Judul : Global Waqf Indonesia
link : Global Waqf Indonesia
Global Waqf Indonesia
Latar Belakang
Lembaga wakaf sebagai pranata
keagamaan yang memiliki potensi & manfaat ekonomi perlu dikelola secara
efektif dan efisien untuk kepentingan ibadah secara khusus maupun kesejahteraan umum di bidang pendidikan,
ekonomi & social. Wakaf dapat dijadikan sebagai instrument untuk
pengentasan kemiskinan ummat Islam seperti pendidikan gratis bagi kaum miskin,
perbankan bagi kaum miskin, dst.
Berdasarkan Undang-undang Nomor
41 tahun 2004 tentang Wakaf. Wakaf adalah perbuatan hokum wakif untuk
memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah/dan atau kesejahteraan umum menurut
Syariah.
Lembaga wakaf
Global Waqf Indonesia adalah
lembaga wakaf yang berbadan hukum yayasan, berdasarkan Akta Pendirian Yayasan
Badan Wakaf KB PII No. 140 tanggal 28 Juni 2016 yang dibuat oleh Notaris I
Novant Adhiezulardi ,SH,MKn tentang pengesahan Badan Hukum Yayasan Badan Wakaf
KB PII tanggal 29 Juni 2016 yang telah mendapatkan pengesahan dari Kementerian
Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor: AHU-0029072.AH.01.04.
Tahun 2016 Tanggal 01 Juli 2016.
Landasan Hukum
UU RI. No.41 /2004 tentang Wakaf
UU RI No. 28/2004 tentang
Amandemen UU Yayasan
UU RI. No. 16/2001 tentang
Yayasan
Visi
Menjadi lembaga wakaf berskala
global di tahun 2025
Misi
Mewujudkan masyarakat tanpa
kemiskinan dengan melakukan redistribusi kekayaan melalui program Wakaf
Strategi
1.
Membangun kepercayaan masyarakat dengan
mengembangkan program wakaf yang professional, amanah, transparan dan akuntabel
2.
Mengembangkan inovasi produk wakaf yang
memudahkan masyarakat dalam menyalurkan dana dan atau harta wakaf
3.
Menghimpun dana dan atau harta wakaf dengan
memanfaatkan teknologi informasi
4.
Mengelola dana dan atau harta wakaf untuk
pengembangan bisnis UMKM dan kewirausahaan
5.
Menyalurkan dana dan atau harta wakaf sesuai
peruntukan akta wakaf
Program
Dana Wakaf Yatim
Dana Wakaf Yatim adalah produk
wakaf tunai yang akan memberikan manfaat berkelanjutan untuk anak yatim.
Dana Wakaf Pendidikan
Dana Wakaf Pendidikan adalah
produk wakaf tunai yang akan memberikan manfaat untuk pengembangan pendidikan
baik berupa bantuan beasiswa, bantuan fasilitas pendidikan maupun berbagai
kegiatan yang menunjang kualitas pendidikan
Dana Wakaf Infrastruktur
Sosial
Dana Wakaf Infrastruktur
Sosial adalah produk wakaf tunai yang
akan memberikan manfaat untuk pembangunan infrastruktur sosial seperti Mesjid,
sekolah, rumah belajar, dsb
Wakif/Pihak yang mewakafkan
hartanya akan mendapatkan Sertifikat Wakaf Tunai untuk nilai wakaf diatas Rp
1.000.000 (satu juta rupiah). 10 % dari kontribusi anda akan digunakan untuk
biaya operasional program dan 90% dari kontribusi anda tersebut akan di
investasikan dalam berbagai bentuk pengelolaan dana produktif yang sesuai dengan prinsip Syariah. Setiap
keuntungan dari hasil pengelolaan tersebut akan di distribusikan sebagai
berikut: 80 % untuk peruntukan dana wakaf ( Yatim, Pendidikan, Infrastruktur
Sosial), 10 % biaya administrasi dan 10%
untuk diinvestasikan kembali.
.
Rekening Wakaf
Yayasan Badan
Wakaf KB PII
Bank CIMB Niaga
Syariah: 860004315300
Silahkan tambahkan
kode ketika anda melakukan transfer dana wakaf untuk yatim ( 100), pendidikan
(300) dan Infrastruktur sosial (500)
GLOBAL WAQF
Yayasan Badan
Wakaf KB PII
Jl. Cikatomas I no.1
Kebayoran Baru – Jakarta Selatan
Telp: 021-7200876
Email:
contact@globalwaqf.org, md.shodiq@gmail.com
Website: http://globalwaqf.org
Lampiran
Sejarah dan Perkembangan
Wakaf
Masa Rasulullah
Dalam sejarah Islam, Wakaf
dikenal sejak masa Rasulullah SAW karena wakaf disyariatkan setelah nabi SAW
Madinah, pada tahun kedua Hijriyah. Ada dua pendapat yang berkembang di
kalangan ahli yurisprudensi Islam (fuqaha’) tentang siapa yang pertama kali melaksanakan
syariat wakaf. Menurut sebagian pendapat ulama mengatakan bahwa yang pertama
kali melaksanakan wakaf adalah Rasulullah SAW ialah wakaf tanah milik Nabi SAW
untuk dibangun masjid.
Pendapat ini berdasarkan hadits
yang diriwayatkan oleh Umar bin Syabah dari ‘Amr bin Sa’ad bin Mu’ad, ia
berkata: Dan diriwayatkan dari Umar bin Syabah, dari Umar bin Sa’ad bin Muad
berkata: “Kami bertanya tentang mula-mula wakaf dalam Islam? Orang Muhajirin
mengatakan adalah wakaf Umar, sedangkan orang-orang Ansor mengatakan adalah
wakaf Rasulullah SAW." (Asy-Syaukani: 129).
Rasulullah SAW pada tahun ketiga
Hijriyah pernah mewakafkan ketujuh kebun kurma di Madinah; diantaranya ialah
kebon A’raf, Shafiyah, Dalal, Barqah dan kebon lainnya. Menurut pendapat
sebagian ulama mengatakan bahwa yang pertama kali melaksanakan Syariat Wakaf
adalah Umar bin Khatab. Pendapat ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ibnu
Umar ra, ia berkata:
Dari Ibnu Umar ra, berkata :
“Bahwa sahabat Umar ra, memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian Umar ra, menghadap
Rasulullah SAW untuk meminta petunjuk, Umar berkata : “Hai Rasulullah SAW.,
saya mendapat sebidang tanah di Khaibar, saya belum mendapat harta sebaik itu,
maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah SAW. bersabda: “Bila
engkau suka, kau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan (hasilnya),
tidak dijual, tidak dihibahkan dan tidak diwariskan. Ibnu Umar berkata: “Umar
menyedekahkannya (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-rang fakir, kaum
kerabat, hamba sahaya, sabilillah, Ibnu sabil dan tamu. Dan tidak dilarang bagi
yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan cara yang baik
(sepantasnya) atau memberi makan orang lain dengan tidak bermaksud menumpuk
harta” (HR.Muslim).
Kemudian syariat wakaf yang telah
dilakukan oleh Umar bin Khatab dususul oleh Abu Thalhah yang mewakafkan kebun
kesayangannya, kebun “Bairaha”. Selanjutnya disusul oleh sahabat Nabi SAW.
lainnya, seperti Abu Bakar yang mewakafkan sebidang tanahnya di Mekkah yang
diperuntukkan kepada anak keturunannya yang datang ke Mekkah. Utsman
menyedekahkan hartanya di Khaibar. Ali bin Abi Thalib mewakafkan tanahnya yang
subur. Mu’ads bin Jabal mewakafkan rumahnya, yang populer dengan sebutan “Dar
Al-Anshar”. Kemudian pelaksanaan wakaf disusul oleh Anas bin Malik, Abdullah
bin Umar, Zubair bin Awwam dan Aisyah Isri Rasulullah SAW.
Masa Dinasti-Dinasti Islam
Praktek wakaf menjadi lebih luas
pada masa dinasti Umayah dan dinasti Abbasiyah, semua orang berduyun-duyun
untuk melaksanakan wakaf, dan wakaf tidak hanya untuk orang-orang fakir dan
miskin saja, tetapi wakaf menjadi modal untuk membangun lembaga pendidikan,
membangun perpustakaan dan membayar gaji para statnya, gaji para guru dan
beasiswa untuk para siswa dan mahasiswa. Antusiasme masyarakat kepada
pelaksanaan wakaf telah menarik perhatian negara untuk mengatur pengelolaan
wakaf sebagai sektor untuk membangun solidaritas sosial dan ekonomi masyarakat.
Wakaf pada mulanya hanyalah
keinginan seseorang yang ingin berbuat baik dengan kekayaan yang dimilikinya
dan dikelola secara individu tanpa ada aturan yang pasti. Namun setelah
masyarakatIslam merasakan betapa manfaatnya lembaga wakaf, maka timbullah
keinginan untuk mengatur perwakafan dengan baik. Kemudian dibentuk lembaga yang
mengatur wakaf untuk mengelola, memelihara dan menggunakan harta wakaf, baik
secara umum seperti masjid atau secara individu atau keluarga.
Pada masa dinasti Umayyah yang
menjadi hakim Mesir adalah Taubah bin Ghar Al-Hadhramiy pada masa khalifah
Hisyam bin Abd. Malik. Ia sangat perhatian dan tertarik dengan pengembangan
wakaf sehingga terbentuk lembaga wakaf tersendiri sebagaimana lembaga lainnya
dibawah pengawasan hakim. Lembaga wakaf inilah yang pertama kali dilakukan
dalam administrasi wakaf di Mesir, bahkan diseluruh negara Islam. Pada saat itu
juga, Hakim Taubah mendirikan lembaga wakaf di Basrah. Sejak itulah pengelolaan
lembaga wakaf di bawah Departemen Kehakiman yang dikelola dengan baik dan
hasilnya disalurkan kepada yang berhak dan yang membutuhkan.
Pada masa dinasti Abbasiyah
terdapat lembaga wakaf yang disebut dengan “shadr al-Wuquuf” yang mengurus
administrasi dan memilih staf pengelola lembaga wakaf. Demikian perkembangan
wakaf pada masa dinasti Umayyah dan Abbasiyah yang manfaatnya dapat dirasakan
oleh masyarakat, sehingga lembaga wakaf berkembang searah dengan pengaturan
administrasinya.
Pada masa dinasti Ayyubiyah di
Mesir perkembangan wakaf cukup menggembirakan, dimana hampir semua tanah-tanah
pertanian menjadi harta wakaf dan semua dikelola oleh negara dan menjadi milik
negara (baitul mal). Ketika Shalahuddin Al-Ayyuby memerintah Mesir, maka ia
bermaksud mewakafkan tanah-tanah milik negara diserahkan kepada yayasan
keagamaan dan yayasan sosial sebagaimana yang dilakukan oleh dinasti Fathimiyah
sebelumnnya, meskipun secara fiqh Islam hukum mewakafkan harta baitulmal masih
berbeda pendapat di antara para ulama.
Pertama kali orang yang
mewakafkan tanah milik nagara (baitul mal) kepada yayasan dan sosial adalah
Raja Nuruddin Asy-Skyahid dengan ketegasan fatwa yang dekeluarkan oleh seorang
ulama pada masa itu ialah Ibnu “Ishrun dan didukung oleh pada ulama lainnya
bahwa mewakafkan harta milik negara hukumnya boleh (jawaz), dengan argumentasi
(dalil) memelihara dan menjaga kekayaan negara. Sebab harta yang menjadi milik
negara pada dasarnya tidak boleh diwakafkan. Shalahuddin Al-Ayyubi banyak
mewakafkan lahan milik negara untuk kegiatan pendidikan, seperti mewakafkan
beberapa desa (qaryah) untuk pengembangan madrasah mazhab asy-Syafi’iyah,
madrasah al-Malikiyah dan madrasah mazhab al-Hanafiyah dengan dana melalui
model mewakafkan kebun dan lahan pertanian, seperti pembangunan madrasah mazhab
Syafi’iy di samping kuburan Imam Syafi’I dengan cara mewakafkan kebun pertanian
dan pulau al-Fil.
Dalam rangka mensejahterakan
ulama dan kepentingan misi mazhab Sunni Shalahuddin al-Ayyuby menetapkan
kebijakan (1178 M/572 H) bahwa bagi orang Kristen yang datang dari Iskandar
untuk berdagang wajib membayar bea cukai. Hasilnya dikumpulkan dan diwakafkan kepada para ahli yurisprudensi
(fuqahaa’) dan para keturunannya. Wakaf telah menjadi sarana bagi dinasti
al-Ayyubiyah untuk kepentingan politiknya dan misi alirannya ialah mazhab Sunni
dan mempertahankan kekuasaannya. Dimana harta milik negara (baitul mal) menjadi
modal untuk diwakafkan demi pengembangan mazhab Sunni dan menggusus mazhab
Syi’ah yang dibawa oleh dinasti sebelumnya, ialah dinasti Fathimiyah.
Perkembangan wakaf pada masa
dinasti Mamluk sangat pesat dan beraneka ragam, sehingga apapun yang dapat
diambil manfaatnya boleh diwakafkan. Akan tetapi paling banyak yang diwakafkan
pada masa itu adalah tanah pertanian dan bangunan, seperti gedung perkantoran,
penginapan dan tempat belajar. Pada masa Mamluk terdapat wakaf hamba sahaya
yang di wakafkan budak untuk memelihara masjid dan madrasah. Hal ini dilakukan
pertama kali oleh pengusa dinasti Ustmani ketika menaklukan Mesir, Sulaiman
Basya yang mewakafkan budaknya untuk merawat mesjid.
Manfaat wakaf pada masa dinasti
Mamluk digunakan sebagaimana tujuan wakaf, seperti wakaf keluarga untuk
kepentingan keluarga, wakaf umum untuk kepentingan sosial, membangun tempat
untuk memandikan mayat dan untuk membantu orang-orang fakir dan miskin. Yang
lebih membawa syiar islam adalah wakaf untuk sarana Harmain, ialah Mekkah dan
Madinah, seperti kain ka’bah (kiswatul ka’bah). Sebagaimana yang dilakukan oleh
Raja Shaleh bin al-Nasir yang membrli desa Bisus lalu diwakafkan untuk
membiayai kiswah Ka’bah setiap tahunnya dan mengganti kain kuburan Nabi SAW dan
mimbarnya setiap lima tahun sekali.
Perkembangan berikutnya yang
dirasa manfaat wakaf telah menjadi tulang punggung dalam roda ekonomi pada masa
dinasti Mamluk mendapat perhatian khusus pada masa itu meski tidak diketahui
secara pasti awal mula disahkannya undang-undang wakaf. Namun menurut berita
dan berkas yang terhimpun bahwa perundang-undangan wakaf pada dinasti Mamluk
dimulai sejak Raja al-Dzahir Bibers al-Bandaq (1260-1277 M/658-676) H) di mana
dengan undang-undang tersebut Raja al-Dzahir memilih hakim dari masing-masing
empat mazhab Sunni.
Pada orde al-Dzahir Bibers
perwakafan dapat dibagi menjadi tiga katagori: Pendapat negara hasil wakaf yang
diberikan oleh penguasa kepada orang-orang yanbg dianggap berjasa, wakaf untuk
membantu haramain (fasilitas Mekkah dan Madinah) dan kepentingan masyarakat
umum. Sejak abad lima belas, kerajaan Turki Utsmani dapat memperluas wilayah
kekuasaannya, sehingga Turki dapat menguasai sebagian besar wilayah negara
Arab. Kekuasaan politik yang diraih oleh dinasti Utsmani secara otomatis
mempermudah untuk merapkan Syari’at Islam, diantaranya ialah peraturan tentang
perwakafan.
Di antara undang-undang yang
dikeluarkan pada dinasti Utsmani ialah peraturan tentang pembukuan pelaksanaan
wakaf, yang dikeluarkan pada tanggal 19 Jumadil Akhir tahun 1280 Hijriyah.
Undang-undang tersebut mengatur tentang pencatatan wakaf, sertifikasi wakaf,
cara pengelolaan wakaf, upaya mencapai tujuan wakaf dan melembagakan wakaf
dalam upaya realisasi wakaf dari sisi administrasi dan perundang-udangan.
Pada tahun 1287 Hijriyah dikeluarkan
undang-undang yang menjelaskan tentang kedudukan tanah-tanah kekuasaan Turki
Utsmani dan tanah-tanah produktif yang berstatus wakaf. Dari implementasi
undang-undang tersebut di negara-negara Arab masih banyak tanah yang berstatus
wakaf dan diperaktekkan sampai saat sekarang. Sejak masa Rasulullah, masa
kekhalifahan dan masa dinasti-dinasti Islam sampai sekarang wakaf masih
dilaksanakan dari waktu ke waktu di seluruh negeri muslim, termasuk di
Indonesia.
Hal ini terlihat dari kenyataan
bahwa lembaga wakaf yang berasal dari agama Islam ini telah diterima
(diresepsi) menjadi hukum adat bangsa Indonesia sendiri. Disamping itu suatu
kenyataan pula bahwa di Indonesia terdapat banyak benda wakaf, baik wakaf benda
bergerak atau benda tak bergerak. Kalau kita perhatikan di negara-negara muslim
lain, wakaf mendapat perhatian yang cukup sehingga wakaf menjadi amal sosial
yang mampu memberikan manfaat kepada masyarakat banyak.
Dalam perjalanan sejarah wakaf
terus berkembang dan akan selalu berkembang bersamaan dengan laju perubahan
jaman dengan berbagai inovasi-inovasi yang relevan, seperti bentuk wakaf uang,
wakaf Hak Kekayaan Intelektual (Haki), dan lain-lain. Di Indonesia sendiri,
saat ini wakaf kian mendapat perhatian yang cukup serius dengan diterbitkannya
Undang-undang No. 41 tahun 2004 tentang Wakaf dan PP No. 42 tahun 2006 tentang
pelaksanaannya
Sepanjang sejarah Islam, wakaf
merupakan sarana dan modal yang amat penting dalam memajukan perkembangan
agama. Dalam sejarah peradaban Islam, sejak awal di-tasyrik-kannya, wakaf telah
memiliki peran yang sangat penting dalam langkah-langkah meningkatkan
kesejahteraan sosial umat Islam pada masa itu dan masa-masa selanjutnya. Hal
ini disebabkan bahwa prinsip wakaf adalah memadukan dimensi ketakwaan dan kesejahteraan.
Terbukti bahwa manfaat wakaf, pada masa keemasan Islam, telah melahirkan
ilmuwan-ilmuwan tersohor dan kemajuan ilmu pengetahuan yang sangat pesat.
Dengan pesatnya perkembangan
zaman, wakaf tidak lagi hanya diasosiasikan pada obyek wakaf berupa tanah, akan
tetapi sudah merambah kepada wakaf bentuk lain seperti benda bergerak berupa
uang. Di Indonesia, beberapa jenis wakaf baru tentang wakaf telah diakonomodasi
oleh UU No 41 tahun 2004 tentang Wakaf, sebagai bentuk penyempurnaaan konsep
wakaf yang terdapat dalam kompilasi hukum Islam.
Wakaf telah banyak membantu
pengembangan dalam berbagai ilmu, baik ilmu agama maupun ilmu pengetahuan
lainnya. Biasanya, hasil pengelolaan harta benda wakaf digunakan untuk
membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan,
pendidikan, pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung, dan
lainnya.
Merujuk pada data Departemen
Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68
meter persegi atau sekitar 268.653,67 hektar (ha) yang tersebar di 366.595
lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta
wakaf terbesar di dunia. Sayangnya, tanah wakaf tersebut sebagian besar baru
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masjid, kuburan, panti asuhan, dan sarana
pendidikan. Dan hanya sebagian kecil yang dikelola ke arah lebih produktif.
Harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau
produktif (23%). fakta perwakafan di Indonesia, punya aset besar tapi belum
dioptimalkan.
Mengapa potensi wakaf di
Indonesia belum produktif? Pastinya, masalah ini terletak ditangan Nazhir,
selaku pemegang amanah dari Waqif (orang yang berwakaf) untuk mengelola dan
mengembangkan harta wakaf. Artinya, pengelolaan harta wakaf belum dilakukan
secara profesional. Mestinya, Indonesia sebagai negara dengan jumlah penduduk
muslim terbesar di dunia, menjadi pionir dalam pengembangan ekonomi umat.
Definisi Wakaf
Wakaf berasal dari bahasa arab
yang “waqafa” yang berarti menahan, berhenti, diam ditempat, atau tetap
berdiri. Kata al-Waqf dalam bahasa arab mengandung arti menahan harta untuk
diwakafkan, tidak dipindahmilikkan.
Menurut Abu hanifah, wakaf adalah
menahan suatu benda yang menurut hukum tetap milik si wakif dalam rangka
mempergunakan manfaatnya untuk kebajikan.
Mahzab maliki berpendapat bahwa
wakaf itu tidak melepaskan harta yang diwakafkan dari kepemilikan wakif, tetapi
wakaf tersebut mencegah wakif melakukan tindakan yang dapat melepaskan
kepemilikannya atas harta tersebut kepada pihak lain dan wakif berkewajiban
menyedekahkan manfaatnya serta tidak boleh menarik kembali wakafnya.
Mahzab syafi’i dan Ahmad,
berpendapat bahwa wakaf adalah melepaskan harta yang diwakafkan dari
kepemilikan wakif, setelah sempurna prosedur perwakafan.
Definisi wakaf menurut Ibn
Qudamah, wakaf adalah “menahan asal dan mengalirkan hasilnya”.
Wakaf adalah perbuatan hukum
wakif untuk memisahkan dan menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk
dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan
kepentingannya guna keperluan ibadah atau untuk kepentingan kesejahteraan umum
menururt syariah.
Wakaf bertujuan untuk memberikan
manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi
wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf
berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Dasar hukum wakaf
Ayat-ayat al-Quran yang berkaitan
dengan Wakaf
Secara eksplisit tidak ditemukan
ayat al-Quran yang mengatur tentang wakaf, namun secara implisit cukup banyak
ayat-ayat yang bisa jadi dasar hukum tentang wakaf, yaitu beberapa ayat tetang
infak diantaranya:
Qur’an : al Hajj : 77
Wahai orang-orang yang beriman!
Rukuklah, sujudlah, dan sembahlah Tuhanmu dan berbuatlah kebaikan agar kamu
beruntung.
Qur’an : al Baqarah : 261
Perumpamaan (nafkah yang
dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah
serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir:
seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki.
Dan Allah Maha luas (kurnia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
Qur’an surat Ali Imran : 92
لن تنالوا الير حتى تنفقوا مما تحبون وما تنفقوا من شيء فان الله به عليم
Kamu sekali-kali tidak sampai
kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang
kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah
mengetahuinya.
Hadits Nabi yang secara tegas
menyinggung dianjurkannya ibadah wakaf, yaitu perintah Nabi kepada Umar untuk
mewakafkan tanahnya yang ada di Khaibar :
Dari Ibnu Umar ra. Berkata, bahwa
sahabat Umar Ra. Memperoleh sebidang tanah d Khaibar kemudian menghadap kepada
Rasulullah untukm memohon petunjuk Umar berkata : Ya Rasulullah, saya
mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, saya belum pernah mendapatkan harta
sebaik itu, maka apakah engkau perintahkan kepadaku ? Rasulullah menjawab: Bila
kamu suka, kamu tahan (pokoknya) ntanah itu, dan kamu sedekahkan (hasilnya).
Kemudian Umar menyedekahkannya kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak
belian, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak mengapa atau tidak dilarang
bagi yang menguasai tanah wakaf itu (pengurusnya) makan dari hasilnya dengan
cara yang baik (sepantasnya) atau makan dengan tidak bermaksud menumpuk harta
(HR. Muslim).
Dari Ibnu Umar, ia berkata :
“Umar mengatakan kepada Nabi Saw, saya mempunyai seratus dirham saham di
Khaibar. Saya belum pernah mendapat harta yang paling saya kagumi seperti itu.
Tetapi saya ingin menyedekahkannya. Nabi Saw mengatakan kepada Umar : Tahanlah
(jangan jual, hibahkan dan wariskan) asalnya (modal pokok) dan jadikan buahnya
sedekah untuk sabilillah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ayat al-Quran dan Sunnah yang
sedikit itu mampu menjadi pedoman para ahli fikih Islam. Sejak masa Khulafaur
Rasyidun sampai sekarang, dalam membahas dan mengembangkan hukum-hukum wakaf
dengan menggunakan metode penggalian hukum (ijtihad) mereka. Sebab itu sebagian
besar hukum-hukum wakaf dalam Islam ditetapkan sebagai hasil ijtihad, dengan
menggunakan metode ijtihad seperti qiyas, maslahah mursalah dan lain-lain.
Sehingga dengan demikian,
ditinjau dari aspek ajaran saja, wakaf merupakan sebuah potensi yang cukup
besar untuk bisa dikembangkan sesuai dengan kebutuhan zaman. Apalagi ajaran
wakaf ini termasuk bagian dari muamalah yang memiliki jangkauan yang sangat
luas, khususnya dalam pengembangan ekonomi lemah.
Syarat, rukun, dan Obyek wakaf
Wakaf dinyatakan sah apabila
telah terpenuhi rukun dan syaratnya. Rukun wakaf ada empat yaitu:
Wakif (orang yang mewakafkan
harta)
Mauquf bih (barang atau harat
yang diwakafkan)
Mauquf ‘alaih (pihak yang
diberi wakaf atau peruntukan wakaf)
Shighat (pernyataan atau ikrar
wakif sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)
Syarat wakif
a) Wakif perseorangan (dewasa,
sehat, dan cakap), untuk organisasi (pengurus memenuhi syarat sebagai wakif
perseorangan, bergerak dalam bidang sosial/ pendidikan/ kemasyarakatan/
keagamaan Islam.
b) Badan Hukum (pengurus memenuhi
syarat sebagai wakif perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang
sosial/ pendidikan/ keagamaan Islam dan kemasyarakatan.
c) Pemilik sah harta benda yang
akan diwakafkan.
Nadzir (pengelola obyek wakaf)
1. Nadzir Perorangan (dewasa,
sehat, cakap).
2. Organisasi (Pengurus memenuhi
syarat sebagai Nadzir perseorangan, bergerrak dalam bidang
sosial/pemdidikan/kemasyarakatan/keagamaan Islam.
3. Badan Hukum (Pengurus memenuhi
syarat sebagai Nadzir perseorangan, Badan Hukum sah, bergerak dalam bidang
sosial/ pendidikan/kemasyarakatan /keagamaan Islam.
4. Terdaftar di BWI dan Kemenag
(Pendaftaran dapat dilaksanakan setelah proses wakaf bagi nadzir baru).
Tugas Nadzir
1. Pengadministrasian
2. Mengelola dan mengembangkan
harta wakaf sesuai tujuan
3. Mengawasi proses pengelolaan
4. Melaporkan hasil pengelolaan
kepada BWI dan Kemenag.
Nadzir dapat memperoleh imbalan
maksimal 10 % dari hasil pengelolaan.
Benda Tidak Bergerak yang Dapat
Diwakafkan
1. Hak atas tanah sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, baik yang sudah terdaftar
maupun yang belum terdaftar.
2. Bangunan atau bagian bangunan
yang berdiri di atas tanah dan atau bangunan.
3. Tanaman dan benda lain yang
berkaitan dengan tanah, pohon untuk diambil buahnya
4. Hal milik atas satuan rumah
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Benda tidak bergerak lain yang
sesuai dengan sejarah dan peraturan perundang-undangan.
Benda Bergerak yang dapat Diwakafkan
1. Uang Rupiah, saham atau surat
berharga lainnya
2. Logam Mulia
3. Perlengkapan rumah ibadah,
mushaf, buku, pakaian
4. Benda bergerak lain yang
berlaku
5. Kendaraan, mesin, senjata
6. Hak atas kekayaan intelektual
7. Hak sewa sesuai ketentuan syariah
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harta benda wakaf dilarang untuk
dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau
dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya.
Peruntukan harta benda wakaf
Dalam rangka mencapai tujuan dan
fungsi wakaf, harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi:
Sarana atau kegiatan ibadah
Sarana dan kegiatan pendidikan
serta kesehatan
Bantuan kepada fakir miskin,
anak terlantar, yatim piatu, bea siswa
Kemajuan dan peningkatan ekonomi
ummat
Kemajuan kesejahteraan umum
lainnya yang tidak bertentangan dengan Syariah dan peraturan
perundang-undangan.
Macam-macam wakaf
Berdasarkan dari segi peruntukan
kepada siapa wakaf itu dibagi menjadi dua yaitu Wakaf Ahli dan Wakaf Khairi:
Wakaf ahli (Dzurri/’alal aulad)
Wakaf yang ditujukan kepada
orang-orang tertentu, sesorang atau lebi, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf
ini diperuntukkan bagi kepentingan dan jaminan sosial dalam lingkuangan
keluarga (famili), lingkungan kerabat sendiri.
Wakaf khairi
Wakaf yang secara tegas untuk
kepentingan agama (keagamaan) atau kemasyarakatan. Seperti wakaf untuk
pembangunan masjid, sekolah, rumah sakit, panti asuhan,dsb.
Wakaf tunai (uang)
Istilah wakaf uang belum dikenal
di zaman Rasulullah. Wakaf uang (cash waqf ) baru dipraktekkan sejak awal abad
kedua hijriyah. Imam az Zuhri (wafat 124 H) salah seorang ulama terkemuka dan
peletak dasar tadwin al-hadits memfatwakan, dianjurkan wakaf dinar dan dirham
untuk pembangunan sarana dakwah, sosial, dan pendidikan umat Islam. Di Turki,
pada abad ke 15 H praktek wakaf uang telah menjadi istilah yang familiar di
tengah masyarakat. Wakaf uang biasanya merujuk pada cash deposits di
lembaga-lembaga keuangan seperti bank, dimana wakaf uang tersebut biasanya
diinvestasikan pada profitable business activities. Keuntungan dari hasil
investasi tersebut digunakan kepada segala sesuatu yang bermanfaat secara
sosial keagamaan.
Wakaf di berbagai Negara Islam
Wakaf di Saudi Arabia bentuknya
bermacam-macam seperti hotel, tanah, bangunan (rumah) untuk penduduk, toko,
kebun, dan tempat ibadah. Saudi Arabia memiliki Majelis Tinggi Wakaf, yang
mempunyai wewenang untuk membelanjakan hasil pengembangan wakaf dan menentukan
langkah-langkah dalam mengembangkan wakaf berdasarkan syarat-syarat yang
ditentukan wakif dan manajemen wakaf.
Pengelolaan wakaf di Yordania
sangatlah produktif. Adapun hasil pengelolaan wakaf itu dipergunakan antara
lain untuk : memperbaiki perumahan penduduk di beberapa kota, membangun
perumahan petani dan pengembangan tanah pertanian di dekat kota Amman,
mengembangkan tanah pertanian sebagai tempat wisata di dekat Amman, Membangun
sebuah tempat suci di daerah Selatan, mendirikan percetakan mushaf al-Qur’an
dan percetakan,dll. Pengelolaan wakaf di Kerajaan Yordania berdasarkan pada
Undang-undang Wakaf Islam No. 25 tahun 1947, dilakukan oleh Majelis Tinggi
Wakaf di bawah kementerian Wakaf dan Agama Islam.
Wakaf di Mesir, Sebagai negara
yang sudah cukup lama mengelola harta wakaf, Mesir telah berhasil mengembangkan
wakaf untuk pengembangan ekonomi umat. Di negeri ini wakaf telah berkembang
dengan menakjubkan kerena memang dikelola secara profesional. Kekayaan wakaf di
Mesir (Jami’ Al Azhar) pernah sepertiga aset negara Mesir sebelum
dinasionalisasi oleh Presiden Gamal Abdul Naser.
Bangladesh merupakan salah satu
negara yang telah mengembangkan wakaf secara modern, tidak hanya bersifat
properti, tetapi sudah merambah kepada wakaf uang. Jika dilihat dari sisi
jumlah harta wakaf, Bangladesh termasuk negara yang memiliki aset wakaf cukup
banyak. Menurut penjelasan Adiwarman A. Karim, di Bangladesh terdapat lebih
dari 8317 lembaga pendidikan Islam, 123.000 masjid, 55.584 lapangan untuk
shalat ‘ied, 21.163 lahan pemakaman, 1.400 Dargah, dan 3.859 lembaga lainnya,
yang merupakan harta wakaf.
Wakaf di Malaysia dapat
berkembang dengan baik. Praktek pelaksanaan ibadah wakaf di Malaysia mulai
subur dan berkembang pada tahun 1800an yang dipelopori oleh para pedagang
Malaysia. Malaysia memiliki Johor Corporation yang mengelola harta wakaf untuk
diinvestasikan di berbagai sektor ekonomi. Sedangkan Singapura memiliki WAREES
(Waqaf Real Estate Singapore) yang mengelola semua aset wakaf untuk kepentingan
pemberdayaan masyarakat.
Wakaf di Indonesia
Merujuk pada data Departemen
Agama (Depag) RI, jumlah tanah wakaf di Indonesia mencapai 2.686.536.656,68
meter persegi atau sekitar 268.653,67 hektar (ha) yang tersebar di 366.595
lokasi di seluruh Indonesia. Jumlah tanah wakaf yang besar ini merupakan harta
wakaf terbesar di dunia. Sayangnya, tanah wakaf tersebut sebagian besar baru
dimanfaatkan untuk kesejahteraan masjid, kuburan, panti asuhan, dan sarana
pendidikan. Dan hanya sebagian kecil yang dikelola ke arah lebih produktif.
Harta wakaf lebih banyak bersifat diam (77%) daripada yang menghasilkan atau
produktif (23%). fakta perwakafan di Indonesia, punya aset besar tapi belum
dioptimalkan.
Problematika pengelolaan wakaf di
Indonesia:
Kebekuan umat Islam terhadap
wakaf – tradisi wakaf secara lisan tanpa akata yang sah, memunculkan
persengketaan karena dianggap tidak ada bukti tertulis.
Nazhir wakaf
tradisional-konsumtif, tidak mampu memberdayakan wakaf secara profesional
Lemahnya politikal will
pemegang otoritas dalam penentuan kebijakan yang mengatur wakaf.
Pengaruh krisis ekonomi-politik
dalam negeri.
Pemanfaatan wakaf secara
produktif
Beberapa masjid di Timur Tengah
banyak yang dibongkar dan dibangun kembali menjadi beberapa lantai diatas tanah
yang sama. Lantai satu untuk masjid, lantai dua digunakan untuk ruang bimbingan
belajar, lantai tiga untuk balai pengobatan, lantai empat untuk ruang pertemuan
dan serba guna, begitu seterusnya.
Sejak zaman Nabi Muhammad, 14
abad silam, masjid punya beragam fungsi. Tidak hanya tempat ritual murni
(ibadah mahdah): seperti salat dan iktikaf. Komplek masjid juga jadi pusat
pemerintahan, markas militer, sentra pendidikan, bahkan ruang tawanan perang.
Data Departemen Agama (Depag)
menyatakan bahwa tanah wakaf terbesar digunakan buat tempat ibadah (68%),
sisanya untuk sarana pendidikan (8,5%), pemakaman (8,4%), dan lain-lain
(14,6%). Masjid lantas hanya jadi ikon ketimpangan: bangunan mewah yang
berdampingan dengan permukiman miskin. tak jarang pula ada masjid yang lebih
sibuk berdandan, namun abai pada lingkungan. Padahal, masjid bisa dikelola agar
produktif dan memberi nilai tambah.
Dengan logika wakaf, tanah masjid
seharusnya bisa digunakan untuk berbagai usaha produktif, sejauh tak
bertentangan dengan prinsip Islam. Masjid Nabawi pada masa Nabi pun sudah
memberi teladan bahwa fungsinya tidak sekadar ibadah. Usaha produktif juga
mewarnai pola pengelolaan Masjid Nabawi masa kini. Sebagian lahan wakafnya
disewakan untuk hotel berbintang. Untungnya diputar buat operasional rutin
masjid dan kegiatan sosial. Masjid Al-Azhar Kairo, Mesir, dengan sejumlah tanah
wakafnya, juga dikembangkan dengan orientasi profit. Antara lain disewakan buat
kantor-kantor pemerintahan. Al-Azhar sudah lama jadi ikon ”mesin uang”
pendidikan. Karena mampu memberi beasiswa seluruh mahasiswanya dari pelbagai
pelosok dunia, termasuk yang berasal dari Nusantara.
Di Indonesia, meski masih ada
beberapa masjid yang berfungsi sempit, sudah pula bermunculan masjid dengan
aneka guna. Terutama di kota-kota besar, perkembangan model ini makin pesat.
Misalnya Masjid Agung Al-Azhar Jakarta dan Masjid Istiqamah Bandung. Keduanya
sama-sama berkembang menjadi pusat pendidikan.
Seorang muslim yang ingin
mengabadikan hartanya dapat menjadikan wakaf sebagai pilihan utama. Wakaf
merupakan salah satu ibadah yang dianjurkan (sunnah) dalam Islam sebagai salah
satu bentuk sadaqah jariyah, serta merupakan bentuk kebaikan dan ihsan yang
terluas serta banyak manfaatnya..
Wakaf bertujuan untuk memberikan
manfaat atau faedah harta yang diwakafkan kepada orang yang berhak dan
dipergunakan sesuai dengan ajaran syariah Islam. Hal ini sesuai dengan fungsi
wakaf yang disebutkan pasal 5 UU no. 41 tahun 2004 yang menyatakan wakaf
berfungsi untuk mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk
kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.
Unsur-unsur dalam wakaf adalah
wakif, nadzir, harta yang diwakafkan, ikrar wakaf, jangka waktu wakaf, dan
peruntukan wakaf.
Harta yang dapat diwakafkan dapat
berupa tanah, bangunan, uang, surat berharga, kendaraan, mesin, hak kekayaan
intelektual, hak sewa, dan harta lainnya yang sesuai dengan syariah da
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Harta benda wakaf digunakan untuk
membangun fasilitas-fasilitas publik di bidang keagamaan, kesehatan,
pendidikan, pembangunan masjid, rumah sakit, perpustakaan, gedung-gedung, dan
lainnya.
Dalam catatan sejarah
perkembangan dunia Islam, wakaf telah memberikan kontribusi yang luar biasa
pada perekonomian maupun kemaslahatan umat. Umat Islam menyadari bahwa wakaf
merupakan salah satu sumber ekonomi yang sangat besar potensinya, namun hingga
saat ini hanya sedikit harta wakaf yang dimanfaatkan secara maksimal dan
produktif
DAFTAR PUSTAKA
Al-Kabisi, Muhammad Abid
Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama Dan Terlengkap Tentang Fungsi
Dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesain Sengketa Wakaf. Jakarta: DDR dan IIMan.
Tim Penyusun. 2006. Perkembangan
Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen
Bimbingan Masyarakat Islam Departemen Agama RI.
Tim Penyusun. 2006. Fiqih Waqaf.
Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Dirjen Bimbingan Masyarakat Islam
Departemen Agama RI.
Hasan, Sudirman. 2011. Wakaf Uang
Tunai: Perspektif fiqih, Hukum Positif, dan manajemen. Malang: UIN Maliki
Press.
Djunaedi, Ahmad, dan Al-Asyar,
Thobieb. 2006. Menuju Era Wakaf Produktif: Sebuah Upaya Progrsif Untuk
Pemberdayaan Ummat. Jakarta: Mitra Abadi Press.
Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun
2004 Tentang Wakaf
Demikianlah Artikel Global Waqf Indonesia
Sekianlah artikel
Global Waqf Indonesia
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Global Waqf Indonesia dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2017/02/global-waqf-indonesia.html
0 Response to " Global Waqf Indonesia "
Posting Komentar