Judul : Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan
link : Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan
Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan
Menghadapi interview kerja pertamakalinya, gampang-gampang susah (atau susah-susah gampang). Terlebih-lebih untuk posisi akuntansi-keuangan.
Saya katakan gampang karena sesusungguhnya tidak ada teori—selain hal-hal common-sense macam “lakukan eye-contact, jabat tangan interviewer dengan penuh rasa percaya diri, bal bla bla bla…..”
Dan, saya katakan susah karena saya meyakini, setidaknya sampai saat ini, tidak ada satu formulapun yang bisa diberlakukan untuk semua orang dalam segala kondisi.
Adapun tips yang akan saya share melalui tulisan ini, BUKAN ‘pil’ yang bisa mengubah seseorang yang unqualified menjadi ‘seolah-olah’ qualified. Melainkan sesuatu yang bisa mencegah seseorang yang qualified menjadi terlihat ‘seolah-olah’ unqualified—akibat sikap atau ucapan yang tidak pas dalam interview kerja, khusus untuk posisi akuntansi-keuangan.
Sebelum masuk ke hal-hal yang lebih detail, ada satu hal yang penting untuk diketahui namun sering disepelekan oleh job-seeker—termasuk oleh mereka yang melamar posisi di bagian akuntansi-keuangan, yaitu: tujuan mereka melamar pekerjaan.
Jangan ‘Jual Diri’ Dengan Harga Murah
Di era sosial media sekarang ini kita bisa terhubung ke banyak orang, dengan beragam latarbelakang dan karakter. Tak bisa dipungkiri, curhat adalah salah satu aktivitas yang paling digemari di sosial media. Diantara banyaknya macam hal yang di-curhat-kan, salah satunya adalah keluhan tentang pekerjaan.
Sesekali mengeluhkan tentang pekerjaan, saya pikir, adalah sesuatu yang manusiawi—‘hak segala bangsa’ shit can be happened to anybody, tetapi bila dilakukan berkali-kali maka itu adalah sesuatu yang tidak wajar, mesti ada masalah serius di dalamnya. Nah, mengapa ada beberapa orang yang nampak begitu getol mengeluh tentang pekerjaan? Apa yang salah di dunia kerja mereka?
Sudah pasti ada banyak faktor yang menyebabkan seseorang menjadi merasa tidak puas terhadap pekerjaan/profesi yang dijalaninya. Salah satunya, menurut saya, disebabkan oleh perilaku “jual-diri dengan harga murah”—menjual keahlian dan kompetensi dengan harga murah—yang penting laku. Berorientasi jangka pendek.
Tak ada yang salah dengan prinsip itu—terlebih-lebih untuk kita di Indonesia di mana mencari pekerjaan adalah tantangan tersendiri. Saya bisa mengerti. Tetapi perlu disadari; prinsip “yang penting kerja” ini bisa menjadi jebakan—terutama bagi kita yang memiliki kompetensi khusus akuntansi dan keuangan.
Diawali dengan pemikiran “ah yang penting kerja dulu, nanti bisa cari pekerjaan yang lebih sesuai, sambil jalan”. Terdengar sangat realistis. Apa yang terjadi selanjutnya? Tiga bulan pertama (probation period), waktu habis untuk orientasi dan penyesuaian diri. Tahun pertama, waktu habis untuk memperbaiki kualitas pekerjaan. Dua tahun berlalu tanpa terasa. Di tahun ketiga mungkin mulai ‘sadar diri’ bahwa ini hanya pekerjaan sementara, tetapi himpitan rutinitas membuat ruang untuk pindah kerja menjadi sangat sempit.
Empat hingga lima tahun waktu berlalu tanpa terasa. Setelah itu, apakah anda masih yakin mampu melakukan pekerjaan akuntansi-keuangan? Bukannya mustahil, tetapi diperlukan kemauan, usaha dan tekad yang ekstra untuk bisa kembali ke disiplin ilmu semula (akuntansi-keuangan).
Don’t sell yourself short! Jika tidak yakin dengan posisi yang anda lamar, cari tahu hingga mendapat keyakinan yang anda butuhkan. Jika masih tidak yakin juga, sebaiknya dipertimbangkan kembali.
Jika sudah yakin, silahkan. Tetapi, sudahkah anda tahu siapa yang akan anda hadapi saat interview nanti?
Siapa Yang Akan Anda Hadapi Dalam Proses Interview-Pekerjaan?
Terutama entry-level applicant, memiliki kecenderungan berpikir bahwa yang akan mereka temui nanti sudah pasti “orang Personalia (HRD).” Tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar.
Yang melakukan pemeriksaan awal (screening) terhadap surat lamaran dan CV pelamar, IYA, orang HRD. Yang mengirimkan interview-invitation juga, IYA, orang HRD. Yang menyapa dan mempersilahkan anda duduk—ketika tiba di lokasi interview, IYA, orang HRD juga. Yang melakukan interview?
Sebagian besar perusahaan, dalam proses recruitment pegawai, melakukan dua sesi interview—entah di kesempatan yang sama atau berbeda. Tetapi tidak sedikit juga yang melakukan satu kali interview saja. Tergantung skala perusahaan, bagian dan posisi/level yang akan diisi.
Disamping melakukan screening dan mengatur proses recruitment (dari pasang iklan hingga training), HRD Manager biasanya hanya melakukan interview awal—untuk memastikan apakah anda memenuhi qualifikasi dasar yang dibutuhankan atau tidak. Sedangkan yang memutuskan apakah anda diterima untuk bekerja di sana atau tidak, adalah manajer bagian yang akan menjadi atasan anda langsung—biasa disebut “Hiring Manager”. Dalam hal ini adalah Chief Accountant atau Financial Manager.
Sehingga, anda harus siap untuk menghadapi 2 orang interviewer, dengan karakter, mindset dan tingkat kepentingan yang berbeda. Bagaimana menghadapi mereka? Kita obrolin satu-per-satu…
Interview dengan HRD Manager
Orang HRD—termasuk HRD manager, di satu sisinya berkepentingan untuk mensukseskan hajat recruitment secara keseluruhan, di sisi lain mereka adalah intermediary folk—orang yang ada diantara anda (kandidat pegawai) dan hiring manager (yang akan menjadi atasan anda kelak jika diterima.)
Kandidat sering terjebak dalam menyikapi keunikan posisi HRD ini—yang berpotensi membuat mereka menjadi gagal dalam interview:
- Mereka (kandidat) yang tidak tahu persis posisi HRD, bisa terjebak dengan menghabiskan fokus mereka pada sesi interview awal yang dilakukan oleh HRD Manager—seteleh menunggu antrean yang bisa jadi cukup panjang. Sehingga, level stamina, antusias dan focus kandidat telah menurun drastis ketika berhadapan dengan Hiring Manager—sesi interview yang paling menentukan.
- Kandidat yang tahu persis posisi HRD, juga bisa terjebak. Mengetahui bahwa HRD bukan pihak yang paling menentukan, membuat mereka menjadi ogah-ogahan dan cenderung menyepelekan ketika menjalani sesi interview dengan HRD. Mereka lupa kalau HRD adalah screener yang berfungsi untuk memilah-milah kandidat mana yang akan diajukan ke Hiring Manager dan kandidat mana yang dianggap tidak layak.
Penting untuk diketahui:
Karena alasan tertentu, orang-orang HRD menjadi mudah tersinggung dan mudah dilanda ‘api cemburu’.
Apa “alasan tertentu” itu? Tidak banyak orang yang cukup peka untuk menangkap fenomena ini. Untuk kebaikan anda, saya buka di sini bahwa: rata-rata pegawai HRD menerima kompensasi (gaji, bonus, dan bentuk remunerasi lainnya) yang relative lebih rendah dibandingkan bagian-bagian lain—termasuk jika dibandingkan dengan pegawai di bagian accounting dan finance. Dan, mereka (orang HRD) tahu persis mengenai hal itu.
Bayangkan, apa yang mereka rasakan ketika berhadapan dengan calon pegawai yang baru masuk gajinya sudah lebih besar dari mereka? Dan apa yang akan terjadi jika rasa cemburu-bawaan itu disulut lagi dengan sikap menyepelekan dari kandidat? Ngerti kan masud saya?
Saran saya: jangan berikan mereka alasan tambahan untuk tidak menyukai anda. Pandanglah posisi HRD sebagai posisi profesional yang juga berperan penting dalam nenentukan apakah anda akan masuk ke sesi interview yang menentukan atau tidak, dan hajat recruitment secara keseluruhan.
Sampai di sini, saya nggap anda sudah bisa melihat posisi HRD dengan lebih proporsional.
Menempatkan HRD sebagai profesional, bagaimana sebaiknya anda bersikap?
Seperti sudah saya singgung di awal tulisan, saya tidak punya ‘pil’ yang bisa mengubah seorang kandidat yang unqualified menjadi qualified. Sehingga qualifikasi anda adalah yang paling utama ketika menghadapi sesi interview dengan HRD. Idealnya anda memiliki kualifikasi yang memenuhi apa yang mereka harapkan—sesuai dengan posisi yang anda lamar.
Di luar aspek qualifikasi, yang perlu anda perhatikan adalah hal-hal sederhana, yang secara alamiah dimiliki oleh hampir semua orang—terlebih-lebih anda yang sudah menyelesaikan pendidikan tinggi (D3 atau Sarjana Akuntansi).
As a rule of thumb, buatlah tugas mereka (HRD) menjadi lebih mudah dan bisa berjalan dengan lancar, hargai territory dan otoritas mereka. Konkretnya: tunjukan daya tarik alamiah anda dengan cara menghargai mereka secara tulus. Saat mereka bicara perhatikan dan ikuti dengan seksama—jangan sekali-kali menunjukan sinyal menyepelekan.
Secara keseluruhan, strategy utama anda dalam menghadapi interview awal (dengan HRD) adalah memberi keyakinan bahwa, jika mereka meloloskan anda ke sesi interview berikutnya, anda tidak akan mempermalukan mereka. Ada 3 hal yang harus anda tunjukan untuk meyakinkan HRD mengenai hal itu:
- Anda memang memiliki qualifikasi yang cukup untuk bisa menjalankan pekerjaan yang anda lamar.
- Anda memang sungguh-sungguh menginginkan pekerjaan yang anda lamar (ingat: anda hanya melamar untuk posisi yang memang anda inginkan—don’t sell yourself short!).
- Untuk mensukseskan pekerjaan yang akan diberikan, anda siap bekerjasama dengan siapa saja, termasuk HRD.
Sepanjang tidak membuat mereka tersinggung, dan bisa meyakinkan mereka untuk ketiga hal itu, saya yakin anda akan lolos ke sesi berikutnya, yaitu: interview dengan Hiring Manager (Chief Accountant atau Financial Manager)—orang yang paling menentukan apakah anda diterima bekerja atau tidak.
Interview Dengan Hiring Manager
Ketika anda sampai ke sesi interview dengan hiring manager, maka saya mengasumsikan bahwa anda memang memiliki kualifikasi yang cukup untuk pekerjaan yang anda lamar, dan memiliki attitude yang bisa diterima dalam lingkungan bisnis (perusahaan).
Esensi dari interview di sesi ini adalah: memastikan bahwa kandidat yang direkomendasikan oleh HRD memang sudah sesuai.
Sehingga, sepanjang anda memiliki kualifikasi yang sesuai dan kemampuan berkomunikasi yang cukup, mestinya anda tidak mengalami kesulitan yang serius di sesi ini.
Namun demikian, ada satu faktor di luar esensi itu, yang pernanannya sulit diukur dalam menentukan apakah hiring manager akan memilih anda atau kandidat lain—sehingga nyaris tidak ada resep pasti untuk hal ini. Apa faktor yang sulit diukur itu?
Saya menyebutnya dengan faktor “KLIK”—faktor yang mungkin bisa dideskripsikan sebagai: kecocokan chemistry antara hiring manager dengan anda sebagai orang yang akan menjadi bawahannya. Ini adalah sesuatu yang kompleks dan cenderung abstrak.
Menurut saya pribadi (baik sebagai orang yang pernah menjadi kandidat pegawai maupun sebagai orang yang pernah menjadi hiring manager), faktor ini adalah penentu akhir setelah hal-hal teknis sehubungan dengan capability dan kualifikasi.
“Adakah cara agar saya bisa klik dengan hiring manager?” mungkin anda berpikir demikian.
Pertanyaan ini mirip dengan: “adakah cara agar orang yang paling saya inginkan jatuh cinta kepada saya?”
Jawaban saya: TIDAK ADA. Maaf. Dan, hal yang sama juga berlaku bagi Hiring Manager.
Mirip seperti sepasang pria dan wanita yang sedang menjalani “quick-date”—karena kebelet harus memiliki pasangan hidup secepatnya (mungkin tuntutan usia?). Tak banyak yang bisa diperbuat. Baik anda dan Hiring Manager hanya bisa menjalaninya, sambil berusaha untuk saling mengenal dalam waktu yang singkat.
Next, saya ingin mengajak anda untuk ikut menyimak, apa yang biasanya dilakukan oleh seorang Hiring Manager untuk bisa memperoleh keyakinan apakah dirinya “KLIK” dengan seorang kandidat atau tidak. Tentu ini adalah insight—yang mungkin tidak akan pernah anda temukan di website atau blog lain—termasuk portal-portal HRD.
Mempercepat Kemunculan Faktor KLIK dalam Interview (Dengan Hiring Manager)
Pada dasarnya, semua interview bersifat conversational—berjalanan melalui proses percakapan. Mulai dari percakapan ringan dan umum, lalu bergeser ke wilayah yang spesifik—wilayah pekerjaan yang anda lamar, dari hal-hal yang sifatnya abstract lalu bergeser ke hal-hal yang lebih konkret dan detail.
Setiap Hiring Manager pastinya memiliki cara dan style yang berbeda dalam menjalankan proses interview dengan seorang kandidat pegawai. Saya pribadi juga punya cara tersendiri. Ada beberapa hal yang saya assess (dan emphasize) untuk memastikan apakah seorang kandidat cocok untuk menjadi bawahan saya di Accounting dan Finance atau tidak, yaitu:
- Apakah kandidat memiliki daya tahan stress yang cukup?
- Apakah kandiat menganggap pekerjaan yang dilamarnya penting?
- Apakah kandidat memiliki keberanian yang cukup untuk mengemukakan gagasan sekaligus mengekpresikan keinginannya?
- Apakah kandidat memiliki intelligentsia yang cukup?
- Apakah kandidat tidak mudah mudah terintimidasi?
- Apakah kandidat memiliki kemuan belajar yang cukup?
- Apakah kandidat memiliki kecenderungan sikap proactive dan assertive?
- Apakah kandidat tidak mudah bosan dan tidak membosankan?
Ada 2 hal yang biasanya saya lakukan untuk memperoleh jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas:
1. Dengan Mendiamkan – Saya hanya mempersilahkan kandidat duduk, selebihnya saya diamkan (sambil membereskan pekerjaan saya sebanyak mungkin). Sedikit mengenai behavioral psychology: dua orang asing berada dalam satu ruangan tanpa bicara adalah salah satu situasi dimana simpul stress menjadi mudah terpicu. Orang yang tidak tahan stress akan menunjukan gejala-gejala gelisah dalam waktu yang relative singkat. Dari pengamatan saya selama ini, hasilnya menunjukan:
Entry-level candidates biasanya hanya bisa bertahan selama 3 menit. Lewat dari itu mereka sudah mulai gelisah dengan berbagai perilaku—mulai dari menggerak-gerakan anggota tubuh sampai yang paling parah ambil sapu tangan dan menyeka keringat di dalam ruangan bersuhu dingin.
Management-level candidates (chief accountant, financial manager, credit manager, asset & capital manager, warehouse manager, dll) biasanya hanya mampu bertahan antara 7 hingga 10 menit. Lewat dari itu, mereka sudah mulai nampak gelisah—mulai dari menggoyang-goyangkan kaki, sampai dengan mengeluarkan ponsel.
Dari assessment sederhana ini, minimal saya tahu sampai dimana daya tahan stress seorang kandidat. Hiring manager lain mungkin memiliki cara lain dalam melakukan assessment yang sama. Teknik lainnya adalah dengan cara: memotong penjelasan kandidat setiap kali dia mulai semangat berbicara, secara terus-menerus. Teknik lain yang serupa dengan ini adalah mengacuhkan kandidat ketika dia sedang bersusah payah menjelaskan sesuatu.
Saya menggunakan teknik-teknik itu untuk mengukur daya tahan stress kandidat, BUKAN untuk bersenang-senang apalagi bullying dan yang sejenisnya. Mungkin ada segelintir manajer yang melakukan hal seperti itu untuk sekedar bersenang-senang. Tetapi, sebagian besar lainnya memiliki banyak tugas mendesak yang harus diselesaikan, sehingga tidak punya cukup waktu untuk melakukan hal-hal yang tak perlu.
Kemampuan untuk bisa ‘tetap-tenang-meski-di-bawah-tekanan’ adalah hal penting yang harus di miliki oleh setiap pegawai yang bekerja di bagian akuntansi dan keuangan. Kemampuan teknis akuntansi, keuangan dan pajak memang syarat mutlak, tetapi entah mengapa saya tak pernah meragukan kemampuan anak-anak lulusan Akuntansi terkait dengan kompetensi.
Jika harus memilih antara (1) pegawai cakap secara teknis tapi tidak tahan stress; dengan (2) pegawai berkemampuan biasa tetapi tahan stress, saya cenderung memilih yang kedua. Mengapa? Karena employee turnover yang tinggi adalah pemborosan yang jauh lebih ‘mahal’ dibandingkan dengan mengikutsertakan staf untuk training dan workshop.
Sebagai basic-standard, untuk staf dan manager di accounting dan keuangan, saya butuh orang-orang yang memiliki mental baja, tahan stress, tidak mudah terintimidasi, dan bisa tetap tenang dalam kondisi tertekan. Saya rasa hampir semua manager dan eksekutif menggunakan mindset serupa.
Jadi, jika anda melamar untuk bagian accounting atau finance, bersiplah untuk stress-free test semacam itu.
2. Dengan Bertanya – Tidak tahu dengan orang lain, saya pribadi tidak suka interview yang serem-serem. Setelah saya diamkan beberapa menit, saya hanya perlu membuat kandidat kaget—dengan meluncurkan pertanyaan yang mungkin terdengar sangat sederhana, yaitu:
“Apakah sudah interview dengan HRD?” yang biasanya saya susul dengan pertanyaan “apakah ada pertanyaan?”
Jika jawaban kandidat adalah “Tidak”, maka selesai sudah wawancaranya—yang artinya: GAGAL. Mengapa? Jawaban “tidak” dalam hal ini, saya artikan sebagai:
- Pekerjaan ini, tidak terlalu penting buat saya (hell, I have tens of candidate after you); atau
- Saya tidak berani mengemukakan gagasan atau mengekspresikan keinginan (you, lamme); atau
- Saya bodoh (back to school, please); atau
- Saya tidak sanggup menghadapi intimidasi (saya butuh samurai, bukan ayam sayur); atau
- Saya malas berusaha, malas bekerja dan malas belajar (tempat ini tidak cocok untuk keledai); atau
- Saya pasif dan lemah (ssszzzhhh..); atau
- Saya cepat bosan sekaligus membosankan (please just don’t bother me further. thanks)
Dan, kandidat yang biasanya KLIK dengan saya adalah mereka yang mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut ini:
Apakah qualifikasi saya memenuhi kriteria yang anda harapkan?
- Jika anda memutuskan untuk tidak meng-hire saya, apa kira-kira alasannya?
- Adakah skill yang masih harus saya improve untuk bisa menjalankan pekerjaan saya nanti?
- Jika saya diterima, bagaimana anda akan menilai kinerja saya ke depannya?
- Dalam satu tahun ke depan, apa yang anda harapkan bisa saya lakukan untuk membuat anda tidak sia-sia menerima saya bekerja di sini?
- Jika saya diterima bekerja di sini, sebagai bawahan anda, apa 3 perioritas kerja paling utama yang harus saya selesaikan dalam sehari/seminggu/sebulan/setahun, agar anda merasa terbantu?
- Saya sangat menginginkan pekerjaan ini, apakah anda berkenan memberi saya kesempatan?
- Dari pertanyaan-pertanyaan kandidat yang seperti itulah biasanya percakapan selanjutnya mengalir. Jika di tengah-tengah proses obrolan saya merasa ‘jatuh-cinta’, biasanya saya menawarkan sekaleng minuman dingin untuk diminum sampai interview selesai.
Tentu, yang saya sampaikan hanya segelintir diantara banyak pertanyaan yang bisa anda ajukan—jika hiring manager memberi anda kesempatan bertanya. Pada prakteknya, anda bisa mengajukan pertanyaan apa saja, sepanjang pertanyaan itu masih ada dalam kisaran 5 wilayah berikut ini:
- Interest – You have taken the trouble to investigate the job.
- Intelligence -You really understand the requirements of the job.
- Confidence – You have everything it takes to do the job.
- Personal appeal – You are the type of person who will fit in well.
- Assertiveness – You ask for the job.
Yakinlah Anda Akan Diterima dan Berhasil
Mengapa komposisi orang gagal dengan orang sukses membentuk paramida? Karena sangat sedikit orang yang memiliki keyakinan yang cukup mengenai kemampuannya dalam mencapai apa yang diinginkannya.
Pernah mendengar ungkapan: “Faith can move mountains”?
Jika pernah, maka saya rasa anda juga pernah mendengar orang yang mengatakan
“Halah… lebay! Mana mungkin anda bisa menggeser gunung hanya dengan mengatakan: hi gunung, bergeserlah.”
Kelompok kedua ini tidak mampu membedakan faith vs. wishful thinking. Orang-orang yang lebih banyak mengeluh ketimbang berusaha. Ya jelaslah, berharap saja memang tidak akan mengubah sesuatu. Bisa diterima bekerja di perusahaan yang anda inginkan memang tidak akan pernah terwujud hanya dengan berharap. Anda perlu memiliki tekad “aku-yakin-bisa” dahulu. Selanjutnya, tekad “aku-yakin-bisa” itu akan merangsang anda untuk mencari tahu “bagaimana-caranya-supaya-bisa”, sekaligus memberi asupan semangat yang cukup untuk mengikuti rangsangan-rangsangan berikutnya, yang pada akhirnya akan mengarahkan anda pada keberhasilan. Yakinlah anda pasti diterima dan berhasil.
Demikianlah Artikel Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan
Sekianlah artikel
Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan
kali ini, mudah-mudahan bisa memberi manfaat untuk anda semua. baiklah, sampai jumpa di postingan artikel lainnya.
Anda sekarang membaca artikel Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan dengan alamat link https://magisterakutansi.blogspot.com/2018/06/tips-menghadapi-wawancara-kerja-untuk.html
0 Response to " Tips Menghadapi Wawancara Kerja Untuk Posisi Akuntan "
Posting Komentar