Welcome to MAGISTER AKUNTANSI - The Perfect Partner For Your Business
Contact : Phone 0821-2566-2195 Wa 0821-2566-2195 KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN | Magister Akuntansi

Labels

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN - Hallo sahabat Magister Akuntansi , Pada Artikel yang anda baca kali ini dengan judul KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN , kami telah mempersiapkan artikel ini dengan baik untuk anda baca dan ambil informasi didalamnya. mudah-mudahan isi postingan Artikel Perpajakan , yang kami tulis ini dapat anda pahami. baiklah, selamat membaca.

Judul : KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN
link : KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN

Baca juga


KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN


1. Pendahuluan
Peran pajak dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia terus meningkat terhadap seluruh pendapatan negara. Dalam APBN tahun anggaran 2002, target penerimaan yang berasal dari pajak untuk tahun anggaran 2002 sampai dengan 2005 terus meningkat. Peningkatan penerimaan APBN yang berasal dari pajak direncanakan akan berlangsung terus sampai APBN menjadi APBN mandiri pada tahun 2007.

Langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan dari sektor perpajakan dimulai dengan melakukan reformasi perpajakan secara menyeluruh pada tahun 1983, dan sejak saat itulah, Indonesia menganut sistem self assesment. Penerapan self assesment system akan efektif apabila kondisi kepatuhan sukarela (voluntary compliance) pada masyarakat telah terbentuk (Darmayanti, 2004). Kenyataan yang ada di Indonesia menunjukkan tingkat kepatuhan masih rendah, hal ini bisa dilihat dari belum optimalnya penerimaan pajak yang tercermin dari tax gap dan tax ratio.


Data yang akurat mengenai berapa jumlah tax gap Indonesia belum tersedia. Namun dalam pidato pengukuhannya sebagai guru besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Gunadi mengutip hasil laporan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) tentang audit kinerja Direktorat Jenderal Pajak, bahwa Indonesia mengalami tax gap yang cukup signifikan. (http:\\www.indodigest.com, 15 Maret 2006). Dari sisi lain, tax ratio Indonesia paling rendah di kawasan ASEAN yaitu hanya rata-rata sebesar 12,2 - 13,5 % untuk tahun 2001 – 2006 (Berita Pajak, 1 September 2005). Sementara itu, tax ratio negara-negara ASEAN sebesar: Malaysia (20,17%), Singapura (21,4%), Brunai (18,8%), dan Thailand (17,28%). Angka tax gap yangsignifikan dan tax ratio yang masih rendah ini menunjukkan usaha memungut pajak (tax effort) Indonesia rendah (Gunadi, 2004).

Untuk mencapai target pajak, perlu ditumbuhkan terus menerus kesadaran dan kepatuhan masyarakat wajib pajak untuk memenuhi kewajiban pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Mengingat kesadaran dan kepatuhan wajib pajak merupakan faktor penting bagi peningkatan penerimaan pajak, maka perlu secara intensif dikaji tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan wajib pajak, khususnya wajib pajak badan.

Penelitian mengenai kepatuhan pajak sudah sering dilakukan. Beberapa peneliti menggunakan kerangka model Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan perilaku kepatuhan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi (Blanthorne 2000; Bobek 2003). Model TPB yang digunakan dalam penelitian memberikan penjelasan yang signifikan, bahwa perilaku tidak patuh (noncompliance) wajib pajak sangat dipengaruhi oleh variabel sikap, norma subyektif, dan kontrol keperilakuan yang dipersepsikan. Bradley (1994) dan Siahaan (2005) melakukan penelitian kepatuhan wajib pajak badan dengan responden tax professional. Penelitian keduanya bukan merupakan penelitian perilaku. Tax professional adalah orang profesional di perusahaan yang ahli di bidang perpajakan. Oleh karena itu, untuk menjelaskan perilaku WP badan yang dalam hal ini diwakili oleh tax professional perlu menggunakan teori perilaku individu dan perilaku organisasi.

2. Landasan Teori dan Pengembangan Hipotesis
2.1 Pengaruh sikap terhadap niat berperilaku
Sikap adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu obyek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada obyek tersebut.

Sikap mempunyai peran yang penting dalam menjelaskan perilaku seseorang dalam lingkungannya, walaupun masih banyak faktor lain yang mempengaruhi perilaku, seperti stimulus, latar belakang individu, motivasi, dan status kepribadian. Secara timbal balik, faktor lingkungan juga mempengaruhi sikap dan perilaku.

Dalam Theory of Planned Behavior (TPB)  1: Theory of Planned Behavior dalam lampiran), perilaku yang ditampilkan oleh individu timbul karena adanya niat untuk berperilaku. Sedangkan munculnya niat berperilaku ditentukan oleh 3 faktor penentu yaitu: (1) behavioral beliefs, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut (beliefs strength and outcome evaluation), (2) normative beliefs, yaitu keyakinan tentang harapan normatif orang lain dan motivasi untuk memenuhi harapan tersebut (normative beliefs and motivation to comply), dan (3) control beliefs, yaitu keyakinan tentang keberadaan hal-hal yang mendukung atau menghambat perilaku yang akan ditampilkan (control beliefs) dan persepsinya tentang seberapa kuat hal-hal yang mendukung dan menghambat perilakunya tersebut (perceived power). Hambatan yang mungkin timbul pada saat perilaku ditampilkan dapat berasal dari dalam diri sendiri maupun dari lingkungan. Secara berurutan, behavioral beliefs menghasilkan sikap terhadap perilaku positif atau negatif, normative beliefs menghasilkan tekanan sosial yang dipersepsikan (perceived social pressure) atau norma subyektif (subjective norm) dan control beliefs menimbulkan perceived behavioral control atau kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (Ajzen, 2002: 2).

Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000), dan Hanno & Violette (1996) memanfaatkan Theory of Planned Behavior (TPB) untuk menjelaskan kepatuhan pajak Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP). Temuan Bobek & Hatfield (2003), dan Hanno &

Violette (1996) adalah, sikap terhadap ketidakpatuhan pajak berpengaruh secara signifikan terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Sedangkan Blanthorne (2000), tidak bisa membuktikan pengaruh sikap terhadap ketidakpatuhan terhadap niat karena model pengukuran sikap yang digunakan tidak valid. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H1 : Sikap terhadap ketidakpatuhan pajak berpengaruh terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh.

2.2 Pengaruh norma subyektif (subjective norm) terhadap niat berperilaku
Norma Subyektif adalah persepsi individu tentang pengaruh sosial dalam membentuk perilaku tertentu. (Ajzen, 1988). Norma subyektif merupakan fungsi dari harapan yang dipersepsikan individu dimana satu atau lebih orang di sekitarnya (misalnya, saudara, teman sejawat) menyetujui perilaku tertentu dan memotivasi individu tersebut untuk mematuhi mereka.(Ajzen, 1991). Penelitian tentang kepatuhan Wajib Pajak yang lalu menunjukkan, bahwa teman sejawat mempunyai pengaruh penting untuk memprediksi perilaku Wajib Pajak (Jackson dan Milliron, 1986; Roth et al., 1989; Steenbergen, McGraw and Scholz, 1992). Bobek & Hatfield (2003) dan Hanno & Violette (1996) telah membuktikan secara empiris bahwa norma subyektif secara positif signifikan mempengaruhi niat ketidakpatuhan WP. Indikator norma subyektif yang digunakan oleh Bobek & Hatfield (2003) adalah: anggota keluarga, pimpinan perusahaan, teman, pasangan, sedangkan Hanno & Violette (1996) menggunakan indikator keluarga. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:

H2 : Norma subyektif berpengaruh terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh.

2.3 Pengaruh kewajiban moral (moral obligation) terhadap niat berperilaku
Ajzen (1991) mengatakan, bahwa model TPB masih memungkinkan untuk ditambahi variabel prediktor lain selain ketiga variabel pembentuk niat yang telah dijelaskan. Kewajiban moral merupakan norma individu yang dipunyai oleh seseorang, namun kemungkinan tidak dimiliki oleh orang lain. Norma individu ini tidak secara eksplisit termasuk dalam model TPB. Blanthorne (2000), Kaplan, Newbery & Reckers (1997), Hanno & Violette (1996) telah membuktikan secara empiris, bahwa kewajiban moral berpengaruh secara negatif signifikan terhadap niat ketidakpatuhan pajak. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:

H3 : Kewajiban moral berpengaruh terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh.


2.4 Pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived behavioral control) terhadap niat berperilaku
Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan dalam konteks perpajakan adalah seberapa kuat tingkat kendali yang dimiliki seseorang Wajib Pajak dalam menampilkan perilaku tertentu, seperti melaporkan penghasilannya lebih rendah, mengurangkan beban yang seharusnya tidak boleh dikurangkan ke penghasilan, dan perilaku ketidakpatuhan pajak lainnya (Bobek dan Hatfield, 2003). Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan ini memiliki dua pengaruh yaitu pengaruh terhadap niat berperilaku dan terhadap perilaku. Ajzen (2002) mengatakan bahwa kontrol keperilakuan mempengaruhi niat didasarkan atas asumsi bahwa kontrol keperilakuan yang dipersepsikan oleh individu akan memberikan implikasi motivasi pada orang tersebut.

Dalam arti bahwa, niat akan terbentuk apabila individu merasa mampu untuk menampilkan perilaku. Bobek & Hatfield (2003) dan Blanthorne (2000) dalam penelitiannya tidak bisa membuktikan bahwa pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan cukup signifikan. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:

H4 : Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh terhadap niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh.

2.5 Pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan (perceived behavioral control) terhadap perilaku

Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung (melalui niat) terhadap perilaku (Ajzen, 1988). Pengaruh langsung dapat terjadi jika terdapat actual control di luar kehendak individu sehingga mempengaruhi perilaku.

Semakin positif sikap terhadap perilaku dan norma subyektif, semakin besar kontrol yang dipersepsikan seseorang, maka semakin kuat niat seseorang untuk memunculkan perilaku tertentu. Akhirnya, sesuai dengan kondisi pengendalian yang nyata di lapangan (actual behavioral control) niat tersebut akan diwujudkan jika kesempatan itu muncul. Namun sebaliknya, perilaku yang dimunculkan bisa jadi bertentangan dengan niat individu tersebut. Hal tersebut terjadi karena kondisi di lapangan tidak memungkinkan memunculkan perilaku yang telah diniatkan sehingga dengan cepat akan mempengaruhi perceived behavioral control individu tersebut. Perceived behavioral control yang telah berubah akan mempengaruhi perilaku yang ditampilkan sehingga tidak sama lagi dengan yang diniatkan. Hasil penelitian empiris Bobek & Hatfield (2003) dan Blanthorne (2000) menemukan bahwa pengaruh kontrol keperilakuan yang dipersepsikan terhadap ketidakpatuhan pajak tidak cukup signifikan. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H5 : Kontrol keperilakuan yang dipersepsikan berpengaruh secara langsung terhadap ketidakpatuhan pajak badan.

2.6 Pengaruh niat berperilaku terhadap perilaku
Niat berperilaku merupakan variabel perantara dalam membentuk perilaku (Ajzen, 1988). Hal ini berati, pada umumnya manusia bertindak sesuai dengan niat atau tendensinya. Variabel laten niat diukur dengan 2 indikator sebagaimana yang pernah dilakukan oleh beberapa peneliti kepatuhan WP, yaitu kecenderungan dan keputusan (Blanthorne, 2000; Bobek, 2003). Kecenderungan adalah kecondongan atau tendensi pribadi tax professional untuk patuh atau tidak patuh dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Keputusan adalah keputusan pribadi yang dipilih tax professional untuk mematuhi atau tidak mematuhi peraturan perpajakan. Bobek & Hatfield (2003), Blanthorne (2000) dan Hanno & Violette (1996), telah membuktikan secara empiris, bahwa niat berpengaruh secara positif signifikan terhadap ketidakpatuhan pajak. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H6 : Niat tax professional untuk berperilaku tidak patuh berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pajak badan.

2.7 Pengaruh kondisi keuangan terhadap kepatuhan pajak
Kondisi keuangan adalah kemampuan keuangan perusahaan yang tercermin dari tingkat profitabilitas (profitability) dan arus kas (cash flow). Perusahaan yang tingkat profitabilitasya tinggi tidak menjamin likuiditasnya baik. Hal ini dimungkinkan karena rasio profitabilitas dihitung dari laba akuntansi dibagi dengan investasi, aset, atau ekuitas, yang mana laba akuntansi menganut basis akrual. Oleh karena itu, untuk mengukur kondisi keuangan perusahaan, selain profitabilitas, ukuran penting yang lain adalah arus kas.

Profitabilitas perusahaan (firm profitahility) telah terbukti merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan perusahaan dalam mematuhi peraturan perpajakan karena profitabilitas akan menekan perusahaan untuk melaporkan pajaknya (Slemrod, 1992, Bradley, 1994, dan Siahaan, 2005). Perusahaan yang mempunyai profitabilitas yang tinggi cenderung melaporkan pajaknya dengan jujur dari pada perusahaan yang mempunyai profitabilitas rendah. Perusahaan dengan profitabilitas rendah pada umumnya mengalami kesulitan keuangan (financial difficulty) dan cenderung melakukan ketidakpatuhan pajak.

Demikian pula, perusahaan yang mengalami kesulitan likuiditas ada kemungkinan tidak mematuhi peraturan perpajakan dalam upaya untuk mempertahankan arus kasnya. Pada sisi yang lain suatu perusahaan yang memiliki penghasilan bersih di atas rata-rata mungkin memiliki dorongan untuk tidak mematuhi kewajiban pajaknya dalam upaya untuk meminimalkan political visibility (Slemrod; Watts and Zimmerman, dalam Siahaan, 2005 dan Bradley, 2004). Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H7 : Persepsi tentang kondisi keuangan perusahaan berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pajak badan.

2.8 Pengaruh fasilitas perusahaan terhadap kepatuhan pajak
Sikap manajemen mempengaruhi keputusan perusahaan untuk mempekerjakan karyawan yang memiliki keahlian di bidang perpajakan (tax professional). Fasilitas yang diberikan perusahaan, diharapkan dapat menjamin ahwa tax professional tersebut akan memiliki kemampuan untuk menyajikan semua informasi yang dibutuhkan untuk pengambilan keputusan di bidang perpajakan.

Fasilitas perusahaan dapat mengurangi ketidakpastian bagi tax professional dan dapat menjamin, bahwa mereka memiliki semua data yang dibutuhkan untuk membuat suatu pelaporan yang dapat menginformasikan semuanya secara lengkap (fully informed reporting decision). Dalam situasi di mana tax professional memperoleh fasilitas yang memadai, maka ketidakpastian yang dihadapi oleh tax professional hanya berasal dari atau hanya berkaitan dengan ketidakpastian yang ada dalam peraturan perpajakan (tax law) itu sendiri. Hasil kajian Siahaan (2005) dan Bradley (1994) telah memberikan bukti empiris bahwa fasilitas perusahaan berpengaruh secara positif signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H8 : Persepsi tentang fasilitas perusahaan berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pajak badan.

2.9 Pengaruh iklim keorganisasian terhadap perilaku
Perilaku individu dipengaruhi oleh lingkungan dimana individu tersebut berada. Diduga, keputusan untuk mematuhi peraturan perpajakan bagi suatu perusahaan dipengaruhi oleh iklim perusahaan. Iklim keorganisasian merupakan persepsi bersama (shared perception). Reichers dan Schneider (1990), mengatakan bahwa iklim keorganisasian merupakan persepsi bersama dari kebijakan-kebijakan organisasi, praktik-praktik dan prosedur-prosedur, baik formal maupun tidak formal.

Iklim keorganisasian yang positif akan mendukung tax profesional untuk berperilaku patuh. Sebaliknya, jika iklim keorganisasiannya negatif akan mendorong tax professional yang patuh menjadi tidak patuh dan yang tidak patuh semakin tidak patuh. Vardi (2001) secara empiris telah membuktikan bahwa iklim keorganisasian berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku organizational misbehavior (OMB). Lussier (2005: 487) menjelaskan, bahwa pada umumnya 7 dimensi iklim keorganisasian yang sering diteliti adalah sebagai berikut: (1) struktur, (2) kewajiban, (3) imbalan, (4) keakraban (warmth), (5) dukungan, (6) identitas organisasi dan loyalitas, dan (7) risiko. Hipotesa penelitian yang diajukan adalah:
H9 : Persepsi tentang iklim keorganisasian berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pajak badan.




Demikianlah Artikel KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN

Sekianlah artikel KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.

Anda sekarang membaca artikel KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/04/kepatuhan-wajib-pajak-badan.html

0 Response to " KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN "