sanering
Pada tahun 2012 lalu, pemerintah Indonesia sudah mewacanakan penyederhanaan nilai mata uang rupiah atau istilah ekonominya dikenal dengan redenomisasi. Ide redenomisasi ini muncul pada era SBY melalui Menteri Keuangan Kabinet Indonesia Bersatu, Agus Martowardoyo, dan Gubernur BI saat itu Darmin Nasution, namun pembahasannya sempat tertunda dan masih berlanjut hingga saat ini, dan juga masih belum bisa ditentukan kapan kebijakan itu akan diberlakukan.
Pelaksanaan redenomisasi 4 tahun lalu sempat tertunda dikarenakan imbas dari pengaruh ekonomi dunia dan juga khususnya badai krisis Asia, sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan kepanikan dikalangan masyarakat. Bagi masyarakat awam seperti saya ini, kebijakan penyederhanaan mata uang ini sering diasumsikan sebagai sanering, yang dampaknya akan menimbulkan inflasi terhadap harga barang yang berpotensi melonjak. Bagi para investor, tentunya dikhawatirkan mereka enggan untuk memegang mata uang rupiah yang nilainya akan semakin merosot.
Sejarah sanering di Indonesia
Sampai disini mungkin ada yang bertanya-tanya apasih yang di maksud dengan sanering? Jadi yang dimaksud dengan sanering adalah pemotongan daya beli masyarakat melalui pemotongan nilai uang, namun harga barang tetap, sehingga yang terjadi adalah daya beli masyarakat menurun.
Dalam perjalanan sejarahnya Indonesia pernah mencatatkan beberapa kebijakan penerapan sanering, yang diantaranya:
- 10 Maret 1950, Pada masa pemerintahan Soekarno, peristiwa ini dikenal dengan “Gunting Syafruddin” yaitu kebijakan moneter yang ditetapkan oleh Syaffruddin Prawiranegara yang menjabat sebagai Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta II pada masa itu, untuk melakukan devaluasi dengan pengguntingan nilai uang. Beliau menggunting uang kertas pecahan Rp.5 ke atas digunting menjadi 2. Guntingan kiri tetap berlaku sebagai alat pembayaran yang sah dengan nilai setengah dari nilai semula, dan guntingan kanan dinyatakan tidak berlaku, tetapi dapat ditukar dengan obligasi negara sebesar setengah dari nilai semula, dan akan dibayar dalam periode 30 tahun kemudian dengan bunga 3% pertahun. Ada 3 point penting dari “Gunting Syafruddin” yaitu, pertama mengefisienkan perdagangan dengan menyeragamkan mata uang, kedua mengurangi jumlah uang yang beredar dan menekan laju inflasi, dan ketiga mengisi kas negara dengan memaksa masyarakat untuk menyimpan sebagian uangnya di bank
- 25 Agustus 1959, masih pada masa pemerintahan Soekarno, melalui Menteri Keuangan Djuanda dalam Kabinet Kerja I, mengambil kebijakan untuk menurunkan nilai mata uang Rp.1,000 menjadi Rp.100 dan Rp. 500 menjadi Rp.50 atau menjadi 10% dari nilai semula, namun untuk pecahan lain tetap nilainya, dengan didasarkan pada Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2/1959. Pada masa itu terjadi kekacauan ekonomi, dan orang-orang kaya pada masa itu membelanjakan uangnya untuk membeli barang-barang yang bisa tahan lama seperti beras, kependuduk yang dianggap belum banyak tau soal keputusan ini, lalu menyusul terjadinya inflasi inflasi besar-besaran pada masa itu. Masih pada tahun yang sama, pemerintah juga melakukan devaluasi nilai tukar rupiah sebesar 74.7% dari Rp.11.40 per USD menjadi Rp.45 per USD.
Melalui 2 kejadian sanering yang terjadi di Indonesia, maka merupakan bagian dari sejarah kelam bangsa Indonesia dibidang ekonomi, walaupun kebijakan-kebijakan tersebut diambil untuk mengatasi situasi ekonomi Indonesia yang pada saat itu sedang terpuruk dengan inflasi tinggi dan harga-harga melambung tinggi, juga untuk mengurangi jumlah uang yang beredar di masyarakat pada masa itu untuk menekan inflasi.
Sejarah redenomisasi di Indonesia
Dalam perjalanannya Indonesia juga pernah mencatatkan peristiwa redenomisasi terhadap mata uang rupiah pada masa itu. Tepatnya pada tanggal 13 Desember 1965, diberlakukan redenomisasi dengan menerbitkan uang pecahan baru Rp.1 untuk menggantikan mata uang Rp.1,000 oleh Wakil Perdana Menteri III Chairul Saleh, melalui Penetapan Presiden RI nomor 27 tahun 1965. Tujuannya untuk mewujudkan kesatuan moneter bagi seluruh wilayah Indonesia, termasuk propinsi Papua Barat.
Kebijakan ini diambil juga dikarenakan melemahnya ekonomi Indonesia sejak dari tahun 1950 hingga tahun 1965, jika sebelumnya pada tahun 1959 nilai tukar rupiah terhadap USD di level Rp.45 per USD, maka pada tahun 1965 nilai tukar rupiah terhadap USD merosot sangat tajam hingga kisaran Rp.3,500-4,500 per USD. Pada masa itu pemerintah masih berkutat dengan masalah-masalah politik dalam dan luar negeri, sehingga penguatan pembangunan ekonomi menjadi terabaikan dan membuat Indonesia dalam kondisi terpuruk dengan angka inflasi melonjak sampai 650% waktu itu.
Perbedaan redenomisasi dengan sanering
Berikut saya lampirkan tabel perbandingan antara redenomisasi dengan sanering supaya kalian lebih mudah daripada saya tulis panjang kali lebar pegel juga tangan saya ngetiknya hehehe:
Jadi kalau kita melihat dari tabel perbandingan sebetulnya redenomisasi ini lebih sedikit dampak implikasinya dengan tanpa mengurangi daya beli masyarakat yang dikarenakan harga barang juga ikut turun seiring dengan penerapan redenomisasi, dan masyarakat pun tidak dirugikan terhadap kebijakan ini jika diterapkan dalam momenyang tepat, namun pengaruh terhadap inflasi tetap harus diperhatikan untuk menghindari kekacauan ekonomi seperti yang terjadi pada akhir tahun 1965.
Penting untuk saya tekankan kata momen di atas, karena untuk penerapan kebijakan redenomisasi ini ada beberapa indikator yang harus dilihat agar penerapannya berhasil dan untuk meminimalisir dampak ekonomi lebih lanjut seperti inflasi. Pertama, ekspektasi inflasi harus berada di kisaran rendah dan pergerakannya stabil. Kedua, stabilitas perekonomian dalam dan luar negeri terjaga serta terjaminnya stabilitas harga barang dan jasa. Ketiga, kesiapan masyarakat, mengingat kondisi Indonesia yang terdiri dari 250 juta jiwa, sehingga memerlukan proses sosialisasi yang tidak sebentar.
Kebijakan ini memerlukan periode transisi yang tidak sebentar bisa memakan waktu 5-7 tahun, bayangin ini mblo jika nantinya Indonesia berhasil menerapkan redenomisasi yang memerlukan waktu 5-7 tahun dalam penerapannya sedangkan status mu masih belum berubah juga, bisa dipastikan akan berdampak sistemik pada dirimu yang gundah nan galau pada saat itu.
Oke lanjut lagi ke topik, keempat, faktor ekonomi, kondisi politik di Indonesia juga harus stabil, jika tidak didukung dengan kondisi politik yang stabil maka tentunya akan sulit diterapkannya kebijakan redenomisasi karena timbul pertentangan di dalam kalangan elite politik sendiri.
Apa sih tujuan dari redenomisasi ?
Tidak bisa kita pungkiri mata uang rupiah kita saat ini dianggap terlalu murah oleh negara lain, bahkan oleh tetangga yang bersebelahan dengan kita seperti Malaysia dan Singapura. Murah dalam hal ini bukan dalam hal substansi, melainkan dalam hal identitas mata uang tersebut dikarenakan dengan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain seperti misalnya dolar Amerika(USD), yang dimana mata uang rupiah memiliki banyak angka nol di belakang, ini dinilai sangat tidak efisien, sehingga memberi kesan mata uang rupiah murah sekali di pasar internasional.
Di Asia Tenggara sendiri Indonesia menempati urutan kedua dalam pecahan mata uang terbesar setelah Vietnam Dong dengan nominal 500,000, lalu disusul Indonesia dengan pecahan 100,000 rupiah. Selain itu dengan redenomisasi dapat memudahkan dalam penyusunan keuangan negara atau pun laporan keuangan perusahaan, juga dalam hal perhitungan sendiri yang sering kali mencapai digit yang melebihi kapasitas digit pada kalkulator.
Bahkan dalam melakukan transaksi keuangan seringkali menimbulkan ketidakefisienan ekonomi dan ketidaknyamanan dalam bertransaksi, dikarenakan diperlukan waktu yang banyak untuk mencatat, menghitung, ataupun membawa uang untuk melakukan transaksi. Sebetulnya sebagian besar masyarakat sudah terbiasa dengan praktik menghilangkan 3 digit terakhir, terutama pada laporan keuangan suatu instansi atau perusahaan untuk menyederhanakan tampilan, ataupun di beberapa hotel dan restoran yang juga menampilkan harga dengan menghilangkan 3 digit terakhir, misalnya Rp.100,000 hanya ditulis Rp.100 namun biasanya diberikan keterangan jumlah dalam ribuan.
Menurut Deputi Gubernur BI, Ronald Waas saat ini bank sentral dan pemerintah masih terus melakukan pembahasan terkait redenomisasi dan ingin memasukkan Rancangan Undang-Undang (RUU) redenomisasi rupiah masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2017. Rencananya redenomisasi dilakukan dengan cara memangkas 3 nol di nominal rupiah yang berlaku saat ini, misalnya dari Rp.1,000 menjai Rp.1, dan hal ini tidak akan mempengaruhi terhadap daya beli mapupun nilai tukar rupiah untuk membeli barang ataupun jasa.
Langkah ini dinilai penting untuk memperkuat posisi mata uang rupiah di pasar internasional, dan tentunya akan membuat posisi mata uang Indonesia sejajar dalam standard yang diterapkan oleh negara-negara lain. Dalam sejarahnya beberapa negara di dunia telah berhasil dalam melakukan redenomisasi seperti Turki yang dimulai sejak 1 Januari 2005 dan saat ini sudah terlihat berhasil, Bulgaria dilaksanakan pada 5 Juli 1999 dengan memangkas 3 angka nol, hingga akhir Desember mereka masih menerapkan 2 harga diseluruh harga yang diperdagangkan, namun menginjak tahun 2000, sudah menggunakan 1 harga setelah redenomisasi dan tidak mengalami gejolak ekonomi yang berarti. Israel, Rumania, Polandia dan Ukraina juga termasuk negara-negara yang berhasil melakukan redenomisasi.
Namun ada juga negara-negara yang tidak berhasil menerapkan kebijakan redenomisasi seperti Rusia, Argentina, Zimbabwe, Korea Utara, dan Brazil. Tentunya kita mengharapkan agar proses redenomisasi ini disambut baik oleh seluruh pihak, baik kalangan politisi, pengusaha hingga masyarakat Indonesia, dan saya yakin pemerintah juga Bank Indonesia dalam hal ini telah mengkaji secara mendalam untuk proses redenomisasi yang akan diterapkan nantinya, baik dalam mempelajari sejarah masa lalu bangsa Indonesia, ataupun mempelajari sejarah dari negara-negara lain yang telah berhasil menerapkan kebijakan ini, dan juga melihat kendala-kendala yang membuat proses redenomisasi ini gagal diterapkan.
Siapapun pemerintahnya nanti, diharapkan dapat terus merealisasikan kebijakan ini, agar supaya dompet saya tidak terlalu penuh untuk membawa uang dalam nominal yang sangat besar dan tidak efektif, belum lagi juga ditambah bon-bon hutang dan tagihan yang nyempil di dalam dompet saya. Dan juga supaya mata uang kita tidak lagi diremehkan oleh negara lain, karena banyak teman saya yang bukan orang Indonesia, mereka sering bercanda bahwa mereka merasa menjadi jutawan, karena saat mereka tukar mata uang negara mereka dengan rupiah, mereka mendapatkan banyak sekali uang bahkan sampai berjuta-juta, hal yang tentunya aneh buat mereka jika dibandingkan dengan mata uang di negara asal mereka.
Sumber: seword.com
Demikianlah Artikel Redenomisasi vs Sanering
Sekianlah artikel
Redenomisasi vs Sanering
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Redenomisasi vs Sanering dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2016/11/redenomisasi-vs-sanering.html
0 Response to " Redenomisasi vs Sanering "
Posting Komentar