Judul : Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk
link : Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk
Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk
Oleh : Bambang Trim
Kalangan perbukuan menjadi ramai setelah "gelas" berjenama pajak royalti dipecahkan oleh Tere Liye, penulis novel pop yang menarik perhatian dalam beberapa tahun ini. Tidak kurang akhirnya Menkeu Sri Mulyani angkat bicara, merespons bahwa ia telah meminta Dirjen Pajak untuk meninjau pajak royalti bagi penulis. Pasalnya, Tere Liye merasakan ketidakadilan dan merasa pertanyaannya tidak direspons atau ditindaklanjuti pemerintah setelah sekian lama.
Alhasil, Tere Liye mengumumkan penghentian peredaran bukunya melalui dua penerbit besar yaitu Gramedia dan Republika serta tidak akan dicetak ulang. Sontak sikap ini menarik perhatian yang terjadi sehari menjelang diselenggarakannya perhelatan Indonesia International Book Fair 2017 yang diselenggarakan oleh Ikapi atas dukungan pemerintah. Respons pun bermunculan dari berbagai kalangan, terutama para penulis buku.
Saya sendiri merintis karier sebagai penulis buku sejak 1994. Saya pernah membahas soal penulis yang tidak mungkin kaya dari royalti buku. Semata-mata penghasilan royalti buku tidak dapat diandalkan bukan hanya karena pajak, melainkan ada banyak faktor yang memengaruhinya--termasuk faktor daya jual. Namun, untuk kasus Tere Liye yang konon novelnya laku bak kacang goreng, royaltinya pasti nendang dan pajak sangat memengaruhi pendapatannya jika ia memang mengandalkan penghasilan hanya dari buku.
Sikap Tere Liye yang memberi efek mencuri perhatian ini saya kira bagus untuk menarik orang, terutama pemerintah sendiri ngeh bahwa saat ini telah ada UU No. 3 Tahun 2017 tentang Sistem Perbukuan (Sisbuk). Saya terlibat di dalamnya sebagai tim pendamping ahli. Dengan posisi sebagai profesional di dunia perbukuan, saya telah memberikan pandangan-pandangan, termasuk bagaimana harkat dan martabat para pelaku perbukuan, terutama artisan-artisannya untuk diangkat. Selama ini dunia perbukuan memang minim perhatian dari pemerintah dan buku masih malu-malu--meminjam ungkapan Ignas Kleden--diposisikan sebagai perilaku, produk, dan proses produksi budaya. Padahal, tahun 2015 Indonesia telah mendapat kehormatan luar biasa sebagai tamu di dalam pameran buku terbesar dan tertua sejagat, Frankfurt Book Fair.
Karena itu, Pasal 35 ayat (1)d tentang Kewenangan Pemerintah pada UU Sisbuk menyatakan bahwa Pemerintah Pusat berwenang memberikan insentif fiskal untuk pengembangan perbukuan. Insentif fiskal didefinisikan sebagai berikut: kebijakan pemerintah dalam bidang keuangan yang ditujukan untuk mendorong pertumbuhan industri perbukuan nasional. Artinya, dengan kewenangan yang diatur UU, Pemerintah dapat mengeluarkan kebijakan terkait pajak royalti bagi penulis atau dunia perbukuan, misalnya menghapus PPn buku seluruhnya tanpa terkecuali (selama ini hanya buku pelajaran dan kitab suci yang bebas pajak).
UU Sisbuk disusun atas inisiatif DPR sejak 2015, tetapi embrionya sudah disiapkan sejak 1995 setelah Kongres Perbukuan Nasional I di Jakarta. Idenya sudah dilontarkan Ajip Rosidi (ketika itu Ketua Ikapi) sejak 1975. Mantap sekali bukan perjuangan mengangkat industri perbukuan di negeri ini. Puncaknya UU Sisbuk No. 3/2017 ditandatangani oleh Presiden Jokowi pada Mei 2017. Masih baru dan hangat sehingga wajar jika ada yang tidak ngeh.
Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan UU Sisbuk juga sedang disusun. Tampaknya di dalam PP-lah dapat ditegaskan kembali soal pajak royalti bagi para pelaku perbukuan, seperti penulis, penerjemah, penyadur, ilustrator, dan desainer. Pasal 12 menegaskan pelaku perbukuan ini: Pelaku perbukuan terdiri atas Penulis, Penerjemah, Penyadur, Editor, Desainer, Ilustrator, Pencetak, Pengembang Buku Elektronik, Penerbit, dan Toko Buku.
Khusus hak penulis terdapat pada Pasal 13 yang berbunyi: Penulis berhak: a. memiliki hak cipta atas naskah tulisannya; b. mengalihkan hak cipta atas Naskah Buku karangan atau tulisan yang dimiliki; c. memperoleh data dan informasi tiras Buku dan penjualan Buku secara periodik dari Penerbit; d. membentuk organisasi profesi; dan e. mendapatkan imbalan atas hak penerbitan naskah tulisannya.
Penulis disebut kali pertama karena ialah yang berperan menghasilkan bahan baku penerbitan buku berupa naskah buku. Tanpa penulis, industri buku akan mandek, bahkan mati. Karena itu, penulis punya posisi yang sangat kuat sebagai mitra penerbit. Seperti halnya sikap yang diambil Tere Liye, penerbit pun tidak dapat berbuat apa-apa.
Bayangkan kalau semua penulis buku mogok tidak mau menulis naskah buku lagi, tetapi lebih senang menulis status di media sosial, apa yang terjadi? Tingkah laku, produk, dan proses produksi budaya kita pun akan mengalami pergeseran drastis. Mungkin para penerbit akan memberi tempat kepada para penulis asing untuk berkiprah di Indonesia. Sama halnya yang terjadi pada dunia film beberapa tahun ke belakang ketika film-film nasional mati suri dan hanya dihiasi film-film berbau seks dan horor.
UU Sisbuk sudah tersedia; implementasinya harus segera. Efek Tere Liye baru sebagian kecil dari persoalan perbukuan kita yang patut dibenahi. Kalau buku sudah dipandang sebelah mata, bagaimana mungkin dapat kita membacanya?
Demikianlah Artikel Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk
Sekianlah artikel
Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2017/09/efek-tere-liye-momentum-ngeh-uu-sisbuk.html
0 Response to " Efek Tere Liye: Momentum Ngeh UU Sisbuk "
Posting Komentar