Judul : Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja)
link : Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja)
Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja)
Dalam lingkungan persaingan bisnis yang makin ketat, nyaris semua perusahaan menawarkan program insentif tertentu bagi para pelanggannya—yang lumrah disebut “insentif penjualan.” Lewat tulisan ini saya ingin membahas mengenai cara menjurnal transaksi insentif penjualan (point belanja.)
Masyarakat umum mungkin tidak begitu familiar dengan istilah “insentif penjualan,” tetapi bila saya mengatakan: “Setiap belanja dengan kelipatan tertentu, anda—sebagai pelanggan—memperoleh 5 point, dan setiap 200 point yang berhasil anda kumpulkan bisa ditukar dengan barang senilai Rp 50,000” mungkin mereka—terutama ibu-ibu—sangat familiar. Nah itulah yang dimaksud dengan insentif penjualan yang oleh masyarakat umum dikenal dengan istilah “point belanja.”
Bentuk insentif penjualan bisa bermacam-macam, tidak selalu dalam bentuk point. Misalnya:
- Satu tiket gratis terbang Jakarta – Singapore bagi pelanggan Air Asia yang sudah terbang sebanyak 5 kali return Jakarta-Singapore-jakarta.
- Satu kilogram detergent gratis untuk setiap penukaran 20 bungkus barang yang sama.
- Satu cone ice cream untuk setiap penukaran 25 stick ice cream tertentu
- Dan lain sebagainya.
Yang jelas, semua program tersebut dimaksudkan untuk merangsang pelanggan dan calon pelanggan untuk berbelanja barang yang dipromosikan secara terus-menerus. Nah itu dari sisi marketingnya.
Bagaimana dari sisi akuntansinya?
Prinsip kehati-hatian (conservatism principle) yang dianut oleh akuntansi mengamanatkan agar:
- Di satu sisinya, pendapatan/laba yang belum terjadi tidak boleh diakui;
- Di sisi lainnya, pontensi kewajiban/kerugian sudah harus diakui.
Merujuk pada prinsip tersebut, maka insentif penjualan (atau point belanja dalam hal ini) di dalam buku perusahaan yang menyelenggarakan program tersebut, dari perspekstif akuntansi adalah kewajiban (liability) jangka pendek. HANYA SAJA, kepada siapa dan berapa nilai kewajiban tersebut belum diketahui—setidaknya sampai pelanggan benar-benar menukarkan point yang berhasil mereka kumpulkan.
Persisnya, bagaimana perlakuan akuntansi untuk point tersebut? Kapan kewajiban tersebut diakui dan bagaimana cara menjurnalnya?
Patokan dasar untuk menentukan kapan kewajiban atas insentif penjualan diakui:
[quote]Point (atau bentuk insentif lain) yang belum ditukarkan hingga penutupan buku—dan diperkirakan baru akan ditukarkan di periode berikutnya, harus diakui (dilaporkan) sebagai kewajiban di periode sekarang.[/quote]
Untuk lebih jelasnya, saya sudah buatkan satu contoh kasus yang mudah-mudahan bisa diaplikasikan pada kasus-kasus sejenis, meskipun cara dan jenis barang penukarnya mungkin berbeda.
Contoh kasus:
JAK Mart, retailer, menawarkan insentif penjualan berupa 5 point belanja untuk setiap pembelian satu bungkus beras kemasan 5 kg seharga Rp 42,550 yang dilakukan oleh para pembelinya. Setiap akumulasi 100 point (atau setara dengan pembelian 20 kantong beras) bisa ditukarkan dengan satu handuk JAK Mart senilai Rp 50,000. Harga Pokok Penjualan handuk tersebut adalah Rp 30,000.
Sampai menjelang penutupan buku periode Maret, penjualan beras JAK Mart mencapai Rp 85,100,000, setara dengan 2000 kantong beras. Itu sama dengan 10,000 point (=2000 x 5 point). Artinya ada potensi 10,000 point yang akan diklaim (ditukarkan) oleh pelanggan. Artinya juga, ada POTENSI pengeluaran 100 pcs handuk (=10,000/100 point) atas transaksi penjualan beras di bulan Maret—yang kemungkinan besar baru akan diklaim di bulan April.
Apakah JAK Mart harus mengakui semua potensi tersebut sebagai kewajiban (liability) di dalam laporan keuangan periode Maret?
Masalahnya: Belum tentu semuanya ditukarkan. JAK Mart belum tahu pasti berapa point persisnya akan diklaim oleh pelanggan.
- Bisa saja 10,000 point tersebut tidak terdistribusi secara merata.
- Bisa saja ada pelanggan yang membeli beras bukan karena terdorong oleh program point belanja yang diselenggarakan oleh JAK Mart—sehingga tidak menyimpan struck belanja sebagai bukti pembelian dengan teratur, yang pada akhirnya tidak pernah menukarkan point yang sudah mereka kumpulkan.
- Ada kemungkinan pembeli yang belanja sekali waktu saja (mereka lebih sering belanja di supermarket besar,) sehingga tidak punya cukup point untuk ditukarkan.
Artinya: tidak ada cara untuk mengetahuinya dengan pasti. Bisa dibilang unsur “uncertainties” (ketidakpastian)-nya cukup tinggi.
Jika anda sebagai pegawai accountingnya JAK Mart, apa yang harus anda lakukan—agar laporan keuangan JAK Mart mengikuti prinsip kehati-hatian yang dianut oleh akuntansi sementara angkanya tidak bisa dihitung secara pasti?
Ini sama dengan membuat “Cadangan Piutang Tak Tertagih” atau “Piutang Ragu-ragu”. Estimasi dibuat dengan berkaca pada data transaksi di masa lalu (historical data.) Sehingga yang perlu anda lakukan adalah memeriksa transaksi yang sama di bulan-bulan sebelumnya—semakin jauh ditarik ke belakang semakin bagus.
Dalam contoh kasus ini, kita tarik satu bulan saja. Karena yang akan diakui adalah transaksi bulan Maret, maka yang diperiksa adalah transaksi bulan Februari sebagai dasar perhitungan estimasi. Kita mulai:
Langkah-1. Lihat angka penjualan beras di bulan Februari. Laporan penjualan beras JAK Mart di bulan februari menunjukan angka Rp 63,825,000. Itu setara dengan 1500 kantong beras (=63,825,000/42,500) dan setara dengan 7500 point (=1500 kantong x 5).
Langkah-2. Lihat jumlah handuk yang dikeluarkan untuk klaim penukaran point pembelian beras di bulan Februari. Dari perhitungan di langkah pertama, mestinya ada potensi pengeluaran sebanyak 75 handuk (7500 point/100 point). Ternyata data pengeluaran handuk di bulan Februari menunjukan hanya 50 handuk.
Langkah-3. Hitung rasio pengeluaran handuk sebenarnya di bulan februari dibandingkan dengan potensinya. Dari data yang ditemukan di langkah pertama dan langkah kedua di atas bisa dihitung rasio antara kenyataan jumlah handuk yang dikeluarkan dengan potensinya. Kenyataan handuk keluar hanya 50 handuk, padahal potensinya mencapai 75 handuk. Sehingga rasionya 50/75 = 67% saja (dibulatkan ke atas.)
Langkah-4. Aplikasikan rasio bulan February dengan data saat ini (Maret). Dari potensi pengeluaran handuk untuk bulan Maret yang skitar 100 pcs handuk (lihat perhitungan di atas), maka estimasi jumlah handuk yang akan dikeluarkan dibulan maret adalah sebanyak 100 pcs x 67% = 67 pcs.
Langkah-5. Konversikan estimasi pengeluaran handuk atas transaksi Maret—yang kemungkinan baru akan terjadi di bulan April—ke dalam harga pokok handuk. Karena harga pokok handuk adalah Rp 30,000/pc, maka total estimasi harga pokok handuk yang akan dikeluarkan atas transaksi penjualan beras bulan Maret adalah Rp 30,000 x 67 pcs = Rp 2,010,000.
Langkah-6. Akui estimasi kewajiban untuk mengeluarkan handuk atas transaksi penjualan beras bulan Maret dengan mendebit akun harga pokok penjualanhanduk di satu sisinya dan mengkredit akun “Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan – Handuk” di sisi lainnya. Pengakuan ini dilakukan dengan memasukan jurnal:
[Debit]. Harga Pokok Penjualan – Handuk = Rp 2,010,000
[Kredit]. Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan – Handuk = Rp 2,010,000
[Kredit]. Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan – Handuk = Rp 2,010,000
Dengan dimasukannya jurnal tersebut, maka setelah penutupan buku bulan Maret, Neraca JAK Mart akan menunjukan adanya ‘Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan‘ sebesar Rp 2,010,000, dan pendapatan JAK Mart di periode yang sama akan berkurang sebesar Rp 2,010,000 akibat pengakuan harga pokok penjualan handuk. Dengan demikian maka prinsip kehati-hatian sudah terpenuhi.
Catatan: Perlu diingat bahwa pengakuan ‘Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan‘ masih berupa estimasi. Pada kenyataannya nanti (di periode berikutnya,) ada kemungkinan point belanja yang ditukarkan lebih kecil atau lebih besar dibandingkan estimasi yang telah dibuat. Jika lebih kecil tentunya tidak jadi masalah. Sebaliknya, jika lebih besar akan jadi masalah. Untuk itu, tidak ada salahnya untuk menaikan cadangan beberapa persen, tentunya dengan persetujuan pihak manajemen perusahaan.
Selanjutnya, setiap klaim penukaran point pada periode berikutnya diakui sebagai penghapusan utang di satu sisinya, dan penurunan persediaan handuk di sisi lainnya.
Misalnya: Tanggal 02 April, salah seorang pelanggan menukarkan 200 point belanja beras dan berhak atas 2 pcs handuk, maka dicatat dengan jurnal:
[Debit]. Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan – Handuk = Rp 60,000
[Kredit]. Persediaan – Handuk = Rp 60,000
[Kredit]. Persediaan – Handuk = Rp 60,000
Note: 2 pcs handuk x 30,000 = 60,000
Dengan dimasukannya jurnal ini, maka utang point belanja yang belum dibayarkan akan menurun di satu sisinya, diimbangi oleh penurunan persediaan handuk senilai yang sama di sisi lainnya.
Sebagai bagian dari pengendalian utang, setiap menjelang akhir periode buku anda perlu memeriksa saldo akhir ‘Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan‘ ini. Jika saldonya positif, maka artinya kenyataan yang terjadi lebih kecil dari estimasi di periode sebelumnya. Demikian sebaliknya.
Pertanyaannya: Apakah selisih antara estimasi dengan kenyataan tersebut perlu dibuatkan jurnal pembetulan (koreksi)?
Saya (penulis) pribadi menganjurkan agar: Jika masa program insentif penjualan (point belanja) masih akan berlangsung, selisih tersebut tidak usah dibuatkan koreksi. Koreksi dilakukan pada saat program tersebut dinyatakan berakhir oleh manajemen perusahaan.
Bagaimana membuat jurnal koreksi atas selisih estimasi dengan kenyataan?
Katakanlah program penukaran point belanja JAK Mart direncanakan hanya berlangsung hingga akhir April. Total handuk yang dikeluarkan hingga akhir april hanya sebanyak 60 pcs, sementara jumlah pengeluaran handuk yang dicadangkan di periode Maret adalah sebanyak 67 pcs. Itu artinya ada selisih 7 pcs. Artinya juga, telah terjadi kelebihan pengkuan utang sebesar Rp 30,000 x 7 pcs = Rp 210,000 di Neraca, dan kekurangan pengakuan laba sebesar yang sama di Laporan Laba Rugi periode Maret. Karena program penukaran telah berakhir, utang yang lebih diakui dan laba yang kurang diakui perlu dikoreksi. Jurnal koreksinya:
[Debit]. Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan – Handuk = Rp 210,000
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 210,000
[Kredit]. Laba Ditahan = Rp 210,000
Setelah jurnal dimasukan, maka saldo ‘Utang Point Belanja Yang Belum Dibayarkan’ akan menurun sebesar 210,000—sehingga menjadi nol (alias terhapus sepenuhnya) dan ‘Laba Ditahan’ akan bertambah sebesar yang sama—sehingga kekurangan pengakuan laba di bulan Maret telah terkoreksi dan menjadi benar.
Kemungkinan pertanyaan lainnya: Bagimana jika insentif belanjanya bermacam-macam dengan jenis barang penukar yang berbeda-beda?
Langkah-langkah di atas bisa diaplikasikan pada setiap program insentif yang diselenggarakan. Untuk tujuan pengendalian, anda bisa membuat akun utang sendiri-sendiri untuk tiap jenis barang penukar. Tetapi jika jumlah programnya mencapai puluhan, Neraca akan menjadi sangat panjang. Untuk itu, sebaiknya beberapa program digabungkan ke dalam satu akun. Toh anda bisa lihat detailnya di buku besar. Masih ada pertanyaan yang saya lewatkan? Silahkan disampaikan via ruang komentar.
Demikianlah Artikel Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja)
Sekianlah artikel
Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja)
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja) dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2016/07/cara-menjurnal-transaksi-insentif.html
0 Response to " Cara Menjurnal Transaksi Insentif Penjualan (Point Belanja) "
Posting Komentar